Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kilas Balik 28 September, 6 Tahun Lalu Tsunami Meluluhlantakkan Palu dan Donggala

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Humas Ditjen Bina Marga Kemen PUPR
Situasi Kota Palu yang porak poranda akibat bencana gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami yang terjadi pada Jumat (28/9/2018). Ditjen Bina Marga menurunkan Tim Satgas Penanganan Bencana Gempa dan Tsunami Palu-Sigi-Donggala untuk membantu pemulihan infrastruktur wilayah.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Hari ini, enam tahun yang lalu, tepatnya pada 28 September 2018, gelombang tsunami menerjang Palu, ibu kota Sulawesi Tengah.

Tsunami menyapu bersih mulai dari bibir pantai Kota Palu, Donggala, hingga Mamuju pasca gempa bermagnitudo 7,7 mengguncang.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa berpusat di kedalaman 10 kilometer (km) di jalur sesar Palu Kuro, dengan posisi pusat gempa berada di 27 km Timur Laut Donggala.

Tak hanya mengakibatkan tsunami dahsyat, gempa bumi juga disusul fenomena likuefaksi atau hilangnya kekuatan dan ketahanan tanah.

Akibatnya, ribuan nyawa hilang, hunian, dan fasilitas umum rusak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Palu, Kabupaten Donggala dan sekitarnya pun rata dengan tanah.

Besarnya dampak yang ditimbulkan membuat peristiwa gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah menjadi salah satu bencana yang membekas dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Baca juga: Mengenang 19 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh 2004...


Diawali gempa hingga likuefaksi

Diberitakan Kompas.com (28/9/2019), tsunami Palu-Donggala didahului dengan gempa bumi yang muncul beberapa kali.

Gempa pertama, mengguncang Donggala pukul 14.00 WIB, berkekuatan magnitudo 6 dan kedalaman 10 km. Akibatnya, satu orang meninggal dunia, 10 lainnya luka, dan puluhan rumah di Kecamatan Singaraja rusak

Tak lama kemudian, gempa kedua kembali terjadi pukul 17.02 WIB dengan kekuatan lebih besar, yaitu magnitudo 7,4 dengan kedalaman 10 km. 

Beberapa menit pasca gempa, BMKG mengumumkan status siaga dan waspada yang merupakan peringatan dini tsunami dengan estimasi waktu tiba sekitar pukul 17.22 WIB.

Namun, sekitar empat menit setelah diumumkan, BMKG mencabut peringatan itu pada pukul 17.36 WIB.

Selang beberapa menit peringatan dini dicabut, tsunami justru benar-benar terjadi tepat pukul 17.42 WIB.

Titik tertinggi tsunami kala itu tercatat 11,3 meter yang terjadi di Desa Tondo, Palu Timur, Kota Palu.

Sementara, titik terendahnya tercatat 2,2 meter di Desa Mapaga, Kabupaten Donggala.

Tidak berhenti sampai di situ, gempa susulan terus mengguncang di kawasan Palu dan Donggala hingga, Jumat (28/9/2018) malam.

Tercatat, setidaknya ada 13 gempa dengan kekuatan di atas magnitudo 5 dari pukul 14.00 WIB sampai 2.26 WIB.

Di sisi lain, menyusul gempa bumi, fenomena likuefaksi menerjang wilayah Petobo, Palu.

Tanah di pemukiman warga berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatannya.

Likuefaksi terjadi ketika terdapat material lepas berupa pasir yang berada di bawah muka air tanah, sehingga memungkinkan ruang pori antar butir terisi air.

Akibatnya, tanah tidak bisa menahan beban apapun dan pondasi bangunan pun kehilangan daya dukungnya.

Fenomena likuefaksi itu menyebabkan kehancuran luar biasa di wilayah seluas 180,6 di Petobo dan 202,1 hektar di Jono Oge, Kabupaten Sigi.

Baca juga: Peneliti BRIN Ungkap Gempa Megathrust Selat Sunda Bisa Picu Tsunami hingga Jakarta

Penyebab tsunami Palu-Donggala

Menurut analisis dari ahli tsunami Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tsunami Palu-Donggala disebabkan oleh dua hal.

Dalam laporan Kompas.com (29/9/2018), penyebab pertama karena munculnya longsoran sedimen dasar laut di kedalaman 200-300 meter di bagian Teluk Palu.

Sedimen dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Palu belum terkonsolidasi kuat, sehingga runtuh dan longsor saat gempa hingga memicu terjadinya tsunami.

Sementara, di luar dari teluk, tsunami diakibatkan oleh gempa lokal. Kedua perbedaan tersebut membuat tsunami di bagian luar Teluk Palu diterjang gelombang yang tidak begitu tinggi dan air yang lebih jernih.

Baca juga: Apakah Pesawat Terbang Bisa Selamat dari Gempa dan Tsunami?

Tsunami Palu-Donggala telan ribuan korban jiwa

Menurut catatan dan hasil verifikasi pemerintah Sulawesi Tengah, gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi menelan korban jiwa sebanyak 4.340 orang.

Jumlah itu disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola pada rapat finalisasi data dan rekapitulasi korban bencana Palu pada Selasa, 29 Januari 2019, dikutip dari Antara (29/9/2019).

Longki merinci, jumlah korban meninggal dunia yang teridentifikasi di Kota Palu ada 2.141 orang, Kabupaten Sigi 289 orang, Donggala 212 orang, dan Parigi Moutong 15 orang, sehingga total seluruh korban meninggal sebanyak 2.657 jiwa.

Sementara, jumlah korban meninggal yang tidak teridentifikasi ada 1.016 orang, dan mereka yang tidak berhasil ditemukan sebanyak 667 orang.

Bencana alam 28 September 2018 juga menyebabkan 17.293 rumah rusak ringan, 12.717 rumah rusak sedang, dan 9.181 rumah rusak berat, serta 3.673 rumah hilang di Kota Palu.

Di Kabupaten Donggala, bencana mengakibatkan 7.989 rumah rusak ringan, 6.099 rusak sedang, 7.212 rusak berat, dan 75 rumah lainnya hilang.

Sebanyak 10.612 rumah di Kabupaten Sigi turut mengalami kerusakan ringan, 6.480 rumah rusak sedang, lebih dari 12.000 rusak berat, dan 302 rumah hilang.

Kemudian di Kabupaten Parigi Moutong, sebanyak 4.191 rumah rusak ringan, 826 rusak sedang, dan 533 lainnya rusak berat.

Tak hanya rumah, bencana juga mengakibatkan sejumlah bangunan lain dan fasilitas umum rusak.

Baca juga: Kisah Letusan Krakatau pada 1883 Picu Tsunami 40 Meter di Selat Sunda

Pemulihan pasca tsunami Palu-Donggala

Pemerintah Sulawesi Tengah melalukan beberapa upaya untuk memulihkan wilayah terdampak bencana secara bertahap, termasuk memberikan bantuan bagi para korban.

Para korban meninggal dunia, diberikan santunan kematian masing-masing orang sebesar Rp 15 juta.

Warga yang kehilangan tempat tinggal dan memiliki surat kepemilikan properti, mendapatkan hunian sementara dan hunian tetap, serta jaminan hidup selama 60 hari sejak mulai tinggal.

Selain itu, warga yang rumahnya rusak ringan hingga berat juga mendapat bantuan serupa dengan dana stimulan mulai Rp 10 juta hingga Rp 50 juta.

Pembangunan rumah bagi para penyintas hingga saat ini masih dilakukan.

Terbaru, pada Maret 2024, sebanyak 655 unit hunian tetap telah rampung dan diserahkan kepada warga terdampak bencana.

Sejumlah fasilitas umum, seperti jalan dan jembatan juga dilakukan proses rekonstruksi secara bertahap dan selesai pada 26 Maret 2024 setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

"Alhamdulillah dengan kerja keras dari berbagai pihak hari ini dapat dikatakan fasilitas publik, seperti jalan, jembatan, pelayanan publik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, aktivitas sosial, dan ekonom kita sudah pulih kembali," ujar Presiden dalam sambutannya di Gedung Anutapura Medical Center, Palu, Sulawesi Tengah, dilansir dari laman Presiden RI (26/3/2024).

(Sumber: Kompas.com/Rosiana Haryanti, Fitria Chusna Farisa | Editor: Resa Eka Ayu Sartika, Sabrina Asril)

Baca juga: Gempa M 5,0 Guncang Bandung, Tidak Berpotensi Tsunami

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi