Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Operasional AI Generatif Butuh Konsumsi Air Luar Biasa Banyak

Baca di App
Lihat Foto
Freepik
Ilustrasi: Universitas Negeri Surabaya (UNESA) resmi membuka jurusan Artificial Intelligence (AI) untuk mahasiswa baru 2025, mulai hari ini, Senin (10/3/2025)
Editor: Sandro Gatra

TIDAK banyak diketahui di balik berbagai manfaatnya yang spektakuler, operasional teknologi Akal Imitasi (AI) membutuhkan air dalam jumlah sangat besar.

AI yang di satu sisi menghadirkan efisiensi dan manfaat, di sisi lain melahirkan tantangan dampak terhadap sumber daya alam, terutama konsumsi air dalam skala besar.

OECD, organisasi internasional untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan, membuat laporan berjudul "The hidden cost of AI: Unpacking its energy and water footprint".

Observatorium kebijakan AI OECD mengidentifikasi masalah lingkungan di tengah meningkatnya konsumsi energi dan air akibat penerapan AI.

Pada 12 Februari 2025, OECD dan IEEE mengadakan diskusi terkait dampak lingkungan dari AI. Pembahasan khususnya terkait biaya energi, dampak pusat data terhadap jaringan listrik, dan jejak air yang dihasilkan pusat data AI.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para pakar menyoroti bagaimana pusat data pendukung AI mengonsumsi energi dan air dalam jumlah besar. Juga menciptakan tekanan pada sumber daya lokal, terutama di wilayah yang kekurangan air.

Baca juga: Bersikap Sopan kepada AI GPT Berdampak Biaya Mahal

Pembahasan juga mencakup pentingnya mengurangi jejak karbon dengan memilih model AI yang lebih efisien dan ramah lingkungan, pusat data dan jaringan listrik, dan komitmen untuk beralih ke energi terbarukan.

Penggunaan air dalam pusat data memerlukan sejumlah besar air untuk pendinginan. Hal ini meningkatkan risiko kelangkaan air di banyak wilayah. Sayangnya, dampaknya justru sering diabaikan.

OECD menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor publik, industri, dan akademisi, untuk menciptakan solusi keberlanjutan yang efektif bagi AI.

Upaya standarisasi seperti yang dikembangkan oleh IEEE diperlukan untuk mengukur dampak lingkungan AI secara transparan dan menyeluruh.

OECD juga menekankan urgensi untuk mengembangkan kebijakan teknologi, yang mendukung keberlanjutan dalam setiap tahap siklus hidup AI.

Konsumsi air

Yale School of Environment mempublikasikan laporan riset berjudul “As Use of A.I. Soars, So Does the Energy and Water It Requires” (06/02/2024), yang ditulis David Berreby.

David Berreby menyatakan, dampak langsung AI terhadap permintaan air terlihat dari kebutuhan intensif air pada pusat data yang diperlukan untuk melatih model AI bahasa besar.

Laporan riset lainnya berjudul “AI in water management: Balancing innovation and consumption” (25/04/2025) yang ditulis Evelyn Balassiano, Catherine Gu|, Joanne Emerson Taqi, juga menyoroti hal serupa.

Pusat data berkapasitas 1 MW diprediksi memerlukan hingga 25,5 juta liter air per tahun untuk mendinginkan prosesor. Pusat data di AS, misalnya, diproyeksikan memerlukan sebanyak 150 hingga 180 miliar liter air tawar pada 2028.

Laporan itu menyatakan investasi dalam solusi air industri digital diperkirakan tumbuh 6,5 persen per tahun di AS, dan mencapai belanja modal tahunan sebesar 10,8 miliar dollar AS pada 2030.

Mengutip laporan Bluefield Research (2024), sebagian besar investasi ini diprediksi dialokasikan untuk teknologi pengukuran dan manajemen pelanggan (41 persen).

Segmen lain yang diperkirakan akan menerima porsi besar dari investasi ini meliputi manajemen jaringan (20 persen), manajemen pekerjaan dan aset (18 persen), dan manajemen pabrik (18 persen).

Kenapa konsumsi air begitu besar? Operasional AI modern, terutama yang berbasis model bahasa besar seperti GPT dan LLM lainnya, bergantung pada pusat data yang bekerja terus-menerus tanpa jeda.

Untuk mencegah dan mengatasi overheat, pusat data memerlukan sistem pendinginan intensif yang sebagian besar menggunakan air.

Meskipun AI dan pusat data memainkan peran vital dalam manajemen pengelolaan air dan lingkungan, tetapi konsumsi air yang tinggi menunjukkan ketergantungan industri digital terhadap sumber daya alam yang semakin terbatas.

Jika tidak diatur dalam regulasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem ini, maka kebutuhan air yang tinggi dapat berpotensi menyebabkan konflik sumber daya di masa depan. Terutama di wilayah yang sudah mengalami tekanan terhadap pasokan air dan padat penduduk.

Dirangkum dari berbagai laporan di atas, angka ini belum termasuk kebutuhan air tidak langsung sebagai konsumsi energi pusat data.

Misalnya, listrik yang menghidupi server AI berasal dari pembangkit yang juga memerlukan air, baik untuk proses termal maupun produksi bahan bakar.

Baca juga: Saat Hakim New York Usir AI-Avatar dari Ruang Sidang

Selain itu, produksi bahan baku penting seperti litium untuk baterai pusat data juga menyumbang jejak air besar.

Laporan Evelyn Balassiano at all, menyebut dua ton air diperlukan hanya untuk menghasilkan satu ton garam litium.

Hal ini menunjukan, dari hulu ke hilir, sektor teknologi berkontribusi pada penggunaan sumber daya air, baik dalam produksi energi, maupun dalam pengelolaan bahan baku.

Peran AI

Tentu kita tak bisa menampik bahwa AI memberi solusi efektif pengelolaan air seperti memprediksi kebocoran dan kerusakan pipa dengan bantuan sensor dan citra satelit, mengoptimalkan pemeliharaan infrastruktur, dan memperpanjang umur jaringan distribusi.

Peran lainnya adalah mengurangi konsumsi energi pada fasilitas pengolahan air limbah, misalnya dengan mengatur proses aerasi secara real-time.

AI juga bermanfaat dalam mengelola irigasi pertanian secara presisi, mengurangi pemborosan air di sektor yang menyerap hingga 70 persen air bersih global.

Laporan para peneliti mencontohkan kota Tucson di Arizona, memanfaatkan AI untuk mendeteksi pola kerusakan pipa dan melakukan manajemen aset yang lebih efisien, menghemat anggaran dan air bersih sekaligus.

Hal ini menunjukan, jika dikelola secara bijak, penggunaan AI dalam pengelolaan air menawarkan solusi yang sangat relevan dalam konteks krisis air global dan efisiensinya.

Pengembangan AI saat ini mulai memunculkan masalah antara inovasi dan konservasi sumber daya alam. Beberapa kota, seperti Corpus Christi di Texas terpaksa mengimpor air dari ladang sumur untuk memenuhi kebutuhan pusat data dan industri lain, memicu konflik sumber daya.

Respons perusahaan-perusahaan besar terhadap masalah ini melalui proyek konservasi dan daur ulang air, adalah langkah progresif untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Inisiatif ini harus diperluas dan mencakup seluruh industri, untuk itulah diperlukan regulasi yang dikeluarkan oleh negara.

Baca juga: AI Ghibli dan Pelindungan Hak Cipta Seniman

Karena tanpa tindakan yang lebih besar dan terkoordinasi, dampak negatif terhadap sumber daya alam bisa terus berlanjut yang berpotensi menimbulkan dampak multi dimensi.

Regulasi

Para peneliti melaporkan, saat ini belum banyak yurisdiksi yang secara eksplisit mewajibkan agar pusat data menggunakan air daur ulang, melaporkan konsumsi airnya secara transparan, atau menilai jejak air sebagai bagian dari proses izin lingkungan.

Dari sisi kebijakan, keterlambatan regulasi menyebabkan pemerintah tertinggal dari laju ekspansi industri teknologi. Risiko yang muncul bukan hanya kekeringan, tapi juga konflik sosial, degradasi ekosistem lokal, dan ketimpangan akses air bersih.

Pemerintah perlu bekerja lebih cepat untuk mengembangkan regulasi yang mengatur jejak air di industri ini secara transparan dan bertanggung jawab.

Tanpa regulasi yang kuat, sektor teknologi bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang terhadap ekosistem air dan memburuknya ketidaksetaraan akses air di berbagai wilayah.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang tengah bersaing menarik investasi big tech, hal ini menjadi semakin relevan. Indonesia harus menjadi pusat ekonomi digital ASEAN, tapi juga harus menjaga ketahanan air dan komitmen terhadap lingkungan hidup.

Kita harus mengembangkan kebijakan yang memastikan sektor teknologi dapat beroperasi tanpa merusak keseimbangan ekologis.

Keberhasilan Indonesia dalam mengelola isu ini akan menjadi indikator penting dalam mempertahankan daya tariknya sebagai hub digital ASEAN dan global.

Wilayah-wilayah kaya air dan rendah konflik sumber daya, harus dijadikan zona prioritas untuk pembangunan pusat data. Sebaliknya, kawasan rentan krisis air, seperti kota besar atau wilayah agraris, harus dilindungi dari eksploitasi air untuk infrastruktur digital.

Perusahaan teknologi yang beroperasi wajib menggunakan sistem pendinginan berbasis air daur ulang. Hal ini bisa menjadi syarat pemberian insentif investasi atau tax holiday.

Perusahaan digital wajib melaporkan konsumsi air dan efisiensi penggunaannya secara terbuka. Audit air bisa dilakukan oleh lembaga independen sebagai bagian dari tata kelola industri digital yang berkelanjutan.

Negara juga dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan atau menerapkan teknologi pendinginan tanpa air atau ultra-efisien.

Ke depan Indonesia perlu memproyeksikan diri menjadi pusat inovasi hijau, selain pasar konsumsi teknologi.

Baca juga: Peretas Hantu Daring, Pembobol Rekening

Pengelolaan air akan menjadi industri yang semakin strategis. Kemitraan strategis antara perusahaan digital dan BUMD di bidang pengelolaan air dalam mengembangkan fasilitas daur ulang air, rehabilitasi DAS, dan program penambahan pasokan air di sekitar wilayah operasi merupakan hal penting.

Dengan populasi penduduk yang sangat besar, yaitu 281 juta lebih, secara domestik saja kita memiliki pasar yang besar, di samping tenaga kerja yang relatif terjangkau.

Namun, harus disadari Indonesia juga tengah menghadapi tantangan berat dalam bersaing dengan negara-negara tetangga di ASEAN, yang juga berlomba menarik investasi asing, terutama dari sektor teknologi digital.

Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Vietnam, dan Malaysia, telah lama menempatkan sektor teknologi sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan mereka.

Negara tetangga juga berlomba untuk menarik perusahaan-perusahaan teknologi besar dengan menawarkan insentif fiskal, ketersediaan tenaga kerja terampil, iklim usaha konsdusif tanpa gangguan, dan lokasi yang menguntungkan.

Indonesia, dengan populasi terbesar di ASEAN dan ekonomi digital yang berkembang pesat, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pertumbuhan teknologi.

Kita harus dapat meyakinkan investor big tech terkait keberlanjutan sumber daya alam, ketersediaan SDM, kemudahan dalam berbisnis, iklim berusaha tanpa gangguan, dan kepastian hukum.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi