Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 6 Jan 2025

Pengamat Isu-Isu Strategis, Direktur Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild)

Patwal, Strobo, Plat Dinas: Warisan Meneer Londo yang Masih Lestari

Baca di App
Lihat Foto
Tangkapan layar Instagram @PMI_Official
Insiden mobil dinas berpelat RI 36, yang videonya viral karena pengawalnya menunjuk pengendara lain dianggap arogan. Belakangan diakui milik Raffi Ahmad.
Editor: Sandro Gatra

BARU-baru ini viral personel patroli dan pengawalan (patwal) yang sedang mengawal mobil berplat RI 36 secara arogan menunjuk-nunjuk pengemudi mobil taxi Alphard.

Butuh beberapa hari sampai warganet mengetahui bahwa mobl tersebut adalah mobil dinas salah satu utusan khusus presiden.

Pandangan seperti ini sebenarnya sudah jadi “makanan” sehari-hari pengendara mobil di Jakarta. Ketika jalan raya dipenuhi oleh deru mesin dan derita kemacetan, mobil pejabat meluncur mulus.

Ditemani sirene nyaring, lampu strobo dan barisan patwal yang gagah, mobil pejabat dan mobil plat dinas bertanda bintang menjadi lambang eksklusivitas yang membuat pengguna jalan lainnya harus menyingkir.

Baca juga: Raffi Ahmad Terima Kasih Dapat Arahan Langsung Mayor Teddy soal Patwal Mobil RI 36

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patwal, yang dulu disebut voorijder, kini menjadi aktor penting dalam drama sosial kita di kemacetan jalan. Pertunjukan yang absurd, di mana pejabat menikmati prioritas atas rakyat yang justru menggaji mereka.

Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Pasal 65 mengatur tentang prioritas pengguna jalan dan di dalamnya memuat aturan tentang tugas patwal.

Aturan yang kemudian seolah menjadi tradisi ini berakar dari masa penjajahan, ketika “meneer Londo” (Belanda) menganggap diri mereka lebih mulia daripada “inlander” atau kaum pribumi.

Saat itu, rakyat harus minggir karena meneer lebih berhak menikmati jalanan bebas hambatan. Ironisnya, setelah 78 tahun merdeka, warisan ini tetap dilestarikan.

Apa yang membuat para pejabat ini merasa harus dikawal seperti meneer Londo? Tentu kita memahami keamanan bagi presiden dan wakil presiden.

Kita semua sepakat bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan membutuhkan perlindungan ekstra.

Baca juga: Video Rombongan Presiden RI Prabowo Subianto yang Senyap, Cuma Nyalakan Strobo

Namun, apa yang terjadi ketika hampir semua pejabat merasa bahwa mereka juga layak mendapat pengawalan khusus?

Kita juga memahami apabila patwal, sirene, dan strobe ini “berkuasa” pada saat keadaan darurat, seperti situasi perang, bencana dan untuk ambulance. Namun, pergi dan pulang kerja bukanlah situasi darurat yang membuat setiap perjalanan pejabat menjadi prioritas nasional.

Patwal untuk kendaraan pejabat bukanlah sekadar pengawalan lalu lintas; mereka adalah simbol ketidakadilan yang terus berlangsung.

Gaji, kendaraan dan bahan bakar kendaraan mereka, hingga suara sirene yang memekakkan telinga itu dibiayai oleh rakyat melalui pajak.

Sebagai gambaran, pada tahun 2025, kontribusi pajak diproyeksikan mencapai Rp 2.490,9 triliun dari total APBN Rp 3.005,1 triliun.

Pajak ini bersumber dari rakyat pembayar pajak, yang harus minggir saat pejabat lewat. Dengan kontribusi sebesar itu, bukankah seharusnya pejabat yang menaiki mobil dinas yang dibiayai pajak rakyat ini yang harus minggir jika rakyat lewat?

Di negara ini rakyatlah yang menjadi meneer atau tuan, bukan pejabat. Bukankah siapa yang membayar gaji, dialah yang menjadi tuan? Bukankah semua fasilitas itu disediakan oleh rakyat?

Maka selayaknyalah semua sumber daya publik ini digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kenyamanan pribadi.

Mari kita renungkan secara jujur, siapakah yang seharusnya sampai tepat waktu ke tempat kerja? Pejabatkah atau para pekerja pabrik?

Pajak dihasilkan dari penjualan barang produksi pabrik dan dari penghasilan pekerja-pekerjanya. Jika pekerja terlambat ke pabrik, maka akan berdampak pada produksi.

Baca juga: Mobil Pribadi Dilarang Pakai Sirene dan Strobo, Begini Aturannya

Mesin-mesin produksi tertunda, produktivitas terganggu, dan pada akhirnya, negara kehilangan potensi pendapatan pajak. Semua ini hanya demi memastikan pejabat tersebut tidak terlambat sampai ke kantor atau menghadiri rapat.

Jika para pejabat ini ingin tiba di kantor tepat waktu, solusinya sederhana. Bangun lebih pagi atau berangkat lebih awal.

Jika rapat penting dimulai pukul 8 pagi, mengapa tidak berangkat pukul 5? Apa sulitnya menyiapkan diri lebih awal seperti yang dilakukan oleh jutaan rakyat biasa setiap hari?

Bukankah itu lebih masuk akal dibandingkan menggantungkan diri pada sirene dan pengawalan yang memaksa rakyat pembayar pajak minggir?

Pejabat sering berdalih bahwa mereka melayani rakyat. Namun, bagaimana bisa seseorang mengaku melayani jika mereka justru memprioritaskan kenyamanan pribadi?

Seharusnya, mereka yang digaji oleh pajak rakyat lebih menghormati hak rakyat sebagai pengguna jalan.

Mereka harus belajar menikmati kemacetan, merasakan panasnya aspal, dan menyaksikan frustrasi di wajah para pengemudi. Dengan begitu, mereka akan lebih memahami realitas yang dihadapi rakyat setiap hari.

Konstitusi kita mengatur bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama. Namun, keberadaan patwal menciptakan hierarki baru: mereka yang bebas dari kemacetan, dan kita yang terjebak di dalamnya.

Dalam sistem ini, rakyat menjadi inlander modern, dipaksa memberi jalan kepada "meneer" baru yang mengendarai mobil mewah dengan plat khusus.

Kalau di zaman penjajahan, para meneer Londo yang dikawal voorijder ini sangat dibenci rakyat. Mungkin akan dilempar bom molotov atau bambu runcing.

Namun di era kemerdekaan ini, hal itu tak mungkin dilakukan, sebab para pejabat ini adalah saudara sebangsa kita. Besok atau lusa kita akan bertemu mereka di pesta hajatan tetangga atau teman.

Barangkali inilah salah satu maksud pernyataan Soekarno, bahwa perjuangan setelah kemerdekaan akan lebih sulit karena yang akan dihadapi adalah saudara sebangsa sendiri.

Kepada meneer Londo kita berani berbuat tega, tapi untuk saudara sebangsa pasti akan bertepa silira. Sayangnya, “meneer sebangsa” ini sangat tega kepada rakyat sebangsa.

Patwal seharusnya dibatasi hanya untuk presiden, wakil presiden dan situasi darurat perang atau darurat kemanusiaan.

Namun untuk pejabat lainnya? Tidak ada alasan yang cukup kuat kecuali kesombongan yang diwariskan dari masa penjajahan oleh para meneer Londo.

Apakah kita akan terus mempertahankan tradisi kolonial ini di era kemerdekaan yang konon menjunjung tinggi kesetaraan?

Kita sudah merdeka. Yang dulu diperangi rakyat bukan hanya penjajah secara fisik, tetapi juga mentalitas penjajah yang menganggap inlander hanya warga kelas tiga.

Sudah saatnya kita mendesain ulang fungsi Patwal. Daripada menjadi pengawal eksklusif para pejabat, mereka bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif, seperti mengatur lalu lintas di titik-titik rawan kemacetan.

Bayangkan jika Patwal membantu mengurai kemacetan daripada menambahnya. Bukankah itu lebih mencerminkan semangat melayani rakyat?

Selain itu, pejabat juga perlu mengubah “mindset”. Mereka harus sadar bahwa menjadi pejabat bukan berarti menjadi raja, bukan jadi meneer.

Jabatan adalah amanah, bukan tiket untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Pejabat dibayar oleh rakyat dari setiap rupiah pajak yang dipungut negara.

Jika mereka benar-benar ingin melayani rakyat, mereka harus mendahulukan kepentingan rakyat, termasuk di jalan raya.

Kita tidak sedang dalam keadaan darurat perang. Tidak ada alasan bagi pejabat untuk terus-menerus memanfaatkan Patwal demi kenyamanan pribadi.

Negara ini membutuhkan pemimpin yang merakyat, bersedia melewati kemacetan bersama rakyat, bukan yang menganggap dirinya lebih penting.

Jadi, kepada para pejabat yang terhormat, hentikan warisan Londo ini. Jika Anda benar-benar peduli pada rakyat, matikan sirene Anda, abaikan Patwal Anda, dan mulailah menikmati kemacetan bersama kami.

Mungkin saat itulah Anda akan benar-benar memahami apa artinya melayani rakyat. Bukan sebagai "meneer," tetapi sebagai pelayan sejati yang bekerja untuk kemaslahatan semua, bukan hanya untuk kenyamanan diri sendiri.

Kita berharap semoga Presiden Prabowo Subianto merevisi aturan ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi