KOMPAS.com - Masyarakat Indonesia masih menjadi endemi penyakit demam Tifoid atau yang secara awam disebut tipes.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, sekitar 4.444 orang terserang tipes setiap tahunnya.
Baca juga: Termasuk Penyakit Endemik Indonesia, Bagaimana Tipes Memengaruhi Tubuh Anda?
Bahkan, World Health Organization (WHO) mencatat 900.000 kasus demam tipes di Indonesia per tahun. Angka kematian akibat penyakit ini mencapai 200.000 per tahun.
Sementara tipes masih "hidup" Indonesia, bakteri penyebab penyakit ini menunjukkan tanda-tanda semakin kebal terhadap antibiotik di negara lain.
Studi dari jurnal The Lancet Microbe (2022) memperingatkan bahwa tingkat resistensi bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S Typhi) semakin meningkat selama tiga dekade terakhir.
Padahal, antibiotik adalah satu-satunya cara untuk mengobati tifus secara efektif.
Dilansir dari Science Alert, Senin (22/4/2025), sebuah penelitian yang dipimpin oleh peneliti Universitas Stanford Kesia Esther da Silva, PhD ini melakukan penelitian di beberapa negara.
Mereka mengurutkan genom dari 3.498 strain S Typhi yang tertular dalam rentang waktu 2014 hingga 2019 dari beberapa negara.
Dari Nepal, Bangladesh, Pakistan, dan India, para peneliti menemukan bahwa peningkatan kasus Typhi sangat resistan terhadap obat (extensively drug-resistant/XDR).
Kekebalan bakteri terhadap antibiotik menyebar ke seluruh dunia
Selain itu, XDR Typhi bukan hanya kebal terhadap antibiotik lini pertama seperti ampisilin, kloramfenikol, dan trimetoprim/sulfametoksazol.
Mereka juga kebal terhadap jenis antibiotik yang lebih baru. Contohnya seperti fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga.
Peneliti memperingatkan bahwa keturunan S Typhi menyebar secara global dengan cepat.
Meskipun sebagian besar kasus XDR Typhi berasal dari Asia Selatan, para peneliti telah mengidentifikasi 200 kasus penyebarannya secara global sejak 1990.
Mereka menjelaskan bahwa sebagian besar strain atau turunannya telah menyebar ke Asia Tenggara, serta Afrika Timur dan Selatan.
Selain negara-negara berkembang, Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Kanada menemukan bakteri super tifoid di sana.
"Kecepatan munculnya dan penyebaran keturunan S Typhi yang sangat kebal dalam beberapa tahun terakhir merupakan penyebab nyata yang perlu dikhawatirkan, dan menyoroti perlunya segera memperluas tindakan pencegahan, terutama di negara-negara dengan risiko terbesar," ujar spesialis penyakit menular Jason Andrew dari Universitas Stanford, yang merupakan bagian dari peneliti tersebut.
Baca juga: Penyebab Tipes dan Caranya Memengaruhi Tubuh Penderita
Para ilmuwan ini memperingatkan tentang S Typhi yang resistan terhadap obat selama bertahun-tahun.
Mereka menemukan keturunan XDR Typhi pertama di Pakistan pada 2016. Kemudian, galur tersebut menjadi genotipe dominan di sana.
Dalam sejarahnya, sebagian besar keturunan XDR Typhi telah dilawan dengan antibiotik generasi ketiga. Antibiotik seperti kuinolon, sefalosporin, dan makrolida efektif untuk mencegah infeksi lebih lanjut.
Namun, mutasi menyebabkan kekebalan bakteri terhadap kuinolon meningkat 85 persen pada awal tahun 2000-an.
Semua kasus itu berasal dari Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, dan Singapura. Pada saat bersamaan kekebalan terhadap sefalosporin juga terjadi.
Saat ini, antibiotik oral menjadi andalan melawan bakteri penyebab tipes. Namun, antibiotik seperti makrolida dan azitromisin kemungkinan tidak akan ampuh lagi.
Pada studi tahun 2022, peneliti menemukan mutasi menyebar terhadap azitromisin yang "mengancam kemanjuran semua antimikroba oral untuk pengobatan tifus".
Kendati mutasi itu belum diadopsi oleh XDR S Typhi, kemungkinan itu terus mengintai manusia.
Langkah mencegah bencana akibat resistensi bakteri
Apabila tidak diobati, hal ini bisa berakibat fatal. Dari 11 juta kasus setiap tahunnya, angka itu bisa naik 20 persen.
Untuk mencegah wabah di masa depan, vaksin konjugat tifoid termasuk salah satu yang bisa diandalkan. Vaksin ini dibuat dari gabungan antigen dan protein pembawa virus.
Maka, akses terhadap vaksin konjugat tifoid seharusnya diperluas secara global. Apabila hal ini tidak segera dilakukan, dunia akan menghadapi krisis kesehatan di masa depan.
"Munculnya S Typhi yang resistan terhadap XDR dan azitromisin baru-baru ini menciptakan urgensi yang lebih besar untuk memperluas tindakan pencegahan dengan cepat, termasuk penggunaan vaksin konjugat tifoid di negara-negara endemis tifoid," ungkap para penulis.
Baca juga: 5 Tips Sederhana Mencegah Penyakit Tipes, Apa Saja?
"Tindakan seperti itu diperlukan di negara-negara yang saat ini memiliki prevalensi resistensi antimikroba di antara isolat S Typhi yang tinggi, tetapi mengingat kecenderungan penyebaran internasional, tindakan tersebut tidak boleh dibatasi pada situasi seperti itu," lanjut mereka.
Selama ini, negara-negara di Asia Selatan menjadi pusat baru demam tifoid yang mencakup 70 persen dari keseluruhan kasus.
Jika berkaca pada pandemi COVID-19, penyakit bisa saja menyebar secara global walau kebanyakan tumbuh di suatu negara.
Para peneliti dan ahli kesehatan menyarankan negara-negara segera memperluas akses terhadap vaksin tifoid. Selain itu, mereka juga bisa berinvestasi dalam penelitian antibiotik baru.
Mereka menyoroti studi baru di India yang menunjukkan bahwa vaksinasi anak-anak perkotaan terhadap tifoid dapat mencegah 36 persen kasus dan kematian akibat tifoid.
Saat ini, Pakistan telah menerapkan imunisasi rutin terhadap tipes sehingga bisa menjadi percontohan bagi negara lain.
Para peneliti menganggap bahwa resistensi terhadap antibiotik ini menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Maka dari itu, vaksin dianggap sebagai cara terbaik untuk mencegah risiko lebih lanjut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.