Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2016

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menyusuri Jalan Sunyi Peradaban Kiwari

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/ POPTIKA
Ilustrasi sains.
Editor: Sandro Gatra

ADA masa ketika ilmu adalah cahaya. Ia menerangi jiwa manusia sebelum mengubah dunia. Dalam peradaban Islam, di lorong-lorong Baghdad, Kairo, dan Córdova, ilmuwan berdoa sebelum bereksperimen. Mereka menulis bukan hanya dengan akal, tapi dengan iman yang bergetar.

Hari ini, di abad kecepatan dan efisiensi, kita menyaksikan sesuatu yang ganjil: dunia menjadi lebih canggih, tetapi manusia kian gelisah dengan dirinya.

Mungkin, ini saatnya kita kembali bertanya; untuk siapa dan untuk apa semua kecanggihan ini dibangun?

Mari kita mundur ke masa tiga abad silam, pada abad ke-19 dan 20, dunia menyaksikan lahirnya "selebriti intelektual"—para ilmuwan yang, lewat karya dan temuan mereka, mengubah wajah peradaban manusia.

Charles Darwin, dengan teorinya tentang evolusi, mengguncang fondasi keyakinan lama tentang asal-usul manusia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Michael Faraday, si ilmuwan otodidak, membuka tabir elektromagnetisme, dan membangun jalan bagi lahirnya dunia listrik modern.

Marie Curie, seorang pionir perempuan di dunia sains, mempersembahkan penelitian tentang radioaktivitas yang tak hanya mengguncang ranah fisika, tetapi juga membuka harapan dalam pengobatan kanker.

Masuk ke abad ke-20, cahaya itu semakin terang. Albert Einstein, dengan teori relativitasnya, memperluas batas imajinasi manusia tentang ruang dan waktu.

Dalam dunia listrik, dua nama besar—Nikola Tesla dan Thomas Edison—bersaing sengit dalam "Perang Arus" yang menentukan sistem tenaga listrik dunia.

Mereka menjadi ikon. Bukan hanya di ruang laboratorium, tetapi juga di ruang publik: wajah mereka terpampang di surat kabar, dan ide-ide mereka diperdebatkan di kafe-kafe, layaknya bintang pop zaman modern.

Namun, jika kita menoleh lebih jauh ke belakang, jauh sebelum era industrialisasi, dunia sudah mengenal masa di mana ilmuwan adalah bintang peradaban—masa keemasan Dunia Islam, sedari abad ke-8 hingga abad ke-13. 

Di Baghdad, Kota Cahaya, berdirilah Bayt al-Hikmah—"Rumah Kebijaksanaan"—sebuah lembaga ilmu pengetahuan yang mengumpulkan manuskrip dari Yunani, Persia, India, dan membangun jembatan antar budaya.

Di sinilah para ilmuwan seperti Al-Khwarizmi (Bapak Aljabar) memperkenalkan sistem bilangan yang menjadi dasar matematika modern.

Ibn Sina/Avicenna (Bapak Kedokteran) menulis al-Qanun di at-Thib (The Canon of Medicine), kitab kedokteran yang menjadi rujukan dunia Barat hingga abad ke-21.

Lalu ada Ibn al-Haytham/Alhazen (Bapak “Cahaya”) yang menulis "Kitab al-Manazir" (Buku Optik), memulai metode eksperimental dalam fisika.

Ada juga Al-Zahrawi yang menyusun ensiklopedia bedah, termasuk penggunaan alat bedah yang sebagian besar masih digunakan hingga kini.

Ada juga Jabir bin Hayyan, yang di Barat dikenal sebagai Geber, adalah seorang ilmuwan Muslim yang dijuluki Bapak Ilmu Kimia.

Ia hidup pada masa kejayaan Islam di Kufah, Irak, dan menjadi pelopor dalam pengembangan metode ilmiah dalam studi tentang materi dan transformasinya.

Melalui karyanya, Jabir memperkenalkan berbagai teknik kimia seperti distilasi, kristalisasi, sublimasi, dan filtrasi— teknik-teknik dasar yang masih digunakan hingga hari ini.

Ia juga menciptakan dan menyempurnakan berbagai alat laboratorium, termasuk alembik (alat distilasi awal).

Selain praktik eksperimental, Jabir juga merumuskan teori tentang struktur materi, yang berusaha menggabungkan unsur filosofis dan ilmiah. Ia percaya bahwa semua benda tersusun dari empat sifat dasar: panas, dingin, kering, dan basah.

Di antara karya terkenalnya adalah Kitab al-Kimya dan Kitab al-Sab'een, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan penting di Eropa selama abad pertengahan.

Warisan Jabir bin Hayyan tidak hanya membangun dasar ilmu kimia, tetapi juga menginspirasi perkembangan alkimia dan sains modern. Dedikasinya terhadap eksperimen dan metode sistematis membuatnya diakui sebagai salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah.

Kita belum lagi menyebut nama Omar Khayam yang meletakkan landasan pembuatan kalender; Ibn Hazm sang Bapak Psikologi; at-Thusi yang menerangi dunia astronomi dengan temuannya bahwa bumi mengelilingi matahari; Ibn Firnas yang memlopori disiplin ilmi aeronautika; al-Jaziri sang Bapak Robotika, al-Idrisi sang kartografer utama; dan Ibn Khaldun, yang ditahbis sebagai Bapak Sosiologi.

Pada masa itu, ilmuwan bukan sekadar peneliti. Mereka adalah penjaga cahaya, pembuka jalan ruhani, dan pembimbing masyarakat.

Ilmu tidak dipandang bertentangan dengan iman, melainkan bagian dari pencarian terhadap Sang Pencipta. Hal inilah yang mendasari kenapa pada masa itu mereka meyakini bahwa Sains itu Sakral.

Mereka menyadari: Mengejar ilmu adalah ibadah. "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim," kata Nabi Muhammad SAW, dan kalimat itu bergema dalam peradaban.

Sains, teknologi, dan degradasi kemanusiaan

Hari ini, di abad ke-21, kita menyaksikan kebangkitan kembali peran ilmuwan, tetapi dalam lanskap yang sangat berbeda. Para ilmuwan seperti Stephen Hawking mengubah pemahaman kita tentang lubang hitam dan asal muasal alam semesta.

Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier dengan penemuan CRISPR-nya, mengubah cara manusia dapat "mengedit" genetikanya. Lalu Fei-Fei Li dan para ilmuwan AI yang membuka pintu menuju masa depan kecerdasan buatan.

Namun, dunia modern juga membawa tantangan baru: informasi yang berlimpah tapi juga polarisasi semakin kuat.

Di tengah gelombang hoaks, teori konspirasi, dan skeptisisme terhadap sains, suara para ilmuwan seringkali teredam oleh media yang berisik. Kita hidup di zaman di mana seorang TikToker bisa lebih dipercaya daripada seorang profesor sains.

Zaman di mana narasi emosional kadang lebih viral daripada bukti empiris.
Namun justru di sinilah, peran ilmuwan menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Mereka bukan sekadar penghasil penemuan; mereka adalah penjaga cahaya akal sehat, pelindung integritas peradaban.

Ilmu pengetahuan memanggil generasi baru—tidak hanya untuk mengagumi sains sebagai sesuatu yang jauh dan dingin, tetapi untuk menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan masa keemasan Islam dan para pionir dunia modern.

Menghormati sains berarti menghormati pencarian kebenaran, kebebasan berpikir, dan kerendahan hati dalam keluasan semesta.

Seperti kata Carl Sagan, "Kita semua adalah debu bintang." Namun dalam kerapuhan itu, kita punya satu anugerah besar: akal yang terus mencari, dan jiwa yang terus merindukan terang.

Dalam pencarian itu, ilmuwan—baik dulu maupun sekarang—adalah lentera yang menuntun kita melintasi gelapnya ketidaktahuan menuju cakrawala cahaya.

Ironisnya, ketika sains dan teknologi mencapai puncak kemajuannya, kemanusiaan justru menghadapi ancaman degradasi yang tak kalah serius.

Sains telah membuka rahasia atom—namun manusia juga menggunakannya untuk menciptakan senjata pemusnah massal.

Teknologi telah menyatukan dunia dalam hitungan detik—sekaligus memecah belah kita dengan algoritma yang memperkuat polarisasi, membangun dinding-dinding tak terlihat di antara sesama.

Kemajuan medis telah memperpanjang harapan hidup—namun kesenjangan akses kesehatan justru melebar, memisahkan yang mampu dan yang terlupakan.

Hari ini kita hidup dalam paradoks. Kita bisa berbicara lintas benua dalam hitungan detik, tapi masih gagap berbicara hati ke hati dengan tetangga sebelah.

Kita memetakan genom manusia, tapi masih gagal mengatasi prasangka dan diskriminasi yang menghancurkan martabat. Kita menjelajahi antariksa, tapi lupa menjelajah kedalaman batin sendiri.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena kemajuan lahiriah tidak otomatis berarti kemajuan batiniah. Karena ilmu tanpa hikmah, kecerdasan tanpa kebijaksanaan, hanya membangun dunia luar sambil membiarkan dunia di dalam diri, runtuh.

Dalam tradisi Islam—dan banyak tradisi spiritual besar—ilmu sejati tidak hanya memperkaya akal, tetapi juga memperhalus jiwa. "Ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa buah," demikian kata pepatah Arab.

Begitu juga, ilmu tanpa akhlak, hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan jalan pencerahan. Inilah tantangan zaman kita. Menghidupkan kembali sains yang tidak hanya mencari "apa" dan "bagaimana", tetapi juga menanyakan "mengapa" dan "untuk siapa".

Membangun kembali jembatan sains dan kemanusiaan

Kita memerlukan paradigma baru—atau lebih tepatnya, paradigma lama yang telah lama dilupakan—di mana ilmu pengetahuan adalah jalan untuk memahami ciptaan, bukan untuk menguasainya tanpa batas.

Ilmu adalah alat untuk membangun kehidupan bersama, bukan membelah dan mengeksploitasi. Ilmu adalah bagian dari pencarian makna, bukan sekadar akumulasi fakta.

Sains sesungguhnya lahir dari kagum terhadap misteri alam dan empati pada sesama, bukan dari kesombongan atau ambisi semata.

Ketika ilmuwan memasuki laboratorium, seharusnya ia membawa rasa takjub – bukan keangkuhan – serta niat tulus untuk membantu kemanusiaan.

Bahkan Albert Einstein mengingatkan, “Hal yang paling indah yang dapat kita alami adalah kemisteriusan. Ini adalah sumber semua seni nyata dan ilmu pengetahuan.”

Namun, dewasa ini seringkali jalur tersebut menyimpang. Komersialisme dan ambisi pragmatis membuat sains terjebak pada perolehan keuntungan dan kemegahan jangka pendek.

Dalam riset industri modern, misalnya, tujuan utamanya seringkali “bukan untuk memeroleh pengetahuan baru, tapi menciptakan produk demi keuntungan.”

Etika kemanusiaan pun dialihkan pada pengurus bisnis, seolah-olah tanggung jawab moral hanyalah urusan mereka, bukan ilmuwan.

Padahal ilmu tidak pernah netral (bebas nilai): “ilmuwan tak lagi bisa mengklaim bahwa sains itu netral, melainkan harus mempertimbangkan aspek etika dan sosial dari pekerjaan mereka.”

Jika sains kehilangan akar kemanusiaannya, betapa pun maju teknologinya, maka yang tercipta hanyalah bahaya kehancuran.

Sains yang bermakna selalu berakar pada rasa kagum dan keinginan memahami dunia secara bijak. Rasa ingin tahu akan menimbulkan kerendahan hati.

Seperti kata Einstein, “Tata alam yang kita saksikan begitu agung sehingga kita tak akan pernah memahami semuanya; hal itu menimbulkan perasaan rendah hati pada insan berpikir.” Ia percaya setiap penemu sejati pada dasarnya hanya “sangat ingin tahu.”

Sebaliknya, kesombongan dan ambisi tak terkendali menggerus semangat murni ini. Dalam konteks kekinian, perlombaan mengejar dana dan kesuksesan akademik kadang mengabaikan nilai kebenaran dan kemanfaatan.

Sains baru bermakna ketika dituntun oleh keprihatinan akan martabat manusia dan keutuhan alam. Sebab, ilmu tanpa hikmah hanya menjadi senjata tak bertuan.

Ilmu tanpa kemanusiaan dapat berubah menjadi pisau bermata dua. Sebaliknya, nilai-nilai luhur—kebaikan, keindahan, kebenaran—harus menjadi cita-cita peneliti.

Einstein pernah menyatakan, cita-cita yang menerangi jalannya dan membangkitkan semangatnya adalah “kebaikan, keindahan, dan kebenaran.”

Dengan kerendahan hati dan belas kasih, ilmu pengetahuan hendaknya selalu dibagi, bukan dipatenkan semata, selalu membangun, bukan menghancurkan.

Dalam sejarah, dunia Islam pernah menjadi teladan jembatan ilmu dan spiritualitas. Pada Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga 13 M), ilmu pengetahuan berkembang pesat bukan hanya berkat sarana politik-ekonomi, melainkan juga karena integrasi nilai spiritual.

Umat Islam kala itu menganggap pencarian ilmu sebagai bagian dari ibadah dan syukur kepada Tuhan. Mereka tidak memisahkan ilmu duniawi dengan nilai agama.

Karena dalam Dunia Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Artinya, para cendekiawan Muslim memandang semua ilmu–mulai matematika, astronomi, hingga filsafat dan teologi–sebagai kesatuan pencarian hikmah.

Dalam tradisi itu, mempelajari alam semesta berarti merenungkan tanda kebesaran Ilahi. Sains dipandang sebagai jalan menyibak tabir ciptaan Tuhan, sehingga pandangan dunia ilmiahnya bersifat teosentris.

Sebuah studi kiwari menggarisbawahi bahwa tradisi ilmiah Islam bergantung pada sistem epistemologi khasnya. Sistem intelektual ini yang berpijak pada ajaran Wahyu, menumbuhkan wawasan dunia dengan kerangka metafisika dan prasangka filosofis dalam sains.

Artinya, ilmuwan Muslim terhubung langsung dengan akarnya—Wahyu dan hikmah—saat meneliti. Misalnya, Ibn Sina dalam Kitab al-Shifa menganggap sains sebagai usaha menemukan aturan Allah di alam semesta.

Hubungan erat ilmu dan spiritualitas ini menginspirasi karya-karya ilmuwan Muslim yang monumental.

Sebab bagi mereka, mengungkap rahasia semesta sama mulianya dengan ibadah; yaitu memperdalam pemahaman tentang Sang Pencipta.

Pengaruhnya terasa hingga kini: pengelompokan ilmu di perpustakaan Islam klasik sekali pun, tidak memisahkan secara esensial antara teologi dan matematika.

Bagaimana inspirasi zaman keemasan Islam dapat mengubah paradigma sains hari ini? Inti pesannya adalah: kembalikan hati dan hikmah dalam proses ilmiah. Hilangkan ilusi eksklusivitas sains yang sekadar mengejar data tanpa makna.

Salah satu langkahnya, kembalikan empati dan keadilan sebagai dasar aplikasi sains. Cita-cita membangun dunia lebih baik harus seiring dengan langkah penelitian, bukan tertinggal di belakang.

Sebagai pedoman, kita dapat merujuk pada prinsip UNESCO terbaru bahwa sains hendaknya menempatkan kesejahteraan manusia dan inklusi sosial di pusatnya.

Dengan kata lain, inovasi ilmiah perlu diarahkan untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, bukan hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Seperti kata Einstein suatu hari, "Ilmu tanpa agama, pincang. Agama tanpa ilmu, buta."

Kita membutuhkan keduanya—agar kita tidak hanya menjadi makhluk cerdas, tapi juga makhluk berbelas kasih, agar kita tidak hanya membangun dunia yang lebih pintar, tetapi juga dunia lebih beradab.

Karena masa depan manusia tidak hanya ditentukan oleh sejauh mana kita bisa menjelajahi bintang-bintang dan galaksi, melainkan bagaimana kita bisa tetap setia pada cahaya Tuhan yang bersemayam di dalam diri sendiri.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi