KOMPAS.com - Republik Nauru yang berada di Oseania dulu dikenal sebagai negara pulau yang kaya akan hasil tambang.
Nahas, Nauru bangkrut dan kini bahkan akan menjadi pulau pengasingan bagi kriminalitas yang beraksi di Australia.
Diberitakan AP News, Senin (17/2/2025), Australia berencana mendeportasi tiga penjahat kekerasan, termasuk pelaku pembunuhan ke Pulau Nauru meski mereka bukan warga negara itu.
Ketiganya dideportasi ke Nauru karena Australia melarang warga asing pelaku kriminal tinggal di sana. Australia tidak bisa mendeportasi pelaku kejahatan itu karena negara asalnya dianggap tidak aman. Negara-negara yang dinilai tidak aman seperti Afghanistan, Iran, dan Irak.
Sebelum menjadi pulau pangasingan bagi kriminal, Nauru pernah menjadi negara terkaya di dunia. Tetapi, kekayaan itu dilaporkan terbuang sia-sia sehingga Nauru kini dinyatakan bangkrut.
Baca juga: 15 Poin Penting Isi UU Minerba, Termasuk UMKM-Ormas Bisa Kelola Tambang dan Kampus Batal
Nauru terkaya di dunia
Republik Nauru memiliki luas hanya 20,98 km² dan terletak sekitar 4.000 km dari timur laut Sydney, Australia. Saat ini, hanya ada sekitar 13.000 penduduk yang tinggal di sana.
Nauru yang dulu memiliki tanah subur dan air tawar itu dinyatakan sebagai "pulau kecil terkaya di dunia" oleh New York Times pada 1982.
Gelar pulau terkaya di dunia diberikan karena Nauru kaya fosfat yang digunakan dalam pupuk. Zat itu ditemukan pada 1900-an saat Nauru masih berada di bawah kekuasaan Jerman.
Dikutip dari Foreign Policy (11/2/2024), tanah Nauru dulu tertutup kotoran burung yang kaya fosfat dan mengeras selama jutaan tahun.
Kekayaan alam tersebut lalu dieksploitasi oleh Pacific Phosphate Company dan British Phosphate Commission setelah Perang Dunia I.
Setelah Jerman kalah saat Perang Dunia, Australia, Selandia Baru, dan Inggris yang dinyatakan sebagai pengelola Nauru kemudian merampas fosfat itu untuk kepentingan mereka.
fosfat itu digali dan disebarkan ke ladang di Australia dan Selandia Baru dalam proses yang sangat eksploitatif dan hampir tidak menguntungkan penduduk setempat Nauru.
Sebagaimana dilansir News.com.au (1/2/2020), negara itu akhirnya merdeka pada 1968 dan mendapatkan kendali atas sumber daya fosfat di sana.
Nauru yang dulu baru dihuni 4.000 jiwa memperdagangkan fosfat selama puluhan tahun. Negara mendapatkan keuntungan sekitar 1,5 miliar dollar Australia pada 1980-an atau saat itu setara Rp 1,5 triliun.
Perdagangan fosfat membuat pendapatan per kapita negara ini naik mencapai posisi kedua tertinggi di dunia.
Hasil tambang fosfat dikelola pemerintah. Penduduk akan menerima ribuan dollar sebagai bantuan setiap tahun. Meski uang yang diberikan banyak, jumlahnya tidak diatur secara pasti.
Kekayaan itu dimanfaatkan untuk mendirikan Nauru House di Melbourne dan Hawaii, membeli mobil mewah seperti Lamborghini, mengadakan konser megah, serta membangun maskapai Nauru Airlines yang besar.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi uang tersisa di Nauru. Pulau itu juga tidak punya sektor ekonomi lain yang layak dikembangkan sebagai pengganti tambang fosfat.
Hingga hari ini, penambangan fosfat bahkan menyebabkan lebih dari 70 persen wilayah Nauru tidak dapat dihuni lagi, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga: Muncul Dugaan Permainan Izin Tambang, Bahlil Lahadalia Disebut Salah Gunakan Wewenang
Jadi tempat cuci uang dan penjara
Nauru terjebak dalam kemiskinan parah. Bank sentralnya bangkrut, real estate di luar negeri diambil alih, sementara pesawatnya disita dari landasan pacu bandara.
Akibat krisis, pemerintah mengubah pulau itu menjadi tempat pencucian uang pada 1990-an. Nauru menjual lisensi perbankan dan paspor kebal hukum. Pelanggannya termasuk mafia Rusia dan Al-Qaeda.
Nauru juga mengizinkan pendirian bank lepas pantai tanpa kantor perwakilan fisik di sana atau negara mana pun. Bank-bank ini tidak menyimpan catatan perbankan yang dapat ditinjau dan tanpa pengawasan kredibel.
Pada 2002, Departemen Keuangan AS menetapkan Nauru sebagai negara pencucian uang dan mendapat sanksi keras. Dua tahun kemudian, Nauru mengesahkan undang-undang antipencucian uang dan pendanaan teroris.
Perekonomian Nauru membaik usai Australia yang mendirikan kamp pengungsi dan tahanan di sana yang beroperasi sejak 2001 hingga 2007. Nauru mendapat bayaran mencapai 40 juta dollar Australia (sekitar Rp 2 triliun saat ini) per bulan untuk menjalankan fasilitas tersebut.
Meski mendatangkan keuntungan, kamp tersebut terus dilanda berbagai masalah dan kerusuhan. Kondisi buruk pusat penahanan pun memicu kemarahan global. Fasilitas itu ditutup singkat pada 2008-2012.
Australia akhirnya menghentikan pusat tahanan Nauru. Meski tutup, Australia tetap membayar ratusan dollar untuk memelihara fasilitas tersebut. Uang ini pun mampu memperbaiki perekonomian Nauru sejak 2013, bahkan menjadi sumber dari dua per tiga pendapatannya.
Nauru juga mendapat pemasukan dari biaya yang dibayarkan kapal-kapal berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di perairannya.
Di sisi lain, Nauru menjalin kerja sama ke banyak negara untuk mendapat keuntungan, meski negara-negara tersebut bersiteru. Misalnya, Nauru menjalin persahabatan dengan Taiwan. Namun, negara itu lalu pindah mendukung China.
Baca juga: Video Viral Orangutan Kebingungan Melintas di Area Tambang, Begini Ceritanya
Beralih tambang laut yang ancam lingkungan
Saat Nauru jatuh miskin, penambangan fosfat melambat karena tinggal sedikit. Pada 2018-2019, pemerintah bahkan mengalami defisit saat berusaha menambang fosfat.
Meski mayoritas fosfat telah hilang, efek dari tindakan eksploitasi di masa lalu masih ada. Banyak wilayah pulau berubah menjadi gurun sehingga tidak bisa dihuni namun proses rehabilitasi berjalan lambat.
Kekayaannya juga anjlok sehingga menjadikan negara ini sekarang menjadi salah satu negara termiskin di dunia, dikutip ABC Net (11/3/2014).
Warga juga terdampak karena mengalami obesitas, diabetes, penyakit jantung. Nauru bahkan menjadi salah satu negara dengan tingkat obesitas dan diabetes tertinggi di dunia.
Di sektor hukum, Nauru mempekerjakan ekspatriat dari Australia dan Selandia Baru untuk menjalankan lembaga negara karena tidak ada orang yang dapat mengambil peran tersebut. Sistem peradilan juga sangat bergantung pendanaan dari dua negara tetangganya itu.
Untuk mendapatkan uang lebih banyak, Nauru sejak 2021 mulai menambang di laut dalam ribuan meter di bawah permukaan laut yang terpencil dan belum banyak dieksplor manusia.
Dasar laut diyakini menjadi tempat yang kaya mineral dan batuan untuk menggerakkan transisi energi. Nauru meyakini, tambang laut dalam akan menghasilkan banyak keuntungan dalam beberapa dekade mendatang.
Namun, keputusan itu membuat ratusan ilmuwan khawatir. Mereka memperingatkan risiko kerusakan yang tidak dapat dipulihkan akibat menambang di laut dalam yang penuh kehidupan dan ribuan spesies baru.
Sayangnya, Nauru merasa tidak ada hal lain yang bisa dilakukan. Penduduk di sana tidak melihat jalan keluar lain untuk membangum ekonomi tanpa penambangan laut dalam.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.