KOMPAS.com - China tak tinggal diam usai Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif impor atas barang-barangnya menjadi 145 persen.
Sebagai balasan, China menaikkan tarif impor terhadap AS menjadi 125 persen.
Baca juga: Mengapa Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 10 Persen tapi Tidak dengan China?
Meskipun telah membuka babak baru perang dagang dengan AS usai menaikkan tarif, China mengindikasikan tidak akan terlibat eskalasi lebih lanjut.
Artinya, Beijing tidak akan menaikkan tarif lebih dari 125 persen.
"Pemberlakuan tarif yang sangat tinggi secara berturut-turut terhadap China oleh AS telah menjadi tidak lebih dari sekadar permainan angka, tanpa signifikansi ekonomi yang nyata," ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China pada Jumat (11/4/2025) seperti yang dikutip dari Kompas.com.
"Hal itu hanya semakin mengungkap praktik AS yang menjadikan tarif sebagai senjata sebagai alat intimidasi dan pemaksaan, mengubah dirinya menjadi lelucon," sambungnya.
Aksi saling balas kenaikan tarif AS dengan China ini telah menyita perhatian dunia. Lantas, bagaimana sejarah perang dagang kedua negara tersebut?
Sejarah perang dagang AS versus China
Ketegangan antara AS dengan China terkait perdagangan tak terjadi semalam saja. Situasi ini telah berlarut-larut sejak 2017.
Dilansir dari AP News Sabtu (5/4/2025), imak deretan kronologi peristiwa penting antara kedua negara tersebut:
Tahun 2017
Sejak periode pertama diangkat menjadi presiden, Trump telah bertekad mengurangi defisit perdegangan di AS.
Untuk menangani antidumping, ia menandatangani perintah untuk menerapkan tarif lebih ketat pada bulan Maret.
Kemudian, Trump melakukan kunjungan ke Beijing dan membuat kesepakatan rundingan 100 hari dengan Xi Jinping.
Awlnya, perundingan itu berupaya untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan Tiongkok. Namun, perundingan itu gagal pada bulan Juli.
Pada bulan berikutnya, Agustus 2017, Trump meninstruksikan agar dilakukan penyelidikan terkait tuduhan China mencuri kekayaan intelektual AS.
Kemudian diperkirakan AS mengalami kerugian hingga 600 miliar USD per tahun.
Baca juga: Trump Naikkan Tarif Impor China 125 Persen
Tahun 2018
Pada bulan Januari, AS mengumumkan tarif 80 persen untuk panel Surya impor. Padahal, impor tersebut Sebagian besar berasal dari China.
Beberapa bulan berikutnya, China membalas tarif impor AS menjadi 3 miliar USD pada April 2018.
Mereka juga menerapkan bea masuk 15 persen untuk buah-buahan, kacang-kacangan, anggur, dan pipa baja.
Sedangkan produk seperti daging babi, alumunium daur ulang, dan enam jenis barang lainnya dikenakan pajak 25 persen.
Sehari setelah China menaikkan tarif, AS membalasnya dengan pajak 25 persen terhadap barang-barang dari Negeri Tirai Bambu. Tarif yang dikenakan pada industri pesawat terbang, permesinan, dan medis bernailai 50 miliar USD.
Baca juga: Apple Lawan Tarif Trump, Angkut 600 Ton iPhone dari India ke AS
Selanjutnya, China membalas penerapan bea masuk 25 persen untuk pesawat, mobil, kedelai, dan bahan Kimia yang bernilai sekitar 50 miliar USD.
Dalam kurun waktu Juni-Agustus 2018, AS dan China terlibat tiga putaran saling balas tarif.
Kebijakan ini membawa pengaruh untuk barang-barang China lebih dari 250 miliar USD. Lalu, impor AS ke China melampaui 110 miliar USD.
Mereka pun mengenakan tarif 10 persen untuk barang-barang China senilai 200 miliar USD yang mulai berlaku pada September 2018.
Peralihan 2018-2019
Setelah satu suara menghentikan tarif baru pada Desember 2018, AS dan China gagal mencapai kesepakatan perdagangan.
Begitu perundingan gagal, Trump melancarkan rencana kenaikan tarif 10 persen ke 25 persen untuk barang-barang China senilai 200 miliar USD.
Tahun 2019
Pada bulan Mei, AS melarang perusahaan China Huawei membeli suku cadang dan komponen dari perusahaan-perusahaan teknologi AS.
Sebulan berikutnya, Trump dan XI bertukar kontak melalui sambungan telepon. Mereka menyatakan sepakat memulai kembali perundingan terkait perdagangan.
Namun sayangnya, perundingan itu menemui banyak kendala.
Tahun 2020
Pada bulan Januari, AS dan China menandatangani perjanjian perdagangan Tahap Satu. Dari sana, China berkomitmen membeli barang dan jasa AS sebilai 200 miliar USD selama dua tahun ke depan.
Akan tetapi, suatu kelompok penelitian menemukan bahwa China tidak membeli satu pun barang yang dijanjikan.
Baca juga: Respons Jepang Usai Trump Tunda Tarif Impor
Tahun 2022
Setelah dilantik, Joe Biden tidak menghapus tarif yang berlaku di bawah kekuasaan Trump.
Sejalan dengan tujuan sebelumnya, Biden mengeluarkan pembatasan luas pada penjualan semikonduktor dan peralatan pembuatan chip ke China.
Pembatasan tersebut diperluas antara Oktober 2023 hingga Desember 2024.
Tahun 2024
Perang dagang mulai terpantik lagi usai Trump dalam kampanyenya pada Fmenjanjikan kenaikan tarif. Kala itu, ia berencana mengenakan tarif 60 persen pada semua impor China.
Pada bulan Mei, Biden menaikkan tarif pada beberapa barang China. Barang-barang ersebut antara lain kendaraan listrik, sel Surya, baja, aluminium, dan peralatan medis.
Tahun 2025
Trump mengenakan tarif bari 10 persen untuk semua impor China ke AS pada 4 Februari 2025.
Pada hari yang sama, China membalas dengan mengenakan bea masuk untuk batu bara AS, gas alam cair, dan mesin pertanian.
Sebulan berikutnya pada 4 Maret 2025, AS menambah tarif tambahan 10 persen. Kemudian China memberikan balasan tarif tambahan hingga 15 persen pada produk pertanian Utama AS.
Tarif yang memperluas kontrol bisnis dengan perusahaan-perusahaan Utama AS itu berlaku pada 10 Maret 2025.
Pada "Liberation Day", AS mengumumkan tarif impor untuk negara-negara lain termasuk China di angka 34 persen.
China yang enggan tunduk membalas kenaikan tarif sebesar 34 persen.
Setelah China membalas kenaikan tarif tersebut, Trump menambah tarif 50 persen untuk China.
Berikutnya, China menaikkan tarif impor 84 persen sebagai balasan hingga memicu Trump menjatuhkan angka baru sebesar 125 persen.
Apa efek perang dagang AS dengan China?
Mengutip dari Kompas.com, perang dagang AS dan China menghancurkan pasar internasional. Kondisi itu memicu kekhawatiran akan terjadi resesi global.
Setelah AS menaikkan tarif impor hingga 145 persen, China semakin tegas. Mereka menganggap langkah AS merupakan "perundungan sepihak".
Baca juga: Mengapa Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 10 Persen tapi Tidak dengan China?
Saat berbicara kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez pada Jumat sebelum tarif baru diumumkan, Xi menyebutkan soal dampak perang dagang.
"Tidak ada pemenang dalam perang dagang, dan melawan dunia hanya akan menyebabkan isolasi diri," ujar Xi dalam pertemuan di Beijing tersebut.
"Selama lebih dari 70 tahun, pembangunan China bergantung pada kemandirian dan kerja keras, tidak pernah pada pemberian dari orang lain, dan tidak takut akan penindasan yang tidak adil," lanjutnya.
Sebagai upaya perlawanan, China telah mengancam akan membatasi film Hollywood masuk jika AS tetap bersikap demikian.
Di sisi lain, AS mengecualikan China saat mengumumkan penundaan perapan tarif impor untuk negara-negara lain.
Trump masih menunggu panggilan telepon dari Xi terkait perang dagang ini. Namun, China berulang kali menolak permintaan tersebut.
Di tengah huru-hara ini, Xi berencana mengunjungi negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.