KOMPAS.com - 77 tahun silam, tepatnya pada 9 Desember 1947, Tragedi Rawagede pecah dan menewaskan 413 korban jiwa yang mayoritas adalah masyarakat sipil.
Tragedi Rawagede adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan militer Belanda kepada penduduk di Kampung Rawagede, saat ini menjadi Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai agresi militer pertama Belanda.
Dalam serangan membabi buta itu, nama Lukas Kustaryo disebut berulang-ulang dalam literatur sejarah Indonesia. Dia merupakan orang yang paling dicari tentara Belanda pada tragedi tersebut.
Lukas Kustaryo adalah tokoh pejuang sekaligus Komandan Kompi Batalyon Tajimalela Divisi Siliwangi.
Lantas, mengapa Lukas Kustaryo dicari Belanda di Tragedi Rawagede?
Baca juga: Peristiwa Pembantaian Rawagede 1947
Alasan tentara Belanda cari Lukas Kustaryo
Lukas Kustaryo merupakan pejuang Tanah Air yang sempat menjadi komandan regu, setara dengan sersan atau budancho pasukan Pembela Tanah Air (PETA).
Pria kelahiran Magetan, Jawa Timur pada 20 Oktober 1920 itu juga pernah menjadi komandan peleton (shodancho) di Pacitan.
Lukas memiliki perawakan tubuh yang kecil, tetapi cerdik dan cermat serta berani. Dia juga memiliki banyak taktik untuk mengalahkan tentara Belanda.
Perawakannya itu justru merepotkan tentara Belanda. Dia sangat gesit sehingga kerap lolos dalam sergapan Belanda.
Tak jarang, ia memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh mereka secara tiba-tiba. Selain itu, ia juga pernah membajak rangkaian kereta yang berisi persenjataan Belanda.
Puncaknya, pada masa perang kemerdekaan, ketika pertempuran berdarah di Karawang-Bekasi terjadi pada 1945-1947, Lukas menjadi sosok yang paling dicari-cari tentara Belanda.
Kala itu, Karawang merupakan salah satu basis kaum Republik.
Tentara Belanda murka dan memburu Lukas karena pria itu berhasil menyamar dan menyergap para prajurit Belanda. Dia menghabisi banyak nyawa tentara Belanda dengan cara menusuknya.
Merasa tidak terima, Divisi I KNIL mengirim pasukannya ke Rawagede dengan dipimpin oleh Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons.
Kedatangan Fons adalah untuk mencari Lukas yang saat itu sedang bergerilya di sekitar Rawagede.
Baca juga: Belanda, Negara Pertama yang Legalkan Euthanasia
Kronologi Tragedi Rawagede
Militer Belanda tiba di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947 pukul 04.00 pagi. Tidak ada yang menduga militer Belanda akan mengepung wilayah itu dengan posisi siap tempur karena malam harinya hujan lebat terjadi.
Dikutip dari situs Kemendikbud, saksi mata menyampaikan, tentara Belanda mencegat masyarakat yang keluar untuk memulai aktivitas pagi, seperti petani, anak-anak gembala, dan para pedagang. Mereka meminta masyarakat untuk kembali ke rumahnya.
Tak lama, suara tembakan terdengar susul-menyusul. Tentara Belanda mulai memaksa masuk ke kampung untuk mencari Lukas.
Mereka menodongkan senjata kepada penduduk laki-laki di desa itu. Satu per satu rumah penduduk digeledah untuk mencari Lukas.
Jika yang ditemukan laki-laki dewasa, militer Belanda akan menyuruhnya keluar sambil tangan di atas kepala.
Apabila melawan atau melarikan diri, tentara Belanda akan menembaknya hingga mati.
Laki-laki dewasa yang tertangkap itu kemudian dikumpulkan di pekarangan rumah atau di tempat yang cukup luas.
Mereka disuruh berbaris menghadap ke belakang. Setelah itu mereka ditembaki dengan jarak tembak hanya 3 meter.
Sebelum peluru melesat, mereka ditanya satu per satu mengenai keberadaan Lukas dan pasukannya. Namun, penduduk tidak memberi tahu di mana Lukas berada, semuanya melakukan gerakan tutup mulut.
Merasa jengkel, militer Belanda kemudian menembaki satu per satu laki-laki yang berbaris rapi itu. Mereka juga membakar rumah penduduk jika menemukan lambang-lambang Republik atau simbol-simbol dari badan kelaskaran.
Rumah-rumah yang dibakar antara lain milik Lurah Suminta, Iyob Armada, Gouw Kim Wat (keturunan China), dan beberapa rumah lainnya.
Tak hanya warga di Rawagede, peristiwa itu juga menewaskan warga lainnya yang menjadi penumpang Kereta Api jurusan Karawang-Rengasdengklok.
Para penumpang yang terjebak di Stasiun Rawagede juga menjadi sasaran keganasan tentara Belanda. Mereka ditangkap dan dibariskan di jalur Kereta Api sambil disuruh jongkok, setelah itu ditembaki dengan senjata bregun.
Menurut saksi mata, korban peristiwa itu berjumlah 62 orang.
Seluruh sudut Rawagede menjadi hening, sejak penyerangan di dini hari hingga malam hari, tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri untuk keluar rumah.
Baru pada keesokan harinya setelah keadaan cukup aman, masyarakat berani keluar dan melihat banyak mayat bergelimpangan di jalan, di halaman rumah, sawah, dan sungai.
Dengan peralatan dan tenaga seadanya, warga mengurus dan menguburkan jenazah-jenazah tersebut. Semua hanya dilakukan oleh para perempuan.
Menurut perkiraan, jumlah mayat yang dikuburkan pada saat itu sekitar 431 orang, termasuk orang-orang yang tidak dikenal identitasnya.
Meski Rawagede hancur, tentara Belanda tidak berhasil menumpas Lukas.
Fons akhirnya menghargai kepala Lukas sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yang berhasil menemukannya.
Baca juga: Lukas Kustaryo, Pejuang yang Dijuluki Begundal Karawang
Keberadaan Lukas Kustaryo
Keberadaan Lukas masih menjadi misteri hingga militer Belanda meninggalkan Indonesia. Lukas sama sekali tidak tersentuh oleh pengincarnya.
Dalam perburuannya itu, Lukas disebut bersembunyi di Desa Pasirawi selama satu minggu, seperti diberitakan Kompas.com (6/12/2021).
Desa Pasirawi hanya berjarak sejauh dua kilometer dari Rawagede.
Namun, Tragedi Rawagede membuat Lukas kehilangan banyak pasukannya. Dari yang semula berjumlah ratusan orang hanya tersisa sekitar 40 orang saja.
Lukas juga sangat berduka atas tewasnya ratusan penduduk sipil karena militer Belanda kesulitan menangkapnya.
Berkat kecerdikan, keberanian, dan kegesitannya, Lukas dijuluki sebagai Begundal Karawang oleh militer Belanda.
Pejuang itu kemudian melanjutkan karier militernya setelah lolos dari perburuan Belanda dan wafat pada 8 Juni 1997.
Lukas gugur dalam pertempuran melawan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (RMS).
Sementara itu, pada 14 September 2011, pengadilan Den Haag meminta pemerintah Belanda bertanggung jawab dan membayar kompensasi kepada para korban dan keluarganya.
Pemerintah Belanda berjanji melakukan permintaan maaf secara terbuka pada 9 Desember 2011 dan memberikan kompensasi dana sebesar 27.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 244 juta untuk masing-masing ahli waris korban.
Keluarga korban yang menerima kompensasi itu terdiri dari delapan orang janda dan seorang anak dari keluarga korban, yaitu Tasmin bin Saih putra dari Saih bin Sakam yang menjadi satu-satunya korban selamat dalam Tragedi Rawagede.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.