KOMPAS.com - Siswa SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah berinisial GRO (16) meninggal dunia usai ditembak anggota Polrestabes Semarang pada Minggu (24/11/2024) dini hari.
Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengeklaim, anggotanya melepaskan tembakan saat hendak membubarkan aksi tawuran.
Namun, klaim itu berbeda dari keterangan satpam perumahan yang menyebutkan tak ada tawauran di lokasi kejadian.
Insiden ini hanya berselang dua hari dari kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat pada Jumat (22/11/2024).
Lantas bagaimana aturan kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh polisi?
Baca juga: Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Aturan penggunaan senjata api polisi
Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkapkan, pihaknya sedang mendalami klarifikasi yang diberikan Polda Jawa Tengah terkait penembakan siswa SMK.
"Kompolnas saat ini sedang mendalami dan meminta klarifikasi secara resmi terkait penembakan tersebut," tuturnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (27/11/2024).
Menurutnya, Kompolnas telah memberikan saran agar pengawas internal memastikan apakah penembakan tersebut sesuai prosedur atau tidak.
Dia menekankan, polisi yang bertugas harus menerapkan prosedur sesuai Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Baca juga: Pelajar SMK Tewas Ditembak Polisi, Ini Kronologinya Menurut Polrestabes Semarang
Pasal 5 mengatur, ada enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang terdiri dari:
- Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak/pencegahan
- Tahap 2: perintah lisan untuk menghadapi tindakan aktif
- Tahap 3: kendali tangan kosong lunak untuk menghadapi tindakan pasif
- Tahap 4: kendali tangan kosong keras untuk menghadapi tindakan aktif
- Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabai, atau alat lain sesuai standar Polri untuk menghadapi tindakan agresif
- Tahap 6: kendali menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau masyarakat.
Menurut aturan itu, senjata api dalam tahap 6 dipakai untuk menghadapi tindakan agresif yang bersifat segera, menyebabkan luka parah atau kematian, membahayakan kehormatan kesusilaan polisi atau masyarakat, serta membahayakan keselamatan umum.
Misalnya, membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital.
Senjata api seharusnya hanya bisa dipakai sebagai upaya jika tidak ada alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan kejahatan, serta mencegah pelaku kabur.
Baca juga: Beda Keterangan Polisi dengan Satpam dan Sekolah soal Kasus Siswa SMK di Semarang Meninggal Ditembak
Sementara, Prosedur Tetap (Protap) Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki mengatur senjata api dipakai dalam tahap terakhir saat menghentikan anarkisme.
Polisi seharusnya terlebih dahulu memerintahkan pelaku untuk menghentikan aksi anarkisnya. Jika tidak berhasil, perlu melumpuhkan dengan tangan kosong dan senjata tumpul.
Senjata api bisa digunakan setelah polisi membuat tembakan peringatan ke arah aman. Apabila peringatan tidak diindahkan, polisi baru menembak ke sasaran yang tidak mematikan.
Sementara itu, perizinan dan pengawasan senjata api oleh anggota Polri diatur dalam Peraturan Polri Nomor 1 Tahun 2022.
Berdasarkan aturan ini, polisi mendapat izin menggunakan senjata api organik Polri/TNI jika memenuhi syarat sebagai berikut:
- Memiliki surat rekomendasi dari atasan langsung
- Memiliki surat keterangan lulus tes psikologi Polri
- Memiliki surat keterangan sehat dari dokter Polri.
Baca juga: Fakta Terbaru Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan: AKP Dadang Iskandar Tembaki Rumah Kapolres
Sebaliknya, syarat menggunakan senjata api nonorganik Polri/TNI untuk anggota Polsus, PPNS, satpam, dan satpol PP adalah:
- Memiliki kartu tanda anggota Polsus atau Satpam atau keputusan pengangkatan sebagai PPNS atau Satpol PP
- Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter
- Berusia minimal 20 tahun dan maksimal 58 tahun
- Memahami peraturan perundang-undangan terkait senjata api
- Ditunjuk oleh pimpinan instansi, kementerian, lembaga, dan badan usaha yang bersangkutan.
Di sisi lain, Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 memastikan, senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia dalam situasi yang diperbolehkan, yaitu:
- Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
- Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat
- Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat
- Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang
- Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa
- Menangani situasi yang membahayakan jiwa, di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sebelum melepaskan tembakan, polisi wajib memberikan tembakan peringatan ke udara atau tanah, kecuali dalam situasi darurat yang mengancam keselamatan jiwa.
Baca juga: Update Kasus Pelajar SMK Tewas Ditembak Polisi, Keluarga Lapor Polda
Sanksi penembakan oleg polisi
Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 juga mengatur anggota kepolisian yang melakukan tindakan bertentangan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam bertugas, wajib mendapatkan sanksi dari pejabat Polri.
Sanksi tersebut dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.
Sanksi penegakan disiplin dan etika kepolisian yang diberikan, berupa teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji dan/atau pangkat, mutasi demosi, pembebasan dari jabatan, penempatan dalam tempat khusus, serta pembinaan rohani, mental, dan pengetahuan profesi.
Sanksi penegakan disiplin dan etika kepolisian terberat dari Polri berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Selain itu, surat izin kepemilikan dan penggunaan senjata api juga akan dicabut, serta senjata api tersebut diamankan Polri.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, polisi yang melakukan penembakan hingga menyebabkan kematian, dapat diberi sanksi pidana.
"Polisi tembak polisi itu jelas tindak pidana pembunuhan, melanggar Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (26/11/2024).
Jika penembakan itu terencana, akan terancam penjara seumur hidup atau hukuman mati, sesuai Pasal 340 KUHP.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.