KOMPAS.com menayangkan berita dengan judul provokatif memicu polemik “PHRI Teriak Hotel Sepi, Dedi Mulyadi Bantah karena Larangan Study Tour".
Berita itu ditutup dengan komentar Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bernada sinis, tapi logis. "Nah pertanyaannya adalah ketika study tour dimaknai sebagai nginap di hotel, artinya sudah diakui bukan study tour, tapi pariwisata atau piknik,” ucapnya.
Tanpa melibatkan diri ke dalam kemelut polemik berkepanjangan yang seharusnya dapat dengan mudah diselesaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, saya berkisah tentang pengalaman pribadi ketika belajar dan mengajar di Jerman pada dasawarsa VII abad XX.
Pada masa itu, pendidikan diselenggarakan pemerintah Jerman secara gratis termasuk apa yang disebut sebagai study tour di Indonesia.
Beberapa kali saya memperoleh kesempatan ikut program study tour ke kota Jerman maupun ke Paris dan Roma.
Sejauh jangkauan ingatan pendek saya, ternyata study tour diselenggarakan pemerintah Jerman tanpa beban biaya, termasuk biaya akomodasi dan konsumsi bagi para siswa maupun mahasiswa.
Maka sekembali ke Tanah Air Udara tercinta, saya terkejut karena ternyata study-tour diwajibkan bagi setiap siswa sambil diwajibkan pula dibayar oleh para orangtua siswa.
Di samping biaya wajib, study-tour masih ditambah biaya-biaya wajib tersembunyi lain-lainnya mulai dari uang gedung, uang buku, uang seragam, bahkan uang upacara wisuda.
Ancamannya, jika tidak dibayar penuh oleh siswa, maka ijazah kelulusan tidak diserahkan kepada sang siswa. Padahal sudah terbukti lulus ujian.
Ternyata secara paket, wisuda juga dipaksakan berikut biaya penyelenggaraan upacaranya kepada para mahasiswa maupun para murid SLTA, SLTP, SD bahkan PAUD.
Memang harus diakui bahwa sistem pendidikan berbayar termasuk study-tour merupakan industri pendidikan yang secara bisnis potensial menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti industri seragam sekolah, percetakan buku, jasa transpor, perhotelan, restoran, industri tata boga, tata rias, persewaan busana tradisional, fotografi dan lain sebagainya.
Wajar jika industri-industri produk periferal pendidikan tersebut protes keras apabila biaya pendidikan yang menguntungkan mereka mendadak dilarang seperti ketika Gubernur Jabar melarang study-tour.
Namun di sisi lain, harus diakui pula bahwa pada hakikatnya inti sukma industri pendidikan sama sekali tidak sesuai UUD 1945 maupun sila ke dua dan ke lima Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial untuk Seluruh Rakyat Indonesia.
Agar selaras dengan niat tekandung di dalam naskah sederhana ini, maka mohon dimaafkan bahwa kali ini saya tidak menutup naskah ini dengan teriakan Merdeka!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.