Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 5 Jun 2023

Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Indonesia Gelap dan Kutukan Mpu Gandring

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 melambat
Editor: Sandro Gatra

GENERASI cicit (buyut) Wage Rudolf (WR) Soepratman tiba-tiba menginterupsi laju Indonesia dengan menyerukan tesis “Indonesia Gelap”. Persis menjelang (tiga tahun lagi) satu abad seruan “Indonesia Raya” oleh kakek-buyut mereka, WR Soepratman dan kawan-kawan.

Sayang sekali, orangtua mereka yang kini sedang berkuasa menanggapinya dengan pongah. “Kau yang gelap, bukan Indonesia,” kata seorang petinggi negara. Ada juga yang bilang, “Silakan kabur, kalau perlu jangan kembali.”

Yang lebih mengejutkan dan memprihatinkan, ada umpatan yang sangat tidak pantas: “endhasmu”.

Secara antropolinguistik, kata “endhasmu” (bahasa Jawa) mengekspresikan kejengkelan, kemarahan, sinisme, yang disertai perasaan tak hormat dan cenderung merendahkan, mengejek.

Meskipun secara leksikal memiliki referensi yang sama dengan kata “kepalamu” (bahasa Indonesia), karena aspek antropolinguistik, kata “endhasmu” tak bisa digantikan oleh kata “kepalamu”. Kata “endhasmu” memisahkan subjek tutur secara tak hormat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tesis “Indonesia Gelap” tak akan terbantahkan dengan kepongahan. Tak akan berubah dengan umpatan. Ia hanya bisa digugurkan dengan bukti-bukti.

Baca juga: Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi

Untuk memahami interupsi para cicit WR Soepratman, saya memulai dengan membaca tesis “Indonesia Raya”. Ditulis oleh WR Soepratman dalam lirik lagu yang kelak diterima sebagai lagu kebangsaan.

“Indonesia Raya” terdiri atas tiga stanza. Namun, sangat jarang dinyanyikan secara penuh tiga stanza. Hanya stanza pertama yang sering dinyanyikan. Teks lengkap bisa ditanyakan kepada Google.

Arus balik

Tesis “Indonesia Raya” dibangun di atas reruntuhan kejayaan Nusantara masa silam. Pramoedya Ananta Toer menuturkannya dengan sangat menarik di bukunya yang berjudul "Arus Balik".

Nusantara pernah gilang-gemilang. Tatkala menjadi kesatuan maritim di bawah Majapahit, kerajaan laut terbesar di bumi. “Terbesar pula kapal-kapalnya. Juga bandar-bandarnya,” tutur Pram.

Di masa kejayaan Nusantara itulah arus bergerak dari bumi Selatan ke Utara. Kapal-kapalnya, manusianya, peradabannya. Juga cita-citanya. Semua bergerak dari Nusantara di bagian Selatan ke bumi bagian Utara.

Lalu, terjadi arus balik. Utara terus-menerus menyerbu Selatan. Dengan kapal-kapalnya yang lebih besar. Utara lalu menguasai jalur rempah. Menguasai pula urat nadi kehidupan dan hasil buminya. Lalu, menjajah orang-orangnya.

Utara makmur. Nusantara hancur, terpecah-pecah. Pun jiwa, karakter, dan mental orang-orangnya: orang kalah, orang terjajah.

“Kapal kita makin lama makin kecil. Seperti kerajaannya. Kapal besar hanya bisa dibuat oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara...,” seru Pram melalui Wiranggaleng, tokoh di Arus Balik.

WR Soepratman dan kawan-kawan membaca reruntuhan Nusantara dengan kesadaran kritis penuh idealisme anak muda. Masa lalu disadari secara kritis, masa kini (zamannya) dibaca secara kritis pula, lalu masa depan dirumuskan secara visioner dan diikat dengan komitmen.

“Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia. Marilah kita berjanji, Indonesia abadi,” kata WR Soepratman.

Baca juga: Kabur Aja Dulu, Indonesia Gelap, dan Kegelisahan Gen Z Kita

Sungguh agung. Berisi kesadaran eksistensial sebuah komunitas kebangsaan yang bersatu dan berdaulat dengan jiwa merdeka.

Disadari pula tentang potensi objektif-subjektifnya. Juga ditegaskan tentang kejayaan dan kebahagiaan masa depan. Dengan lantang mereka menyebut “Indonesia Raya”.

Dengan demikian, tesis “Indonesia Raya” tegas menyerukan rekonstruksi. Bukan hanya kelembagaan dan tata kehidupan sebagai negara modern, tapi yang utama justru kultur dan mentalitas.

Tak ada guna bentuk negara demokrasi modern, tapi jiwanya tetap kolonialis, feodalis. Kata WR Soepratman, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.”

Namun, tiba-tiba generasi buyut WR Soepratman menginterupsinya. Mereka berteriak lantang meragukan komitmen dan janji yang selalu diulang-ulang setiap “Indonesia Raya” dikumandangkan.

Komitmen dan janji itu tak berjejak di sanubari, terkhusus para pemimpin, para pengambil keputusan negara.

Tak ada Indonesia bersatu, bahagia, dan abadi secara hakiki. Semuanya semu belaka. Bukan “Raya” yang kini dijumpai, melainkan “Gelap”. Negeri dan pandunya bukan maju, melainkan terpuruk. Rakyat dan putranya bukan selamat, melainkan sekarat.

Teramat banyak peristiwa dan hal lain yang membuat buyut WR Soepratman itu meragukan komitmen dan janji para pemimpin, para petinggi negara. Mereka mencium bau pengkhianatan di sana.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa suatu orde pemerintahan runtuh gara-gara kepongahan pemimpinnya.

Korupsi, kolusi, nepotisme sengaja dipelihara, dibiarkan tumbuh subur. Tapi, kemudian mencekiknya. Bak keris Mpu Gandring, ia menghabisi tuannya.

Baca juga: Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam?

Orde pemerintahan berganti, tapi korupsi, kolusi, nepotisme tak juga berhenti. Mereka malah merayakannya, memujanya. Korupsi, kolusi, nepotisme dibuatkan dalil pembenarannya. Etika, kepatutan, keadilan sosial, dan sejenisnya diabaikan.

Bila dulu korupsi dikaitkan dengan pendapatan aparat birokrasi yang rendah, kini teori itu sudah usang. Korupsi yang dilakukan dengan menyandera negara (state capture corruption) tak mungkin dilakukan oleh pegawai rendahan.

Korupsi jenis ini hanya bisa dilakukan oleh penguasa, pemodal, dan orang-orang berpendidikan tinggi.

Nilainya pun bukan puluhan atau ratusan juta rupiah, melainkan triliunan rupiah. Misalnya, korupsi tata niaga timah yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.

Kerugian negara pada tata niaga minyak di Pertamina yang lagi heboh diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun pada 2023, dengan total akumulasi selama lima tahun mendekati Rp 1 kuadriliun (Kompas.com, 27/02/2025).

Sehari-hari para buyut WR Soepratman itu menyaksikan fenomena korupsi, kolusi, nepotisme secara telanjang. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tak pernah membanggakan. Penegak hukum pun sering tersandung kasus korupsi.

Bahkan, organisasi dunia akhirnya menobatkan presiden ke-7 Indonesia sebagai finalis “Person of the Year 2024” untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi. Sungguh menampar muka bangsa Indonesia.

Sementara itu, para buyut WR Soepratman itu juga menyaksikan secara terang-benderang kesulitan hidup rakyat kecil.

Kemiskinan dan ketidakadilan sosial menjadi tontonan sehari-hari. Rakyat kecil hanya ditampilkan secara heriok di podium, di atas kertas. Rakyat kecil belum menjadi pemenang di lapangan.

Kritik historis

Karena itu, saya membaca, tesis “Indonesia Gelap” merefleksikan kritik historis. Ia mengingatkan sekaligus menyerukan penyadaran bersejarah bagi para pemimpin bangsa, para pejabat negara.

Tesis itu menginterupsi dan menerangkan bahwa perjalanan menuju “Raya” yang diimajinasikan para pendiri bangsa sedang menemui halangan berat. Karena halangan berat itulah Indonesia tampak “gelap”.

Baca juga: Dengarkan Sukatani: Mulai Benahi Kebijakan SDM Kepolisian

Halangan berat itu sesungguhnya tak pernah berubah sejak Indonesia berdiri, yakni korupsi, kolusi, nepotisme. Ketiga hal ini bersarang pada jiwa, lalu manifes dalam kebijakan, tata kelola pemerintahan dan perilaku para penyelenggara negara.

Kesewenang-wenangan lalu dimaklumi, dicarikan pembenarannya. Sumpah serapah, intimidasi, dan segala bentuk represi dilakukan kepada pihak-pihak yang kritis, yang berpandangan lain.

Contoh paling anyar dialami lagu ”Bayar Bayar Bayar” karya band punk Sukatani. Lirik lagu ”Bayar Bayar Bayar” dinilai mengganggu kepolisian. Lagu tersebut sempat ditarik dari peredaran dan Sukatani meminta maaf.

Pameran perupa Yos Suprapto di Galeri Nasional tiba-tiba dibatalkan pada pertengahan Desember 2024. Para undangan yang sudah hadir dalam pembukaan, tidak bisa memasuki gedung pameran karena digembok pihak Galeri Nasional.

Baca juga: Pembatalan Pameran Lukisan Yos Suprapto: Kejujuran Itu Menakutkan

Ternyata rentetan represi terhadap seniman kritis belum selesai. Lukisan berjudul ”Tikus Garuda” karya Rokhyat yang sedang dipamerkan di Badri Gallery Banjarmasin, diturunkan oleh pemilik galerinya sendiri (Kompas.id, 24/02/2025).

Sungguh berbahaya, halangan berat itu terbukti melumpuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Visi-misi bernegara yang tertulis pada Pembukaan UUD 1945 makin menjauh dari kenyataan.

Presiden Prabowo menyebutnya “paradoks Indonesia”. Negeri kaya raya, tapi rakyatnya miskin. Sayang sekali, Pak Presiden masih sebatas beretorika. Halangan besar yang membuat “paradoks Indonasia”, yang membuat sebutan “Raya” tak kunjung nyata, belum ia tundukkan.

Sejarah tak pernah lupa dan selalu memanggil kaum muda terpelajar idealis pada saat yang tepat. Sejarah selalu menugasi para mahasiswa untuk menginterupsi zamannya tatkala kalangan lain hanya diam, atau didiamkan.

Sejarah juga menyediakan ruang belajar berbangsa dan bernegara. Tinggal mau belajar sisi gelapnya atau terangnya.

Tumapel mengajarkan kutukan Mpu Gandring. Keris bikinannya dikutuk akan merenggut nyawa Ken Arok sendiri dan turunannya, karena ambisi kekuasaan yang meluap-luap, pongah, dan penuh keculasan.

Ken Arok menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Namun, kekuasaannya berakhir tragis oleh keris yang dipakainya merebut kekuasaan.

Saya mengamini tesis “Indonesia Gelap”. Tugas pemerintah meruntuhkan tesis itu dengan bukti-bukti. Sangkal lah dengan logika materiil yang sahih. Bukan dengan umpatan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi