JENAZAH pengusaha terkemuka Murdaya Poo (Poo Tjie Guan), tokoh Budha, dikremasi di bukit Dagi, kawasan Candi Borobudur, Jawa Tengah, 7 Mei 2025, setelah meninggal tepat sebulan sebelumnya di Singapura. Acara itu berdekatan dengan peringatan Waisak tahun 2025.
Selain dari jaringan bisnis, ia meninggalkan warisan peraturan tentang kesetaraan antaretnis di Indonesia. Ia menjadi pimpinan Pansus (panitia khusus) dan Panja (panitia kerja) DPR tentang Undang-Undang Kewarganegaraan (2006) dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (2008).
Institut Kewarganegaraan Indonesia tahun 2019 menerbitkan risalah atau arsip perdebatan di DPR tentang proses lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan sebanyak dua jilid setebal 1150 halaman.
UU ini telah mengubah secara mendasar politik hukum kewarganegaraan di Indonesia yang sebelumnya masih bersifat diskriminatif karena membedakan antara “orang Indonesia asli” dengan “tidak asli”.
Baca juga: Murdaya Poo Dikremasi di Bukit Dagi Borobudur, Abu Jenazah Akan Dibawa Saat Waisak
Hal ini menyebabkan terjadinya diskrinasi terhadap ras dan etnik tertentu yang dianggap tidak “asli Indonesia”.
UU ini disebut “revolusioner” karena terjadi pergantian butir penentu kewarganegaraan dari yang bersifat ras dan etnis menjadi faktor hukum semata-mata (Fasal 2 UU Kewarganegaraan).
UU tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis tahun 2008 mengatur sanksi pidana bagi pihak yang melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis.
Sebelum mengakhiri masa pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No 12/2014 tentang pemakaian istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk menggantikan istilah China yang sejak era Orde Baru dibuat berkonotasi negatif.
Tahun 1967, Presidium Kabinet Ampera mengeluarkan Surat Edaran tentang pemakaian istilah “Tjina” menggantikan Tionghoa dan Tiongkok. Tiga pilar budaya “Tjina” (sekolah, pers dan organisasi) dilarang.
Fragmentaris
Tulisan ini bersifat pragmentaris tidak utuh. Hanya mengungkapkan jasa Murdaya Poo dalam hal mewujudkan kesetaraan antara komponen bangsa tanpa diskriminasi.
Hal ini dilakukannya ketika menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP sekaligus pengurus partai tersebut 2005-2009.
Murdaya adalah anggota GMNI dan kabarnya mempersiapkan kantor untuk PP Alumni GMNI di Cikini Raya, Jakarta. Latar belakang itu tampaknya yang menyebabkan ia bergabung dengan PDIP pada awal reformasi.
Namun, kita tidak ketahui bagaimana caranya ia sukses dalam berbisnis. Cuma disebutkan ia pernah jadi penjual koran, tapi kemudian menjadi pemilik mal.
Ia lahir di Blitar tahun 1941, menempuh sekolah menengah di Malang, kemudian masuk Fakultas Ekonomi UI.
Ia mendirikan perusahaan kontruksi tahun 1972. Menikah tahun 1971 dengan Siti Hartati (Chow Lie Ing) dan dikaruniai empat anak yang sebagian ikut mengurus bisnisnya sekarang.
Bagaimana ia mengembangkan bisnis konstruksi tersebut, apakah usahanya menjadi berkembang dan besar karena ada proyek pemerintah Orde Baru?
Bagaimana perusahaannya jatuh bangun, bagaimana menghadapi krisis ekonomi tahun 1998?
Publik ingin tahu tentang sosok seorang konglomerat itu secara utuh, termasuk yayasan sosial miliknya yang banyak membantu kaum tidak berpunya.
Dua nahkoda
Jarang sekali di antara para konglomerat yang memiliki dua nahkoda dalam rumah tangga, maksudnya suami dan istri sama-sama memimpin berbagai perusahaan berbeda.
Sebelum menikah, mereka masing-masing sudah menjalankan bisnis. Murdaya pada perusahaan konstruksi dan Hartati ikut membantu ayahnya dalam perusahaan perkayuan.
Keduanya juga menjadi figur publik. Murdaya menjadi anggota parlemen dari PDIP. Hartati memimpin organisasi Budha Walubi (Perwalian Umat Budha yang kemudian menjadi Perwakilan Umat Budha).
Tahun 1994-1999, ia menjadi anggota MPR sebagai perwakilan dari umat Budha.
Namun, keberadaan pasangan ini dalam bidang politik menimbulkan persoalan tersendiri. Murdaya adalah pengurus PDIP, sementara Hartati memiliki kedekatan dengan Partai Demokrat yang didirikan SBY.
Kedua partai tersebut tentu memiliki kepentingan berbeda yang suatu ketika bisa berlawanan, misalnya saat Pemilu.
Pentingnya biografi
Sepanjang pengetahuan saya, belum ada biografi lengkap tentang Murdaya Poo dan Hartati Murdaya. Yang ada tulisan atau wawancara di majalah.
Pada Kompas, 8 April 2025, terdapat tulisan tentang sumbangan Murdaya Poo dalam pengembangan olahraga golf secara profesional di Tanah Air.
Ia bahkan pernah mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk mendatangkan pelatih andal dan membiayai pegolf muda bertanding di luar negeri.
Pada sebagian kalangan Tionghoa, ada rasa sungkan untuk menulis biografi karena itu mungkin dianggap membanggakan diri atau semacamnya.
Atau mungkin ini berasal dari stigma yang melekat terutama sejak Orde Baru?
Padahal, penerbitan semacam itu penting karena publik bisa membaca sepak terjang figur tersebut secara menyeluruh dan utuh.
Pengusaha pemula bisa belajar dari pasang naik dan pasang surut bisnis mereka. Namun, yang penting apa motivasi mereka berjuang sepenuh tenaga dalam pengembangan usaha, yang pada gilirannya juga berdampak kepada pembukaan lapangan kerja.
Ada stigma yang kurang positif terhadap konglomerat yang terkesan menumpuk harta, tidak memiliki kepedulian sosial kemanusiaan.
Istilah “Sembilan Naga” berkonotasi mengancam dan menakutkan. Padahal, tidak jelas pula siapa (saja) pengusaha besar yang dimaksudkan.
Hal ini bisa diperbaiki antara lain dengan penerbitan kisah kehidupan tokoh. Penerbitan biografi para pengusaha Tionghoa tersebut bisa menjadi bagian dari upaya membuka diri dan saling mengenal antaretnis dalam rangka pembangunan bangsa.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.