KOMPAS.com - Sebuah video yang menunjukkan bayi dilempar berulang kali ke atas sebagai bagian dari tradisi, belum lama ini viral di media sosial X.
Video yang diunggah oleh pengguna akun @ariPriangg*** pada Senin (5/5/2025) itu, memperlihatkan bayi dilempar berkali-kali hingga akhirnya ditangkap dan ditopang oleh orang lain.
Dalam video, tampak juga sejumlah orang hanya merekam kejadian yang dianggap sebagai sebuah tradisi tersebut.
Hal itu pun menuai beragam reaksi dari warganet, dengan sebagian menganggap tindakan melempar bayi tergolong membahayakan.
"Tau gak resikonya apa? Shaken syndrome. Semua organ bayi ntuh masih rapuh, rentan, dan masih tahap berkembang alias belum sempurna betul. Sudah banyak DSA edukasi," cuit tortilla***.
Baca juga: Apa Makna dan Sejarah Hari Raya Galungan, Tradisi Umat Hindu di Indonesia?
"Tempurung Kepalanya aja masih lembut, main lempar-lempar aja," tulis pemilik akun @ahm***.
Di sisi lain, ada pula warganet yang menganggap aksi melempar bayi lumrah karena bentuk tradisi.
"Tradisi jaman dulu yang kalo ditanya kenapa gitu jawabnya ya emang udah dari dulu," tulis @fireo***.
Lantas, bagaimana pendapat ahli kesehatan terkait aksi melempar-lempar bayi?
Baca juga: Tak Ikuti Tradisi, Ini Alasan Paus Fransiskus Tidak Ingin Dikuburkan di Basilika Santo Petrus
Dokter: bahayakan bayi
Saat dimintai pandangan, Dokter Spesialis Anak di RSUD Dr. Moewardi, Solo, Dr. dr. Hari Wahyu Nugroho, Sp A (K), M.Kes, menilai aksi melempar-lemparkan bayi termasuk tindakan terlarang.
Selain berpotensi menimbulkan pendarahan di otak, tindakan tersebut dapat menyebabkan pendarahan di organ lain karena benturan.
Hari menjelaskan bahwa bayi memiliki kondisi fisik yang masih sangat rentan, termasuk dalam hal kemampuan tubuh mereka mencegah pendarahan.
"Kemampuan bayi untuk mencegah pendarahan masih belum optimal," ujarnya kepada Kompas.com pada Rabu (7/5/2025).
Menurut dia, kemampuan mencegah pendarahan pada bayi belum optimal karena kadar vitamin K masih rendah.
Dengan demikian, kata Hari, bayi yang dilempar-lempar bisa berpotensi mengalami Perdarahan Neonatus Akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK).
PDVK adalah gangguan koagulasi yang terjadi pada bayi baru lahir akibat kekurangan vitamin K.
“Kekurangan vitamin K pada bayi bisa menyebabkan perdarahan serius, bahkan tanpa adanya benturan yang keras,” ujar dr. Hari.
Karena itu, ia menekankan pentingnya menghindari segala bentuk perlakuan kasar, termasuk melempar atau menggoyang bayi dengan keras, sekalipun dianggap bermain-main.
Antara tradisi dan risiko kesehatan
Saat dimintai pandangan, Sosiolog Universitas Sebalas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menyebut memang masih ada warga yang mempraktikkan aksi melempar-lempar bayi karena menjadi tradisi turun mandi.
Menurutnya, tradisi bernama "turun mandi" tersebut merupakan upacara adat Minangkabau yang dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi.
"Tradisi ini dilakukan kepada bayi dan ibunya agar dapat mandi di sungai dan keluar rumah dengan bebas setelah masa pemulihan. Supaya menjadi bersih dan kuat," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (6/5/2025).
Drajat menambahkan, upacara "turun mandi", yang biasanya disertai pembacaan doa, punya tujuan memperkenalkan bayi kepada lingkungan sosial yang lebih luas dan mengucapkan syukur atas kelahiran anak.
Tradisi ini kemudian menyebar di wilayah sekitar Minangkabau seperti Solok dan berbagai daerah di Indonesia.
Drajat menjelaskan, tradisi turun mandi ini merupakan bagian dari ritus peralihan (rites de passage), sebuah upacara atau ritual untuk menandai tahap demi tahap pertumbuhan manusia.
Ritus peralihan juga terdapat di sejumlah daerah di Indonesia dengan nama dan tata cara yang berbeda.
"Kalaudi Jawa, ada tradisi seperti mitoni saat ibu mengandung, hingga perjalanan sang bayi sampai ke pernikahan dan meninggal," paparnya.
Drajat menerangkan, bayi dilempar-lempar seperti dalam tradisi "turun mandi" juga serupa dengan tradisi "gebrak bayi" di Jawa.
Tradisi gebrak bayi dilakukan terhadap bayi yang baru berusia 1 atau 2 hari. Bayi tersebut diletakkan di tempat tidur yang terbuat dari bambu.
Setelah itu, tempat tidur digebrak dan bayi akan terkejut dengan tujuan supaya bayi tersebut tidak mudah kaget saat dewasa.
Terkait dengan tradisi "turun mandi" yang masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat, Drajat menilai, hal itu berarti sudah mengakar kuat.
Menurutnya, tradisi "turun mandi" yang masih eksis sampai sekarang tak lepas dari terjadinya komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam tradisi itu.
"Yang menarik adalah mengapa tradisi itu masih langgeng. Ada teori terkait hal itu terutama ada komunikasi secara terus menerus dengan mengomunikasikan nilai ritual melakkan tradisi itu bisa berjalan," ucapnya.
Di samping itu, lanjutnya, adanya peran tokoh masyarakat yang berupaya mempertahankan, juga berkontribusi terhadap eksisnya tradisi tersebut hingga sekarang.
"Tradisi itu yang paling utama adalah memberi makna dan identitas suatu daerah dan masyarakat yang membuat mereka terintegrasi secara kuat," jelas Drajat..
Lebih lanjut, soal adanya potensi bahaya dari perspektif medis ketika bayi dilempar berkali-kali, Drajat berpendapat, disitulah letak perbedaan antara tradisi dan ilmu rasional.
Jika merujuk pada tradisi, faktanya tidak ada masalah dengan bayi yang dilakukan tradisi "turun mandi".
"Tradisi itu sudah bertahan-tahun dilakukan antar generasi ke generasi dan tidak ada masalah dengan bayinya," jelas Drajat.
Secara Sosiologi, lanjutnya, memang terdapat dua jenis tindakan rasional yaitu instrumental dan rasional nilai.
Tindakan rasional instrumental didasarkan pada perhitungan dan pilihan sadar untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara yang paling efisien.
Sebaliknya, tindakan rasional nilai didasarkan pada keyakinan atau nilai-nilai pribadi yang memotivasi tindakan, bahkan jika tindakan tersebut tidak secara langsung menguntungkan atau efisien.
"Nah, tradisi lebih mengarah ke rasional nilai," terang Drajat.
Baca juga: Mengapa Ada Tradisi Beli Baju Baru Saat Lebaran? Begini Sejarahnya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.