Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Golput Lebih Tinggi dari Perolehan Suara Paslon pada Pilkada, Apa yang Akan Terjadi?

Baca di App
Lihat Foto
DOK KOMPAS/HANDINING
Ilustrasi golput. Konsekuensi jika golput menang pilkada atau jumlah golput lebih tinggi dari perolehan suara paslon.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Sejumlah orang kerap memutuskan untuk golput dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

Bahkan, dalam pilkada, jumlah golput tak jarang mengungguli suara sah yang diperoleh oleh pasangan calon (paslon) kepala daerah.

Golput atau golongan putih adalah istilah untuk menyebut kelompok orang yang memilih untuk tidak memilih.

Golput dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari persoalan teknis yang membuat enggan mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS), hingga alasan ideologis seperti menilai tak ada kandidat yang cocok untuk diberi mandat menjadi pemimpin.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, apa yang akan terjadi jika suara golput lebih tinggi dari perolehan suara paslon pada pilkada?

Baca juga: Selalu Populer Menjelang Pemilu, Apa Itu Golput?


Yang terjadi jika golput "menang" pilkada

Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Idham Holik mengungkapkan konsekuensi jika golput "memang" dalam Pilkada 2024.

Menurut dia, jika banyak pemilih tidak mau menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara pada 27 November mendatang, justru akan memudahkan paslon memenangkan Pilkada 2024.

"Kondisi ini akan memudahkan calon memperoleh kemenangan, karena persentase suara mayoritas menjadi kecil atau bahkan lebih kecil," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (1/9/2024).

Ketentuan tersebut berbeda jika yang memenangkan pemilihan umum adalah kotak kosong dalam surat suara.

Kotok kosong sendiri merupakan "lawan" atau pilihan lain bagi pemilih saat pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah.

Idham mengatakan, pemilih kolom kosong tak bergambar tetap dianggap sah dan dihitung sebagai suara.

Jika kotak kosong menang, maka ada dua alternatif bagi daerah tersebut, yakni pemungutan suara ulang pada tahun berikutnya atau dipimpin oleh penjabat (Pj) kepala daerah pilihan pemerintah pusat.

Baca juga: MUI Tegaskan Golput di Pemilu 2024 Hukumnya Haram, Ini Alasannya

Golput tidak masuk suara mana pun

Sementara itu, golongan putih atau kelompok orang yang sengaja tak datang ke tempat pemungutan suara tidak dihitung sebagai suara sah karena sama sekali tidak memberikan suaranya.

"Partisipasi dalam menggunakan hak pilih adalah hal yang terpenting dalam demokrasi elektoral dan dalam perspektif etika politik," ucap Idham.

Dia melanjutkan, pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS merepresentasikan perilaku etis seorang warga negara.

Warga negara yang baik juga adalah mereka yang berperilaku etis dengan menggunakan hak suara di TPS.

"Suara pemilih sangat bernilai, tentukan masa depan pembangunan daerah untuk periode pemerintahan daerah lima tahun mendatang. Mari gunakan hak pilih dalam pilkada," ajak Idham.

Idham mengatakan, menggunakan hak pilih di Pilkada 2024 juga mencerminkan aktualisasi sila pertama Pancasila, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Artinya, memilih adalah bentuk rasa syukur atas kedaulatan yang dimiliki oleh pemilih sebagai warga negara.

Oleh karena itu, dia kembali mengajak para pemilih untuk menjadi warga negara yang ber-Pancasila dengan baik dan benar.

"Ayo gunakan hak pilih, sebab suara kita dalam pilkada yang sangat berarti untuk masa depan daerah di mana kita tinggal. Cintai daerah dengan menggunakan hak pilih di pilkada," tuturnya.

Baca juga: Mengajak Golput Saat Pemilu Bisa Dipidana?

Golput lebih tinggi mewarnai pilkada

Sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada, jumlah golput lebih tinggi dibandingkan perolehan suara paslon sudah beberapa kali terjadi.

Misalnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama yang dimenangkan oleh paslon Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Diberitakan Kompas.com, Jumat (20/7/2012), tercatat ada 2.555.207 warga Jakarta yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) tetapi tidak menggunakan hak pilihnya.

Sementara, perolehan suara Jokowi-Ahok yang merupakan pemenang hanya mencapai angka 1.847.157 suara sah.

Kondisi pemilih golput menjadi "pemenang" juga terjadi di Jawa Timur saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada 2008.

Dikutip dari Kompas.com, Rabu (23/7/2008), angka golput jauh melebihi perolehan suara lima kandidat yang bertarung dalam pilkada.

Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan datang ke TPS saat itu terpantau hanya 60-70 persen.

Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 30-40 persen. Angka ini belum termasuk surat suara yang tidak sah karena unsur kesengajaan dari pemilih.

Jika jumlah suara tidak sah dimasukkan dalam kategori golput, maka angkanya pun menjadi jauh lebih besar.

Bandingkan dengan paslon Soekarwo-Saifullah Yusuf di urutan pertama yang mendulang 26,43 persen dari suara sah pada putaran pertama.

Sementara, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono berada di tempat kedua dengan perolehan suara sebesar 24,82 persen.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi