KOMPAS.com - Remerintah akan mengembalikan penjurusan di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diikuti dengan ujian untuk mengukur kemampuan siswa secara objektif.
Seperti diketahui, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti telah menyampaikan rencana agar SMA kembali menerapkan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Baca juga: Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA Bakal Dihidupkan Kembali, Apa Alasannya?
Kembalinya penjurusan untuk SMA ini berkaitan dengan Tes Kemampuan Akademik atau Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).
TKA nantinya akan dimulai pada November 2025, sehingga penjurusan kembali diterapkan pada tahun ini.
"Dalam TKA itu nanti mulai itu ada tes yang wajib yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika itu wajib. Untuk mereka yang ngambil IPA itu nanti dia boleh memilih tambahannya antara Fisika, Kimia atau Biologi," kata Abdul Mu'ti seperti yang dikutip dari Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
"Untuk yang IPS juga begitu. Dia boleh ada tambahan apakah itu Ekonomi, apakah itu Sejarah atau ilmu-ilmu lain yang ada dalam rumpun ilmu-ilmu," paparnya.
Rencana untuk mengembalikan penjurusan sudah tepat?
Menanggapi rencana Kemendikdasmen tentang kembalinya penjurusan dan TKA, pengamat pendidikan sekaligus pengajar Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema memberikan tanggapan.
Daripada proses belajar mengajarnya, poin penting dari kembalinya penjurusan adalah tentang asesmen.
"Jadi fokus sebenarnya bukan di penjurusannya, tetapi ada di tes kompetensi akademik," ujar Doni dalam video di saluran YouTube Pendidikan Karakter Utuh yang diunggah pada Selasa (15/4/2025).
"Adalah absurd dalam sistem pendidikan, siswa belajar tapi tidak ada sistem evaluasi objektif yang menguji sejauh mana orang itu belajar," lanjutnya.
Kemudian, Doni menyoal tentang alat evaluasi yang dihapuskan pada era kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan.
Menurutnya dengan pemerintah menghapuskan Ujian Nasional dan lembaga BSNP, pendidikan di Indonesia seolah-olah tidak memerlukan standar.
Bagaimana Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi siswa memilih mata pelajaran sesuai karier dan tidak ada ujian berbasis rumpun keilmuan dalam seleksi masuk Perguruan Tinggi.
"Apa yang dilakukan Mas Nadiem di era Merdeka Belajar dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi itu dalam waktu panjang akan merugikan universitas itu sendiri," terang Doni.
Baca juga: Menyoal Rencana Pemerintah Hidupkan Lagi Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA...
"Karena calon mahasiswa terbaik itu nggak bisa terpilih dengan sistem seleksi mendasarkan pada sekadar tes potensi akademik," imbuhnya.
Selama ini, tes potensi akademik (TPA) sebagai alat perguruan tinggi menyeleksi mahasiswa belum mencakup kemampuan sesuai rumpun kelimuan suatu jurusan perkuliahan.
"Tes potensi akademik itu hanya berisi kemampuan penalaran, literasi matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sementara justru untuk penjurusan, untuk karier adalah kekuatan basic di dalam rumpun keilmuannya. Ini justru malah dihapuskan," ujarnya.
Persoalan utama pendidikan di Indonesia bukan pada penjurusan di SMA
Lantas, Doni menyampaikan pendapatnya tentang persoalan yang selama ini dihadapi dunia pendidikan. Tiadanya ujian berdasarkan rumpun kelimuan merupakan masalah pada pendidikan tinggi sesungguhnya.
"Jadi persoalan utama bukan di penjurusannya, tetapi ketiadaan seleksi masuk PTN berdasarkan rumpun keilmuan yang akhirnya membuat perguruan tinggi kita itu tidak mampu menyeleksi mahasiswa terbaik," ujarnya.
Sebagai contoh, jika seorang anak IPS mengambil jurusan kedokteran maka ke depannya ia akan merasa kesulitan apabila proses penyaringan tidak menyertakan TKA.
Hal ini dikarenakan siswa tidak mempersiapkan diri untuk mempelajari rumpun keilmuan yang akan dihadapinya di perguruan tinggi nanti.
"Banyak kasus anak jurusan IPS mengambil kedokteran ya lalu kemudian dia sendiri mengalami kesulitan. Lha wong dia sendiri tidak mempersiapkan diri dengan rumpun-rumpun keilmuan," terangnya.
Baca juga: Rincian 4 Jalur dan Kuota SPMB 2025 Jenjang SD hingga SMA
Lebih lanjut, Doni memberikan pemisalan jika siswa jurusan IPS mengambil peminatan mata pelajaran IPA tetap tidak akan terlihat jika alat seleksi sesuai rumpun kelimuan tersebut tidak ada.
Kondisi perguruan tinggi tidak punya alat seleksi siswa berdasarkan rumpun keilmuan ini menurut Doni mendorong Mendikdasmen untuk mengeluarkan kebijakan penjurusan.
Kembalinya penjurusan beserta tes kompetisi akademik adalah untuk memperbaiki jalannya seleksi masuk perguruan tinggi.
TKA untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional
Doni pun memaparkan bahwa penyaringan mahasiswa dengan TPA selama ini serupa dengan survei yang tidak bisa menunjukkan kualitas hasil belajar selama SMA.
Dengan TKA diterapkan kembali, maka cerminan kualitas pendidikan nasional dapat terlihat.
"Tetapi, TKA yang menilai beberapa mata pelajaran fundamental tertentu itu bisa menjadi cermin kualitas pendidikan nasional meskipun hanya bisa dilihat dari mata pelajaran tertentu saja," terangnya.
Baca juga: Pengamat Sebut Efisiensi Anggaran Bisa Turunkan Kualitas Pendidikan Indonesia, Kenapa?
Selanjutnya, Doni menggarisbawahi ucapan Menteri Mu'ti tentang TKA yang tidak wajib.
Ia berpendapat apabila TKA diimplementasikan maka eksekusinya akan berbeda dengan UN yang membuat siswa dan guru stres.
Sehingga, keputusan mengembalikan TKA berdasarkan penjurusan bagi siswa SMA bukanlah suatu masalah.
"TKA juga menguji apa yang dipilih peserta didik kan, yang sekarang ini memiliki peminatan misalkan memilih kimia, fisika, atau biologi, dalam TKA nanti mereka tinggal memilih apa yang diminati," tutur Doni.
"Jadi sebenarnya nggak ada masalah. Tidak akan ada banyak persoalan dari yang disampaikan Pak Mu'ti," tandasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.