KOMPAS.com - Forum Purnawirawan TNI-Polri memberikan usulan pencopotan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).
Dilansir dari Kompas.com, Sabtu (26/4/2025), usulan ini ditandatangani oleh sejumlah tokoh senior, meliputi 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, serta 91 kolonel.
Selain itu, beberapa tokoh seperti Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Panglima ABRI periode 1988-1993, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, juga turut menandatangani deklarasi tersebut.
Usulan forum Purnawirawan TNI-Polri mencakup delapan poin, antara lain penolakaan terhadap kebijakaan pemerintah terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), hingga pencopotan Gibran sebagai Wapres.
Usulan pencopotan tersebut didasarkan pada dugaan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Bagaimana usulan tersebut di mata pakar hukum tata negara?
Baca juga: Bagaimana Memaksimalkan Potensi Bonus Demografi yang Sempat Disebut Wapres Gibran?
Pergantian Wapres tak bisa sembarangan
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret, Prof. DR. Sunny Ummul Firdaus, mengatakan bahwa mekanisme pergantian Wakil presiden (Wapres) diatur dalam UUD Tahun 1945.
"Proses tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dan ada prosedur hukum yang jelas," ujar Sunny saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/4/2025).
Pertama, Sunny menjelaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya sesuai dalam pasal 7A UUD 1945.
Pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adapun syarat pemberhentian adalah bahwa Presiden/Wapres tersebut telah terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagai berikut.
- Melakukan pengkhianatan terhadap negara
- Korupsi
- Penyuapan
- Tindak pidana berat lainnya
- Perbuatan tercela.
- Tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Baca juga: Mengapa Video Monolog Gibran Menerima Sentimen Negatif?
Kewenangan untuk memberhentikan Wapres tidak dimiliki Presiden
Selanjutnya, Sunny menerangkan bahwa kewenangan untuk memberhentikan Wapres tidak dimiliki oleh Presiden.
"Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," kata Sunny.
"Presiden dan Wakil Presiden adalah satu paket hasil pemilu langsung. Keduanya dipilih langsung oleh rakyat dalam satu pasangan calon," lanjutnya.
Artinya, jabatan Wakil Presiden tidak berada di bawah Presiden secara hierarkis seperti menteri yang dapat di-reshuffle kapan saja.
Dengan begitu, Sunny menjelaskan bahwa UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberhentikan Wapres.
"Tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang memperbolehkan Presiden memecat atau mengganti Wapres secara sepihak, meskipun Presiden tidak lagi cocok secara politik," kata dia.
Sunny pun menambahkan bahwa pergantian Wapres hanya dapat terjadi karena alasan yang sah, yakni sebagai berikut.
- Mengundurkan diri
- Wafat
- Tidak mampu menjalankan tugas secara tetap
- Diberhentikan oleh MPR melalui impeachment (dengan mekanisme Pasal 7B UUD 1945).
Dalam prosedur pergantian Wapres, nantinya Presiden akan mengusulkan dua calon ke DPR.
Lalu DPR akan memilih salah satu calon dalam rapat paripurna yang dihadiri minimal 2/3 anggota dan setujui oleh lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir.
Selanjutnya, calon yang sudah disetujui akan dilantik sebagai Wakil Presiden.
Sunny pun mengatakan bahwa peristiwa pergantian Wakil Presiden pernah terjadi pada tahun 2001 pada saat Megawati Soekarnoputri naik menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid.
"Pada saat itu, DPR memilih Hamzah Haz sebagai Wapres dari dua calon yang diajukan Megawati," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.