KOMPAS.com - Hari Buruh Internasional atau dikenal May Day sangat erat kaitannya dengan sejumlah tokoh buruh yang memperjuangkan hak-haknya.
Salah satu tokoh buruh di Indonesia adalah Marsinah.
Marsinah dikenal sebagai sosok yang selalu memperjuangkan hak-hak kaum buruh di masa lalu hingga akhirnya tewas secara misterius di zaman Orde Baru.
Beberapa laporan menyatakan bahwa Marsinah meninggal akibat luka tembak, sementara informasi lain mengungkapkan bahwa sebelum kematiannya, ia sempat mengalami penyiksaan dan pemerkosaan.
Baru-baru ini Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengusulkan kepada pemerintah agar Marsinah diberi gelar pahlawan nasional.
Dalam pertemuannya dengan Presiden Prabowo Subianto, Said menjelaskan bahwa hingga kini belum ada tokoh dari kalangan buruh yang diangkat sebagai pahlawan nasional.
"Tadi beliau menyatakan siap mempertimbangkan usulan tersebut. Saya menyampaikan langsung bahwa Marsinah layak menjadi pahlawan nasional karena belum ada perwakilan dari kalangan buruh," ujar Said Iqbal di Lapangan Monas, Jakarta, dikutip dari Kompas.com, Kamis (1/5/2025).
Lalu, siapa Marsinah yang diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh kalangan buruh?
Baca juga: Kronologi Demo Hari Buruh Kota Semarang Berujung Ricuh, 24 Mahasiswa Ditangkap Aparat
Profil Marsinah
Dilansir dari Kompas.com (21/9/2022), Marsinah lahir pada tanggal 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara perempuan, dengan kakaknya bernama Marsini dan adiknya Wijiati.
Orang tuanya adalah Astin dan Sumini. Setelah ibunya wafat saat Marsinah berusia tiga tahun, ayahnya menikah lagi dan Marsinah pun diasuh oleh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya.
Sejak kecil, Marsinah dikenal sebagai pekerja keras. Sepulang sekolah, dia membantu neneknya berdagang gabah dan jagung.
Di sekolah dasar, Marsinah dikenal sebagai murid yang cerdas, gemar membaca, dan kritis oleh guru dan teman-temannya.
Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 5 Nganjuk dan kemudian bersekolah di SMA Muhammadiyah dengan dukungan biaya dari pamannya.
Baca juga: Kondisi Terkini Massa Aksi Demo Hari Buruh 2025 di Semarang yang Ditahan Polisi
Marsinah sempat bercita-cita menjadi mahasiswa fakultas hukum, namun keterbatasan ekonomi memaksanya mengubur impian tersebut.
Pada tahun 1989, ia merantau ke Surabaya dan tinggal bersama kakaknya, Marsini.
Di sana, ia bekerja di pabrik plastik SKW di kawasan Rungkut. Gajinya yang rendah mendorongnya mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus.
Ia juga pernah bekerja di perusahaan pengemasan sebelum pindah ke Sidoarjo dan bergabung dengan PT Catur Putra Surya (CPS) pada tahun 1990.
Di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai pekerja yang lantang dalam menyuarakan aspirasi buruh dan aktif dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di tempatnya bekerja.
Baca juga: 6 Tuntutan Hari Buruh 2025 dalam Aksi di Jakarta, Mana yang Mendesak?
Kronologi pembunuhan Marsinah
Pada awal tahun 1993, pemerintah mengeluarkan imbauan kepada para pengusaha di Jawa Timur agar menaikkan upah pokok pekerja sebesar 20 persen.
Namun banyak perusahaan, termasuk PT CPS tempat Marsinah bekerja, belum menyetujui imbauan tersebut. Hal ini memicu protes dari para buruh yang menuntut kenaikan gaji.
Pada tanggal 2 Mei 1993, Marsinah ikut menghadiri pertemuan untuk merencanakan aksi unjuk rasa di Tanggulangin, Sidoarjo.
Sehari setelahnya, para buruh melakukan aksi dengan cara mengajak rekan-rekannya untuk tidak bekerja.
Namun, aksi tersebut mendapat intervensi dari aparat Komando Rayon Militer (Koramil) setempat.
Pada tanggal 4 Mei 1993, para pekerja kembali mogok kerja dan menyampaikan 12 tuntutan kepada perusahaan, salah satunya adalah kenaikan upah pokok dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari.
Baca juga: Ada Kegiatan Hari Buruh di Monas, 39 Kereta Api Berhenti Luar Biasa di Stasiun Jatinegara
Para buruh juga menuntut agar tunjangan sebesar Rp 550 per hari tetap diberikan meskipun mereka tidak masuk kerja.
Marsinah termasuk dalam kelompok 15 orang perwakilan buruh yang bernegosiasi dengan pihak manajemen, dan dia terus terlibat dalam proses perundingan hingga 5 Mei 1993.
Pada siang hari di tanggal tersebut, 13 buruh yang dianggap menghasut aksi unjuk rasa dibawa ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.
Mereka kemudian ditekan untuk mengundurkan diri dari PT CPS, dengan tuduhan mengadakan pertemuan ilegal dan mencegah karyawan lain bekerja.
Marsinah sempat mengunjungi Kodim Sidoarjo untuk mencari tahu nasib 13 rekannya. Namun, pada malam tanggal 5 Mei sekitar pukul 22.00 WIB, dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Empat hari kemudian, pada tanggal 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di daerah Nganjuk.
Berdasarkan hasil otopsi, ia diketahui telah meninggal dunia sehari sebelumnya, yaitu pada 8 Mei 1993 akibat penyiksaan berat. Selain itu, ditemukan pula bukti bahwa Marsinah menjadi korban pemerkosaan.
Baca juga: Prakiraan Cuaca Kota-kota Besar pada Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025
Siapa pembunuh Marsinah?
Kasus pembunuhan Marsinah memicu reaksi keras dari masyarakat dan para pegiat hak asasi manusia.
Sebagai bentuk dukungan dan desakan atas keadilan, para aktivis membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) yang menuntut agar pemerintah menyelidiki dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Harian Kompas edisi 10 November 1993 melaporkan bahwa Presiden Soeharto meminta agar penyelidikan kasus Marsinah dilakukan secara menyeluruh dan transparan.
Dia juga menegaskan agar tidak ada upaya untuk menutup kasus ini, serta mengimbau masyarakat untuk tidak langsung berprasangka sebelum proses hukum selesai dijalankan.
Sebelumnya, pada tanggal 30 September 1993, pemerintah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menangani kasus tersebut.
Tak lama kemudian, 8 petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam tanpa prosedur hukum yang jelas.
Baca juga: Simbol Perjuangan Kaum Pekerja, Bagaimana Sejarah Hari Buruh pada 1 Mei?
Di antara mereka adalah Kepala Bagian Personalia, Mutiari, yang saat itu tengah hamil, serta pemilik perusahaan, Yudi Susanto.
Para tersangka tersebut dilaporkan mengalami tekanan dan penderitaan fisik maupun psikologis, dan dipaksa mengaku terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan Marsinah.
Dalam proses penyelidikan, sebanyak 10 orang ditangkap dan diperiksa.
Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa Marsinah dijemput oleh Suprapto, seorang pekerja bagian kontrol PT CPS dengan sepeda motor, dan kemudian dibawa ke rumah pemilik perusahaan, Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Marsinah diduga disekap selama tiga hari sebelum akhirnya dibunuh oleh Suwono, seorang satpam perusahaan.
Yudi Susanto divonis hukuman 17 tahun penjara, sementara sejumlah staf lainnya divonis hukuman antara 4 hingga 12 tahun penjara.
Meski begitu, Yudi berkomentar bahwa dirinya tidak terlibat dan hanya dijadikan kambing hitam dalam kasus ini.
Setelah menerima putusan pengadilan, Yudi Susanto mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan akhirnya dinyatakan bebas.
Para staf PT CPS yang sebelumnya divonis juga mengajukan banding, dan Mahkamah Agung kemudian membebaskan mereka sepenuhnya dari semua dakwaan.
Keputusan MA ini menimbulkan kontroversi dan memicu ketidakpuasan masyarakat luas.
Para aktivis terus mendesak agar kasus pembunuhan Marsinah terungkap secara menyeluruh dan transparan, termasuk mengusut kemungkinan keterlibatan aparat militer.
Hingga hari ini, Marsinah tetap dikenang sebagai simbol perjuangan buruh. Atas jasanya, ia menerima Penghargaan Yap Thiam Hien.
Kisah hidupnya pun telah diabadikan dalam berbagai karya sastra dan pertunjukan seni.
Baca juga: 200.000 Buruh Bakal Hadiri Peringatan Hari Buruh di Jakarta, Perjuangkan 6 Tuntutan Ini
(Sumber: Kompas.com/ Penulis: Tri Indriawati, Tria Sutrisna | Editor: Dani Prabowo)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.