"The rule of law should be a shield for the weak, not a weapon for the powerful." – Anonymous
KUTIPAN ini mengingatkan kita bahwa hukum seharusnya menjadi pelindung bagi mereka yang patuh terhadap aturan, bukan senjata bagi pihak yang berkuasa.
Prinsip ini menjadi sangat relevan dalam konteks polemik penyegelan dan pembongkaran sejumlah objek wisata di Kawasan Puncak, Bogor, yang menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, prosedur hukum, dan perlindungan terhadap pelaku usaha yang telah memenuhi ketentuan legal.
Polemik ini mendapat sorotan dari Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, yang menegaskan bahwa tindakan pembongkaran tidak boleh dilakukan secara sepihak, terutama jika legalitas usaha telah diurus secara sah.
Pernyataan ini mencerminkan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas investasi di sektor pariwisata, terutama ketika berhadapan dengan kebijakan penertiban yang berpotensi merugikan banyak pihak.
Kepastian hukum dalam penegakan peraturan
Pernyataan Menteri Pariwisata tersebut menegaskan bahwa dalam penegakan hukum, kepastian hukum tidak boleh diabaikan.
Pada prinsipnya, pemerintah memang memiliki kewenangan untuk bertindak jika ditemukan pelanggaran terhadap aturan tata ruang dan perizinan.
Namun, kewenangan tersebut tidak bersifat mutlak dan harus dijalankan berdasarkan prosedur hukum yang sah dan akuntabel.
Baca juga: Student Loan: Solusi atau Lepas Tangan Negara?
Terhadap wahana wisata yang telah mengantongi izin usaha secara sah, tindakan penggusuran atau penyegelan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang.
Ada mekanisme hukum yang harus ditempuh terlebih dahulu, baik melalui proses administratif maupun yudisial, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak pelaku usaha yang beritikad baik.
Dalam hal ini, pencabutan izin merupakan bentuk keputusan tata usaha negara (KTUN) yang harus memenuhi unsur formal dan material.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Izin usaha adalah relasi yuridis antara negara dan warga, yang hanya dapat dibatalkan jika terbukti terdapat cacat dalam aspek kewenangan, prosedur, dan/atau substansi dalam penerbitannya.
Di samping itu, perizinan merupakan instrumen regulasi yang mencakup syarat, kewajiban, dan larangan tertentu.
Jika pelaku usaha tidak memenuhi ketentuan tersebut, misalnya, melakukan pelanggaran signifikan terhadap tata ruang atau lingkungan yang membahayakan kepentingan umum, maka izin dapat dipertimbangkan untuk dicabut. Namun, hal itu tetap harus dilakukan dengan asas kehati-hatian.
Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa pembongkaran, pemerintah berkewajiban untuk mengeluarkan surat peringatan tertulis.
Baca juga: Tukin, Sertifikasi, dan Dosen Swasta
Surat ini harus memuat unsur legal formal yang jelas, termasuk siapa yang berwenang, objek pelanggaran, dasar hukum yang dilanggar, serta jangka waktu yang diberikan untuk perbaikan.
Langkah ini merupakan bentuk penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Ketentuan mengenai pembatalan KTUN juga telah diatur secara rinci dalam Pasal 66 dan 67 UU Administrasi Pemerintahan.
Jika ditemukan cacat hukum, maka pembatalan atau pencabutan hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang menerbitkan keputusan, atasan pejabat tersebut, atau berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam hal pembatalan dilakukan oleh pejabat, keputusan pembatalan harus diterbitkan paling lambat lima hari kerja sejak alasan ditemukan. Jika dilakukan berdasarkan perintah pengadilan, batas waktunya adalah 21 hari kerja.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan juga terkait dengan alasan pencabutan izin dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan.
Apabila pencabutan izin dilakukan karena adanya kesalahan prosedur atau keteledoran dari pejabat yang mengeluarkan izin, maka pencabutan izin tersebut tidak boleh merugikan pelaku usaha.
Tindakan pemerintah yang dilakukan harus mempertimbangkan segala kerugian yang mungkin diderita oleh pelaku usaha. Hal ini perlu dilakukan karena pelaku usaha sudah menjalankan prosedur yang berlaku.
Pemerintah dapat mengabaikan kerugian yang dialami oleh pelaku usaha akibat pencabutan izin apabila pencabutan itu dilakukan atas dasar kesalahan atau pelanggaran dari pelaku usaha. Misalnya terdapat tindak pidana korupsi di dalamnya (praktik suap dan gratifikasi).
Namun demikian, bila terdapat pelanggaran hukum demikian, pelanggaran tersebut tidak boleh berhenti hanya sebatas pencabutan izin. Harus ada penegakkan hukum terhadap pejabat atau staf yang terlibat dalam pelanggaran hukum tersebut.
Dalam hal ini, penegakkan hukum pidana, khususnya pidana korupsi harus diterapkan.
Dampak terhadap iklim investasi
Ketika hukum tidak ditegakkan secara konsisten, bukan hanya keadilan yang terganggu, tetapi juga kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah.
Tindakan pembongkaran sepihak, khususnya terhadap usaha yang telah mengantongi izin resmi, berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang merusak iklim investasi, terutama di sektor pariwisata.
Investasi sangat bergantung pada kejelasan regulasi dan jaminan stabilitas. Jika pelaku usaha merasa bahwa izin yang sah bisa dicabut sewaktu-waktu tanpa proses hukum yang adil, maka risiko investasi di mata pelaku usaha akan meningkat, dan daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi akan menurun.
Baca juga: 700 CPNS Dosen Mundur: Refleksi Strategi Manajemen Talenta Nasional
Iklim investasi yang sehat hanya dapat terbentuk jika para pelaku usaha merasa bahwa mereka dilindungi oleh hukum, bukan dikorbankan kepentingan politik atau tekanan birokrasi.
Pemerintah harus menunjukkan bahwa seluruh tindakan penegakan hukum dilandaskan pada peraturan perundang-undangan, bukan pada kepentingan sesaat.
Perizinan pada dasarnya merupakan instrumen untuk mengatur kegiatan yang berpotensi berdampak terhadap kepentingan umum.
Maka dari itu, pelanggaran terhadap izin harus dievaluasi dengan cermat, apakah bersifat substansial atau tidak substansial.
Tindakan hukum hanya dapat diambil setelah melalui analisis yang menyeluruh, bukan melalui reaksi spontan yang dapat memicu ketidakadilan.
Solusi terbaik dalam situasi seperti ini adalah mencari jalan tengah melalui dialog, proses hukum, dan mekanisme administratif yang sah.
Pelaku usaha perlu diberikan ruang untuk membela diri dan melakukan koreksi apabila pelanggaran yang terjadi bersifat teknis atau administratif ringan.
Tentu, komitmen terhadap dialog tidak berarti toleransi terhadap pelanggaran berat. Jika pelanggaran terbukti bersifat serius dan menimbulkan dampak signifikan terhadap lingkungan atau keselamatan publik, maka sanksi tegas tetap harus dijatuhkan.
Namun demikian, sanksi tersebut harus melalui proses hukum yang transparan agar memiliki legitimasi kuat dan tidak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Keterlibatan masyarakat lokal juga perlu menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Kawasan wisata seperti Puncak bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang hidup bagi warga yang menggantungkan penghidupan di sana.
Karena itu, kebijakan yang diambil sebaiknya mencerminkan kepentingan semua pihak, bukan hanya negara atau investor.
Dengan pendekatan yang adil, transparan, dan berbasis hukum, kepentingan semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat, dapat terlindungi secara proporsional.
Penegakan hukum bukan sekadar tindakan administratif, melainkan juga cerminan dari watak negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan, kepastian, dan kemanusiaan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.