KOMPAS.com - Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih terus berlanjut.
Langkah pembalasan (retaliasi) oleh China ke AS karena kebijakan tarif baru membuat Presiden AS Donald Trump semakin gerah.
Sejak Trump memberlakukan kebijakan tarif baru ke semua negara, China paling getol melancarkan aksi pembalasan.
Awalnya, Negeri Tirai Bambu itu melakukan balasan dengan menetapkan tarif impor 34 persen terhadap produk AS.
Lalu, Trump mengancam menaikkan tarif impor ke China hingga 50 persen.
Hingga kini, tak ada pihak yang mengalah, kedua negara tetap saling balas dengan perang tarif.
Terbaru, bahkan Amerika Serikat kembali menaikkan tarif pajak barang-barang impor China sebesar 245 persen pada Rabu (16/4/2025).
Lalu, apa yang akan terjadi dalam perang dagang antara AS dengan China, siapa yang akan menang? Serta apa dampak yang akan ditimbulkan bagi Indonesia?
Baca juga: Trump Jual Produk Made In China di Tengah Perang Dagang
Siapa yang akan menang, AS vs China?
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Jaya Darmawan mengatakan, perang tarif antara China dan AS akan membawa kerugian bagi kedua negara tersebut.
Menurutnya, alih-alih mendapatkan keuntungan dalam posisi ekonomi, perang dagang justru berdampak negatif lebih besar.
"Jadi siapa yang akan menang? Dalam perang dagang, tidak ada yang menang 100 persen," katanya pada Kompas.com, Kamis (17/4/2025).
Jaya menilai, dalam perang dagang kedua negara itu, AS jelas akan mengalami kerugian lebih besar dibandingkan China.
Sebab, bagaimana pun saat ini China masih menjadi unggulan di bidang manufaktur dan menyokong produk-produk di pasar AS agar lebih kompetitif.
"Pengurangan defisit perdagangan yang ditargetkan AS juga menurut saya tidak akan terjadi secara cepat, makanya adanya penundaan kebijakan 90 hari ke semua negara kecuali China," terangnya.
Baca juga: Video Viral Klaim Barang-barang Mewah Dunia Dibuat di China, Apa Respons Brand?
Meski China akan mengalami kerugian akibat penurunan ekspor ke AS, tetapi masih diunggulkan dengan exit strategy yang menjadi langkah Beijing mengatasi perang dagang dengan AS.
China masih bisa mendiversifikasi pasarnya ke pasar eropa dan asia lain, termasuk ke Indonesia.
Industri dalam negeri China juga dinilai lebih siap dibanding AS apabila terjadi perang dagang berkepanjangan.
"Namun retaliasi yang dilakukan jelas akan menganggu ekonomi dunia dengan semakin tingginya ketidakpastian, walaupun terdapat peluang juga untuk negara-negara lain terkait relokasi pabrik dan pasar baru," terangnya.
Baca juga: Respons China Usai AS Naikkan Tarif Pajak Jadi 245 Persen
Dampak perang dagang AS vs China
Jaya mengungkapkan, ketegangan yang muncul karena perang dagang China dengan AS ini akan memperburuk perekonomian dunia secara makro.
Menurutnya, situasi ini dapat menggangu pertumbuhan ekonomi global dan berdampak negatif pada penurunan PDB, terutama terhadap AS itu sendiri
"AS yang lebih banyak terkena dampaknya. Mulai dari gangguan rantai pasokan produk yang masih banyak diproduksi di China seperti elektronik, fesyen, dan otomotif, serta harga yang lebih mahal ditanggung konsumen Amerika akan menekan daya beli masyarakat, dan memperparah kelesuan ekonomi negara Paman Sam," papar Jaya.
Apalagi, lanjutnya, penguatan industri lokal AS yang diklaim pemerintahan Trump akibat tarif resiprokal dengan China ini juga tidak bisa tiba-tiba mendapat stimulus. Misalnya dengan relokasi pabrik dan pembangunan industri dalam negeri.
Baca juga: Ramai Soal Produk Luxury Brand Ternyata Produksi China, Apa Kata Ahli Ekonomi?
Hal ini terbukti dengan langkah iPhone yang lebih memilih memindahkan sebagian pabriknya ke India sebesar hampir 60 persen.
"Sayangnya, kelesuan ekonomi AS akan berdampak pada global dan Indonesia, ini tidak baik dan harus diantisipasi," imbuhnya.
Jaya menjelaskan, setiap 1 persen penurunan ekonomi AS dapat menurunkan ekonomi indonesia sebesar 0,08 persen.
Indonesia juga bisa menjadi tujuan diversifikasi ekspor China dan menambah dampak negatif keran impor di pasar domestik.
"Industri dan UMKM dalam negeri akan susah bertahan kalau ini dibuka lebar-lebar," tandasnya.
Baca juga: Ramai soal Tas Bermerek Mewah Dibuat di China, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.