KOMPAS.com - Sebagai imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, produsen barang mewah Eropa mendapatkan "peluru nyasar".
Di tengah aksi saling balas menaikkan tarif dengan AS, para influencer China di TikTok membongkar harga produksi barang-barang mewah dari brand terkenal.
Baca juga: Video Viral Klaim Barang-barang Mewah Dunia Dibuat di China, Apa Respons Brand?
Daripada AS, brand-brand yang disebutkan kebanyakan dari Eropa seperti Hermes dan kawan-kawan.
Dengan terungkapnya harga produksi yang tidak semahal penjualannya, akankah brand-brand tersebut tetap laku menjual barangnya?
Gaya konsumen dunia terhadap barang mewah
Berdasarkan teori perilaku konsumen, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Rhenald Khasali menjelaskan bahwa persepsi harga mahal berbanding lurus dengan kualitas masih sulit dihapuskan masyarakat dunia.
Ia menyebutkan bahwa barang-barang itu tetap akan dibeli karena konsumennya punya tujuan tertentu.
"Orang membeli jam Rolex tentu bukan karena ingin lihat jam. Bahkan sekarang tidak perlu jam, Anda tinggal lihat saja handphone Anda," kata Rhenald dalam tayangan YouTube pribadinya yang diunggah pada Minggu (20/4/2025).
"Mereka ingin menampilkan siapa saya," tambahnya.
Baca juga: Ramai soal Tas Bermerek Mewah Dibuat di China, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Menurutnya, barang mewah apalagi dengan sejarah brand yang panjang tetap menjadi primadona karena sudah lama membangun citra demikian.
"Orang membeli untuk apa? Untuk simbol kepercayaan diri, untuk status. Sekali lagi logo itu dibangun ratusan tahun, bukan setahun dua tahun," tutur Rhenald.
"Biaya pengembangan atau pembuatan logo ternyata lebih mahal daripada untuk produksi," tambahnya.
Apabila dibandingkan dengan klaim TikTok bahwa biaya produksi hanya 1 persen dari harga produk, Rhenald pun meluruskan narasi tersebut.
"Dalam kenyataannya, para pelaku usaha ini mengaku biaya produksinya 1 sampai 30 persen. Jadi besar sekali biayanya, tapi tidak terlalu besar jika dibanding biaya marketing," ujarnya.
Mereka lebih banyak membayar orang untuk membangun narasi, konsultan, tim pemasaran, hingga media-media yang digunakan dalam promosi. Hal ini termasuk menggaet selebriti-selebriti terkenal.
"Yang tujuannya adalah menjadikan harta tak kelihatan yang ada dalam pikiran manusia, mendapatkan trust, dan yang dijual adalah history and heritage, yang tentu saja adalah trust," terangnya.
Sebagai kesimpulan, Rhenald menjelaskan bahwa selama konsumen menginginkan kepercayaan itu maka kesenjangan antara biaya produksi dan harga sesungguhnya tidak begitu berpengaruh.
Namun, ia memaparkan bahwa situasinya akan berbeda pada generasi yang lebih muda atau Gen Z. Mereka yang lahir pada akhir 1990-an dan awal 2000-an punya pertimbangan lain dalam memilih barang.
Cara China bertahan dari perang dagang dengan lawan narasi brand mewah
Sebelum masuk ke pembahasan mengapa Gen Z akan mengalami pergeseran konsumsi barang mewah, latar belakang China membongkar rahasia manufaktur pun perlu diketahui.
Selama ini, China terkenal dengan barang alternatif dari brand mewah Eropa. Sehingga, mereka menggunakan strategi membongkar biaya produksi murah brand mewah sebagai cara bertahan hidup.
"Ini adalah era baru, tentu saja agar motifnya negara tidak sengsara dalam melewati perang dagang," kata Rhenald.
"Jadi supaya tidak sengsara, mereka melakukan cara-cara ini karena mereka melihat sosial media sebagai alat. Dan alat itu dasarnya adalah algoritma dan siapa yang menguasai data merekalah yang menang," sambungnya.
Namun dalam transaksi barang mewah, ada alasan mengapa brand-brand tersebut bisa mematok harga tinggi.
Kemudian, Profesor Rhenald menjelaskan bahwa brand mewah barat meningkatkan nilai barang dengan menjual "narasi".
Brand-brand tersebut bernilai tinggi bukan hanya karena harga produksinya, melainkan dari cara mereka membangun citra tersendiri yang menumbuhkan kesan eksklusif.
"Mereka membangun narasi 'heritage', ini adalah masa kejayaan Eropa, tradisi yang panjang, bagaimana mereka memilih bahan-bahan baku pilihan. Jadi merekalah yang pertama di dunia," paparnya.
"Yang kedua adalah, mereka membangunnya ini ratusan tahun. Jadi bukan hanya setahun dua tahun, tapi mereka sudah membangunnya sejak 100 tahun yang lalu," tambah pengajar tersebut.
Sebagai salah satu contoh, Rhenald menyebutkan brand Louis Vuitton yang sudah berdiri sejak 100 tahun lebih.
Selama berdekade-dekade, Louis Vuitton telah menyisihkan anggaran besar untuk membangun narasi "warisan Eropa" ini dan angkanya terus bertambah.
Selain Louis Vuitton, brand lain seperti Gucci, Chanel, Hermes, hingga Prada juga sudah berdiri selama lebih dari 100 tahun.
"Jadi sedikit sekali merek-merek baru. Kita baru mengenal Uniqlo beberapa tahun belakangan ini, tapi mereka sudah membangun merek ini ratusan tahun. begitu juga Levi's di Amerika itu sudah hampir 200 tahun," ungkapnya.
Baca juga: Saat Pemerintah dan DPR Rapat Diam-diam Selama 2 Hari di Hotel Mewah, Diduga Bahas Revisi UU TNI
Dengan demikian, narasi membongkar harga manufaktur murah China menyerang pola pemasaran brand-brand tua ini.
Selain "warisan Eropa", brand mewah terus berusaha memberikan kesan eksklusif dengan mengeluarkan produk terbatas.Kesan eksklusif ini yang menyasar kepercayaan diri konsumen ketika memakainya.
"Hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya dan ini bisa menjadi koleksi, dan suatu ketika bisa dijual lagi kepada orang lain," ucap dia.
"Siapa yang memiliki barang limited edition itu akan dipandang sebagai kelas yang mewah," sambungnya.
Bukan hanya itu, masih banyak narasi yang digunakan oleh brand tersebut untuk mendapatkan kepercayaan konsumen.
Namun, situasi berbeda terlihat dari perilaku Gen Z dalam menilai dan memilih kemewahan itu sendiri.
"Tapi setelah pandemi berakhir, sosial media berkembang, lalu kemudian muncul Gen Z ini kemudian narasinya bergeser. Gen Z tidak mempercayai itu, mereka mencari tema-tema yang berbeda," jelas Rhenald.
Baca juga: Perang Dagang AS Vs China, Siapa yang Akan Menang?
Perubahan pola konsumsi Gen Z
Menurutnya, Gen Z mencari benda-benda yang fungsional dan terjangkau.
Dengan kemunculan generasi ini, pola konsumsi mereka pun akan berbeda dengan sebelumnya. Karena mementingkan harga, mereka cenderung terpengaruh pada diskon dan value for money.
Dengan Gen Z kebanyakan berada di kelas menengah, Rhenald memaparkan bahwa merekalah yang paling terpenaruh pada kepemimpinan suatu negara.
"Kalau kepemimpinannya tidak solid, tidak bisa membaca ini semua, maka kelas menengahnya mengalami kemunduran," katanya.
Di sisi lain, Gen Z juga sangat terpengaruh oleh suasana perang dagang yang sedang berlangsung. Apalagi mereka yang menuntut ilmu di luar negeri, mereka dihantui ketakutan akan dideportasi karena suasana global yang kurang kondusif.
Selain itu, sedang ada gerakan masif di berbagai negara yang membanggakan "local pride" dengan menggunakan produk dari dalam negeri. Sebagai contoh, kebiasaan konsumsi kopi pada kaum muda sekarang lebih tertuju pada kedai kopi lokal daripada brand impor.
Kemewahan bagi Gen Z pun bergeser menjadi quiet luxury, yang menunjukkan bahwa mereka tidak ingin terlalu mencolok ketika mengenakan suatu produk sekaligus tetap meraskaan kemewahannya.
Apalagi, menurut Gen Z nilai dan makna kemewahan lebih luas lagi daripada sekadar harga yang tinggi.
"Kalau ini digabungin semua masyarakat Gen Z di Asia ini memang berbeda, apalagi yang terpengaruh dengan value of money maka mereka tidak ingin tertipu karena harga. Dan ini yang dibangun influencer dari China melalui TikTok," jelas Rhenald.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.