SEDANG ramai pemberitaan yang menyebutkan rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49. Sebagian besar media yang memberitakan mengutip angka 78,49 dari situs WorldPopulationReview.com.
Sebagai informasi, WorldPopulationReview.com adalah organisasi independen berorientasi pada keuntungan, yang bertujuan menyajikan data populasi global dan demografi terkini.
Menelusuri lebih lanjut, ternyata angka 78,49 tersebut berasal dari buku The Intelligence of Nations karya Richard Lynn dan David Becker yang diterbitkan oleh Ulster Institute for Social Research pada 2019.
Angka tersebut dibuat berdasarkan hasil pengukuran IQ yang dilakukan di Indonesia pada delapan penelitian, yaitu, Bleichrodt, Drenth dan Querido pada 1980, Hadidjaja dan kolega pada 1996, Hadidjaja dan kolega pada 1998, Heilmann pada 2013, de Neubourg dan de Neubourg pada 2011, Rindermann dan te Nijenhuis pada 2012, Soemantri pada 1989, dan Suwartono, Amiseso dan Handoyo pada 2017.
Buku The intelligence of nations karya Richard Lynn dan David Becker mendapat banyak kritik dari para peneliti. Mereka menilai bahwa terdapat kecacatan metodologi yang digunakan dalam merumuskan IQ pada buku tersebut.
Kecacatan yang paling jelas adalah sampel yang dinilai tidak memadai untuk memperkirakan "IQ nasional".
Selain itu, sampel berasal dari penelitian yang memang mengambil sampel dengan asas kesanggupan. Pada akhirnya jumlah sampelnya sedikit.
Sering kali penelitian tersebut hanya mencakup anak-anak dan individu yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
Sampel tidak representasif
Dalam konteks Indonesia, perkiraan IQ Indonesia berasal dari 8 penelitian yang disebutkan sebelumnya.
Beberapa penelitian sifatnya multipenelitian, artinya ada beberapa penelitian yang dilaporkan dalam satu penelitian. Sehingga, kalau dijumlahkan sampel yang digunakan untuk menghitung IQ orang Indonesia adalah 2.327.
Sebagian besar sampel tersebut adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun yang jumlahnya 1.453. Sisanya, 241 individu usia remaja (di atas 10 tahun) dan 633 orang dewasa (berusia di atas 17 tahun).
Jumah tersebut tentu saja tidak merepresentasikan orang Indonesia secara umum. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2020, tercatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270.203.917 jiwa.
Jumlah ini tersebar di lebih dari 30 provinsi dengan total mencapai 100 kota dengan bahasa dan budaya yang relatif beragam.
Sebagian besar penelitian yang datanya digunakan sebagai sampel untuk memperkirakan IQ orang Indonesia berdasarkan Colored Progressive Matrices (CPM).
CPM adalah salah satu tes psikologi yang sangat terkenal untuk mengukur inteligensi di kalangan psikolog Indonesia.
CPM terdiri dari 36 soal yang pada dasarnya mengukur penalaran umum (general reasoning) bagi anak-anak dan lansia.
Soal-soal CPM berbentuk matriks penalaran yang sifatnya nonverbal (spasial). Sehingga, inteligensi yang sifatnya verbal dan numerik tidak diukur oleh CPM. Hal ini tentu saja tidak menggambarkan IQ secara menyeluruh.
Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain yang juga dilaporkan dalam buku The Intelligence of Nations.
Beberapa negara menggunakan tes inteligensi yang relatif kompleks, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) atau Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC).
Tes tersebut tidak hanya mengukur inteligensi yang sifatnya nonverbal, melainkan verbal, numerik, serta kecepatan pemrosesan informasi.
Tidak ada bukti komparabilitas pengukuran IQ
Sampel 2.327 orang yang digunakan untuk memperkirakan IQ orang Indonesia berasal dari kelompok jenis kelamin berbeda, usia berbeda, lokasi berbeda, serta yang tak kalah penting berasal dari pengukuran IQ pada tahun yang berbeda.
Apakah hasil pengukuran IQ dari kelompok yang berbeda dianggap sama dan dapat dikombinasikan untuk memperkirakan IQ orang Indonesia?
Secara metodologi, ada satu kondisi yang harus dipenuhi, yaitu ekuivalensi pengukuran (measurement invariance; MI).
MI adalah kondisi ketika suatu alat ukur menghasilkan data yang sama atau konsisten di berbagai kelompok atau kondisi berbeda.
Selain itu, pada tataran soal perlu upaya pendeteksian differential item functioning (DIF). DIF adalah indikator statistik yang menunjukkan sejauh mana dua peserta tes yang memiliki tingkat kemampuan yang sama, namun berasal dari kelompok berbeda, memiliki peluang menjawab benar soal tersebut secara berbeda. Jika terjangkit DIF, maka soal tersebut sebaiknya tidak digunakan atau diteliti lebih lanjut.
Secara khusus, buku tersebut tidak menyajikan data yang menjelaskan ekuivalensi pengukuran IQ yang berasal berbagai penelitian yang digunakan untuk memperkirakan IQ orang Indonesia.
Padahal, penelitian yang dilakukan Natanael, Fahmi, dan Mulyaningsih pada 2023 menunjukkan bahwa terdapat 7 soal Colored Progressive Matrices (CPM) terjangkit DIF pada kelompok jenis kelamin.
Hasil penelitian ini mememukan bahwa ada 6 soal CPM yang menunjukkan kelompok laki-laki berpeluang menjawab benar lebih besar dari kelompok perempuan, meskipun mereka memiliki kemampuan yang sama.
Hal sebaliknya terjadi hanya pada satu soal CPM. Kondisi ini tentu saja membuat penggabungan skor CPM antara laki-laki dan perempuan menjadi masalah serius.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya metodologi yang digunakan kurang kuat sehingga hasil tersebut mungkin tidak akurat menggambarkan IQ orang Indonesia.
Alih-alih menolak konsep IQ karena merasa angka tersebut ganjil, sebaiknya data yang menunjukkan IQ orang Indonesia 78,49 tersebut dianggap sebuah trivia.
Atau, bagi para ilmuwan dapat menjadikannya sebagai referensi dalam mengembangkan pengukuran “IQ” atau mengkaji prasangka dan cara pandang masyarakat terhadap konsep IQ di Indonesia.
Saya rasa ini jauh lebih bermanfaat dan berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, daripada secara sederhana menolak konsep IQ.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.