Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 7 Feb 2022

Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Cacat, Jahat, Hukuman Berat

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/spaxiax
Ilustrasi borgol
Editor: Sandro Gatra

PENJARA, sehebat apa pun program pemasyarakatan yang ada di dalamnya, tetap bukan merupakan lingkungan yang wajar.

Tidak ada manusia waras yang ingin bermukim, apalagi berlama-lama tinggal di kawasan yang penuh dengan serba aneka restriksi.

Dengan dasar pemikiran semacam itu, masuk akal jika terdakwa pelaku kejahatan yang sekaligus menyandang kecacatan tubuh diberikan peringanan hukuman akibat keterbatasan lahiriahnya itu.

Peringanan sedemikian rupa diletakkan pada pertimbangan bahwa penjara sebagai lingkungan yang berat akan semakin memberatkan bagi pelaku pidana yang cacat.

Dengan kata lain, peringanan merupakan manifestasi empati hakim atas kondisi terdakwa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, bagaimana jika kecacatan itu justru digunakan sebagai instrumen kejahatan oleh si pemilik tubuh?

Baca juga: Langkah Mitigasi Razman Merespons Contempt of Court

Modus "Grooming"

Di samping cara-cara kekerasan yang memunculkan perasaan takut pada diri target kejahatan (calon korban), pelaku pada sekian jenis tindak pidana juga dapat menerapkan modus grooming.

Modus ini diperagakan pelaku dengan menampilkan dirinya seolah-olah sebagai sosok yang baik, peduli, menawarkan pertemanan, memberikan kehangatan, dan pesona-pesona lainnya.

Ketika pelaku memakai modus ini, alih-alih menjauhi orang yang akan menjahatinya, calon korban justru mendekati pelaku.

Calon korban tidak mengalami perasaan negatif apa pun terhadap pelaku. Sebaliknya, korban bisa jatuh simpati, bahkan menaruh kepercayaan kepada orang yang sesungguhnya akan memviktimisasinya.

Korban terkelabui oleh serigala berbulu domba, iblis beraut malaikat yang ada di hadapannya.

Pada awalnya, si penyandang kecacatan mengisap perasaan belas kasih lawan bicaranya. Setelah kepercayaan terbangun, si penyandang kecacatan mengkhianatinya sebagai orang yang justru sekarang akan ia eksploitasi.

Tergambar sudah; kondisi kecacatan tubuh secara ironis bisa disalahmanfaatkan oleh penyandangnya untuk maksud-maksud manipulatif.

Baca juga: Psikopat Jadi Polisi, Mengapa Tidak?

Ia tidak mengambil jalan kebaikan dengan melakukan kegiatan-kegiatan konstruktif lewat cara-cara berbeda, melainkan memfungsikan kondisi badaniahnya sebagai sumber daya grooming.

Pada titik itu, sebutan ‘penyandang disabilitas’ bagi orang cacat sesungguhnya tidak lagi tepat. Disabilitas berasal dari dis-abilitas (disability). Terma ini memberikan gambaran bahwa kecacatan adalah identik dengan serba tuna: tanpa kemampuan, tanpa daya, tanpa kecakapan.

Berbagai kondisi ‘serba nir’ itu memosisikan orang cacat sebagai individu yang tidak berprakarsa apa pun dan tergantung sepenuhnya pada pihak lain.

Persepsi sedemikian rupa jelas tidak bisa disematkan pada orang cacat yang justru menyalahfungsikan kondisi raganya untuk tujuan jahat.

Kendati cacat, ia tidak memasrahkan hidupnya pada pertolongan orang lain. Walau punya keterbatasan lahiriah, penyandangnya ternyata tetap punya kesanggupan belajar dengan cara yang berbeda.

Ia beraktivitas dengan cara berbeda. Ia beradaptasi dengan cara berbeda. Bahkan, ia mampu melakukan kejahatan dengan cara berbeda.

Ia bukan dis-abilitas, melainkan dif-abilitas (difability). Artinya, ia memiliki different ability atau berbagai kemampuan yang berbeda.

Ironis memang. Bahwa, sebutan ‘difabilitas’--bertitik tolak dari model sosial–yang sebenarnya berkonotasi sangat positif, malah termanifetasikan dalam perilaku yang amat negatif.

Manakala penyandang difabilitas (bukan disabilitas) melakukan tindak pidana dengan modus grooming, dan kecacatannya itu menjadi aset utama untuk mengecoh orang yang ia sasar, maka ia sepatutnya dipandang dengan logika kebalikan. Yakni, kecacatan tidak patut lagi diberikan simpati.

Dari situlah mengemuka satu pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab oleh hakim setelah memvonis bersalah terdakwa: akankah, alih-alih memberikan peringanan hukum, hakim menjadikan kondisi difabilitas (bukan disabilitas) terdakwa sebagai hal yang memberatkan hukumannya?

Baca juga: Persidangan Terdakwa Anak, Terlalu Sederhanakah?

Penyiksaan

Sepintas lalu, pertanyaan di atas berpijak pada filosofi retributif. Yaitu, proses hukum berujung pada membuat pelaku kejahatan merasa kesakitan yang sebanding dengan perbuatannya.

Semakin lama pelaku dikerangkeng di balik jeruji besi, semakin sengsara ia sebagaimana penderitaan setara yang telah ia datangkan kepada korban-korbannya.

Apalagì ketika filosofi retributif itu dialamatkan ke pelaku yang menyandang kecacatan, maka–kesannya–betapa bejatnya sistem peradilan pidana.

Tafsiran semacam itu perlu diluruskan.

Sistem pemenjaraan Indonesia tidak berlandaskan pada filosofi retributif. Sebagaimana nama yang disandangnya, yakni lembaga pemasyarakatan, pemenjaraan adalah mekanisme rehabilitasi sekaligus reintegrasi bagi para penghuninya.

Rehabilitasi bermakna bahwa narapidana diobati agar sembuh dari penyakit kepribadian dan perilakunya.

Reintegrasi diselenggarakan lewat serangkaian program agar narapidana kelak dapat kembali melebur ke tengah masyarakat sebagai insan yang berakhlak dan hidup produktif.

Dengan filosofi yang dianut oleh otoritas Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan itu, pelaku pidana yang sekaligus penyandang difabilitas tidak perlu terlalu risau ketika hakim menjatuhkan sanksi penjara untuk kurun waktu yang panjang.

Semakin lama dipenjara, maka kesempatan narapidana untuk menjalani rehabilitasi akan lebih optimal. Tingkat kebahayaan si narapidana juga akan dikelola maksimal.

Baca juga: Sekeluarga Terjun dari Apartemen: Bunuh Diri dan Pembunuhan

Selanjutnya, masa rehabilitasi yang panjang akan memaksimalkan potensi atau abilitas positif narapidana. Kemampuan-kemampuan itu ia butuhkan nantinya seusai berakhirnya masa hukuman.

Masa pemenjaraan yang panjang semakin diperlukan, dari kacamata perlindungan para korban dan masyarakat (calon korban). Terlebih ketika korban berjumlah banyak – fakta yang mengindikasikan seriusnya tingkat kebahayaan pelaku.

Selama narapidana (apalagi residivis) berada di penjara, korban akan berada dalam jarak aman dari orang yang pernah menjahatinya itu.

Jarak aman dan waktu yang panjang memungkinkan terselenggaranya program bantuan bagi korban secara lebih menyeluruh.

Otoritas penegakan hukum, terutama kepolisian, juga berkesempatan membenahi sistem preemtif dan preventif demi keamanan masyarakat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi