“Bahkan saat berniat baik dengan menggunakan Pertamax, karena merasa tak berhak disubsidi negara, kita tetap dikerjai di negeri ini.”
PERNYATAAN ini adalah salah satu bentuk ungkapan kekecewaan rakyat yang banyak beredar di media. Ketika niat baik kita untuk mendukung perekonomian berujung pada penipuan, rasa frustrasi dan marah pun meluap.
Apakah negara hadir bersama rakyat atau justru mengkhianati harapan?
Bagaimana mungkin perusahaan yang seharusnya melayani masyarakat justru terlibat dalam tindakan merugikan? Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan hak dasar kita sebagai warga negara.
Kekecewaan ini bukan tanpa alasan. Praktik dugaan korupsi di anak perusahaan BUMN PT Pertamina (Persero) yang diduga mengoplos RON 90 menjadi Pertamax merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.
Tindakan tercela ini dilakukan secara berjamaah oleh pejabat BUMN dan pihak swasta, menciptakan ketidakadilan yang semakin mendalam.
Baca juga: Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi
Rakyat yang berusaha berkontribusi dengan memilih produk berkualitas malah menjadi korban dari sistem yang korup dan tidak transparan.
Di tengah janji-janji manis pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan, terungkaplah skandal mega korupsi yang mencoreng wajah industri energi nasional.
PT Pertamina (Persero) yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan publik, kini tersangkut dalam dugaan praktik pengoplosan. Meski pihak Pertamina membantah, siapa yang bisa percaya ketika publik terlajur kecewa?
Rakyat yang berharap mendapatkan bahan bakar berkualitas tinggi justru dikecewakan oleh praktik curang. Konsumen yang membeli Pertamax, ternyata mendapatkan "rasa" Pertalite.
Ini bukan sekadar masalah teknis, ini adalah pelanggaran kepercayaan yang menyentuh hak dasar konsumen.
Di mana peran Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam mengawasi praktik merugikan ini? Saatnya kita menuntut transparansi dan akuntabilitas agar hak kita dihormati!
Menggaji anggota BPH Migas seolah sia-sia, karena tugas dan tanggung jawab mereka tidak dilaksanakan dengan baik. Hal ini terbukti dengan terungkapnya skandal mega korupsi yang mencoreng wajah BUMN.
Seharusnya, BPH Migas menjalankan fungsinya untuk mengatur dan mengawasi secara independen dan transparan dalam penyediaan dan pendistribusian BBM.
Namun, pengawasan yang lemah justru membuka celah bagi praktik korupsi yang merugikan negara dan rakyat.
Baca juga: Peran 2 Petinggi Pertamina yang Jadi Tersangka Baru Korupsi Minyak, Perintahkan Pertamax Dioplos
Kekecewaan masyarakat tidak hanya berujung pada kerugian finansial, tetapi juga pada hilangnya kepercayaan terhadap lembaga yang seharusnya melindungi mereka.
Saatnya kita bersatu menuntut transparansi dan akuntabilitas, karena keadilan bagi rakyat tidak boleh dikorbankan atas kepentingan segelintir orang.
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina yang melibatkan tujuh tersangka dan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun adalah gambaran jelas dari rapuhnya sistem pengawasan dan tata kelola perusahaan negara di Indonesia.
Modus operandi yang digunakan, seperti pengondisian produksi untuk memaksa impor dan praktik pengoplosan bahan bakar, menunjukkan niat jahat dan mencerminkan pola yang lebih besar, yaitu kongkalikong antara penyelenggara negara dan pihak swasta.
Praktik korupsi ini bukan hal baru di sektor energi dan sumber daya alam. Namun, besarnya kerugian yang ditimbulkan menunjukkan bahwa ada yang sangat salah dalam pengelolaan dan pengawasan.
Ketidaktransparanan dalam proses pengadaan dan penguasaan pasar oleh satu entitas, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), menciptakan celah yang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika satu perusahaan menguasai hampir seluruh pasokan energi, tidak ada ruang bagi kompetisi sehat, yang berujung pada penyelewengan masif.
Lebih jauh, modus pengoplosan bahan bakar yang dilakukan oleh tersangka menunjukkan kesadaran penuh akan tindakan ilegal yang mereka lakukan.
Mengimpor bahan bakar berkualitas rendah dan menjualnya dengan label yang lebih tinggi adalah tindakan yang sangat merugikan konsumen.
Ini bukan hanya tentang kerugian finansial, tetapi juga tentang kepercayaan masyarakat terhadap produk yang mereka konsumsi.
Baca juga: Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun
Ketika masyarakat membeli Pertamax dengan harapan mendapatkan bahan bakar berkualitas, mereka mungkin sebenarnya mendapatkan sesuatu yang jauh di bawah standar yang diharapkan.
Dampak kasus ini tidak hanya terbatas pada kerugian finansial negara, tetapi juga pada meningkatnya harga bahan bakar yang akhirnya dibebankan kepada rakyat.
Pemerintah yang seharusnya melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat justru terjebak dalam lingkaran setan korupsi yang menciptakan beban lebih bagi rakyat melalui subsidi yang lebih tinggi.
Ironisnya, rakyat diminta untuk berkorban melalui subsidi, sementara di dalam tubuh BUMN sendiri terjadi kebocoran yang sangat besar.
Pengawasan yang lemah dan kurangnya akuntabilitas adalah akar permasalahan yang harus diatasi.
Kasus ini menunjukkan bahwa reformasi dalam tata kelola migas yang diharapkan tidak berjalan efektif.
Selama sepuluh tahun terakhir, tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan sektor ini. Apakah kita hanya melihat pergeseran dari satu kelompok elite ke kelompok elite lainnya, sementara rakyat tetap menjadi korban dari sistem yang korup?
Ke depan, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan migas.
Harus ada pengawasan yang lebih ketat, tidak hanya dari internal perusahaan, tetapi juga dari lembaga independen dari koalisi masyarakat sipil yang dapat memastikan kebijakan yang diambil benar-benar menguntungkan masyarakat, bukan hanya sekelompok orang tertentu.
Ini adalah momen penting bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa mereka serius dalam memberantas korupsi, bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai tindakan nyata.
Kasus ini seharusnya menjadi wake-up call bagi semua pihak untuk merenungkan kembali bagaimana kita mengelola sumber daya alam dan memastikan bahwa keuntungan dari sumber daya tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang yang berkuasa.
Sebagai penutup, situasi yang terjadi saat ini jelas menunjukkan bahwa BPH Migas tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
Baca juga: Politik Skincare: Dari Efisiensi ke Pembangunan yang Glowing
Ketidakmampuan lembaga ini dalam melakukan pengawasan dan transparansi hanya memperburuk keadaan, membuat rakyat semakin kecewa.
Jika BPH Migas terus-menerus gagal dalam melindungi kepentingan publik dan memberantas praktik korupsi, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan untuk membubarkan lembaga ini.
Kita membutuhkan solusi yang lebih efektif dan akuntabel dalam pengelolaan sektor energi, bukan lembaga yang justru menjadi bagian dari masalah.
Rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang adil dan transparan, dan jika BPH Migas tidak mampu memenuhi harapan tersebut, maka langkah tegas harus diambil demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Saatnya kita bersatu dan mendesak perubahan yang nyata! Jika tidak, maka kerugian yang dialami saat ini adalah cerminan dari sistem yang gagal dan akan terus berulang di masa depan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.