KOMPAS.com - Ahli Sosiologi dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, berpendapat pemerintah semestinya merespons secara positif munculnya tagar #KaburAjaDulu.
Menurutnya, tren "Kabur Aja Dulu" bukan berarti masyarakat tidak nasionalis, melainkan malah sebagai bentuk kecintaan generasi muda terhadap Indonesia.
Ia mengatakan, kemunculan #KaburAjaDulu adalah bentuk tanggapan cepat atas persoalan yang terjadi hari ini.
Baca juga: Kabur Aja Dulu dan Resistensi Pejabat atas Kritik
Tagar tersebut menjadi ekspresi kemarahan, kekecewaan, keputusasaan, dan protes anak-anak muda yang disampaikan kepada publik dan pemerintah lewat media sosial.
Ia pun menyinggung ekspresi kekecewaan itu nyatanya muncul di tengah rilis tingkat kepuasan 100 hari kerja pemerintah yang mencapai 80 persen. Dalam hal ini, Radius menilai, ada anomali yang perlu diperhatikan pemerintah.
"Pemerintah dengan bangganya menyuguhkan rating (kinerja), tetapi di satu sisi ada fenomena Kabur Aja Dulu. Saya kira pemerintah perlu menjadikan itu perhatian," kata Radius pada Rabu (19/2/2025), dikutip dari Antara.
Ia melihat, kemunculan ekspresi tersebut berkaitan dengan pemberlakuan efisiensi anggaran oleh pemerintah di bidang-bidang penting seperti pendidikan, energi, penanganan bencana, dan krisis iklim.
Dia juga menyayangkan pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer yang justru memicu kontroversi terkait tren Kabur Aja Dulu.
"Saya kira justru kontraproduktif. Komunikasi pemerintah ke khalayak, khususnya anak-anak muda, seharusnya tidak seperti itu," ucapnya.
Menurutnya, Pemerintah perlu merespons positif ekspresi anak muda dan tidak bersikap sinis.
"Kabinet yang kinerjanya masih panjang harus mendengarkan masukan-masukan anak muda dan perlu melakukan perbaikan-perbaikan," jelas Radius.
Ia pun mengapresiasi pernyataan Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Dzulfikar Ahmad Tawalla yang menilai #KaburAjaDulu sebagai bentuk ekspresi anak muda dalam melihat realitas sosial.
"Hal ini seharusnya menjadi momentum untuk memberikan pemahaman tentang jalur aman dan terjamin bagi pekerja migran," ungkap dia.
Baca juga: Cara Singapura, China, Taiwan, dan Korsel Cegah Warga Terampilnya Kabur ke Luar Negeri
Wakil Ketua MPR: Kabur Aja Dulu jadi kritik untuk perbaikan
Terpisah, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai, tren Kabur Aja Dulu di media sosial mesti dipandang sebagai autokritik bagi pemangku kepentingan untuk mendasari adanya perbaikan di sejumlah kebijakan dalam pembangunan nasional.
“Berbagai sudut pandang masyarakat terkait dengan fenomena #KaburAjaDulu harus disikapi dengan langkah-langkah positif demi mewujudkan kebijakan yang lebih baik,” kata Lestari pada Rabu, sebagaimana dilansir Antara.
Menurut dia, tren Kabur Aja Dulu tergolong unik karena apabila dilihat dari perspektif sosial, tagar itu dapat menjadi pengingat tentang kondisi tatanan bernegara yang disuarakan oleh generasi muda.
Lestari menyebut, kemunculan tagar bisa saja didorong oleh kondisi masyarakat dewasa ini, salah satunya kesulitan akses lapangan pekerjaan karena lanskap dunia kerja yang sudah berubah.
Kendati belum ada data konkret mengenai penyebab peningkatan migrasi ke luar negeri, Lestari memandang, perlu mengedepankan kewaspadaan dalam menyikapi dampak tagar Kabur Aja Dulu.
Di tengah merebaknya #KaburAjaDulu, Lestari mengaku masih optimistis bahwa generasi muda Indonesia mampu menjadi garda depan untuk mewujudkan bangsa yang adil dan makmur pada masa depan.
Lestari mengemukakan pandangannya tersebut dalam diskusi daring bertema Fenomena “Kabur Aja Dulu” dan Realitas Generasi Muda Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu.
Turut hadir dalam diskusi, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia-Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Yudha Nugraha.
Dalam kesempatan berbicara, Yudha mengeklaim pihaknya menyikapi tren Kabur Aja Dulu secara profesional.
Baca juga: Awal Mula Tren Tagar Kabur Aja Dulu Ramai Digunakan, Mengapa?
Yudha menyebut, angka migrasi di dunia memang cenderung meningkat. Oleh karena itu, dia menilai migrasi yang terjadi saat ini merupakan fenomena global. Akan tetapi, hal itu tetap perlu dikelola dengan baik.
“Merupakan tanggung jawab negara bila ada warganya ingin bermigrasi ke luar negeri. #KaburAjaDulu berpotensi dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menawarkan migrasi secara ilegal ke luar negeri,” katanya.
Sementara itu, dosen Pengembangan Sumber Daya Manusia Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Andriyanto menilai, kemunculan tagar #KaburAjaDulu adalah sebuah keniscayaan.
Ia menerangkan, komposisi usia kerja penduduk Indonesia dalam rentang waktu 1970–2020 terus bertambah, dari 53,39 persen pada 1970 menjadi 70,72 persen pada 2020.
Oleh karena itu, keinginan masyarakat untuk mencari kehidupan yang lebih baik makin meningkat.
“Melihat tren Kabur Aja Dulu saat ini adalah sebuah keniscayaan. Jadi, bukan semata kabur, melainkan lebih pada mencari kehidupan yang lebih baik,” pendapatnya.
Menurutnya, tagar Kabur Aja Dulu tidak boleh diabaikan karena berpotensi memunculkan fenomena lain seperti brain drain atau kondisi ketika sumber daya manusia berkualitas memilih menetap di luar negeri hingga berpindah kewarganegaraan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.