Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

2024 Jadi Tahun Terpanas dalam Sejarah, BMKG: Titik Kritis yang Mengancam Keberlangsungan Hidup

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Berke
BMKG: 2024 Jadi Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Angka tersebut melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam pidatonya di Forum Inovasi Climate Smart Indonesia, Senin (5/5/2025).

“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” ujar Dwikorita.

Menurutnya, perubahan suhu yang terjadi saat ini jauh lebih cepat dibandingkan perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Percepatan ini menjadi indikator serius akan krisis iklim yang tengah berlangsung.

Perubahan suhu ekstrem juga berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.

“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” jelas Dwikorita.

Baca juga: Warganet Mengeluh Cuaca Saat Pagi-Siang Panas tapi Malam Hujan, Ini Kata BMKG


Tahun 2024 jadi suhu rata-rata nasional tertinggi

Dwikorita menyampaikan, data observasi BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu yang terus berlanjut sejak 1981.

Sementara, suhu rata-rata nasional pada 2024 tertinggi sebesar 27,52 derajat Celsius.

Menurutnya, kondisi ini bukan sekadar anomali, tetapi bukti nyata bahwa krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.

Selain itu, perubahan iklim tidak hanya menyebabkan cuaca ekstrem, tetapi juga meningkatkan risiko:

Perubahan pola curah hujan dan suhu berkontribusi terhadap meningkatnya kasus infeksi berbasis air dan makanan, misalnya kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.

Baca juga: Warganet Mengeluh Suhu di Semarang Terasa Sangat Panas-Gerah, Ini Penjelasan BMKG

Untuk menjawab tantangan tersebut, BMKG bersama pihak-pihak terkait mengembangkan sistem peringatan dini multi-bahaya yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Sistem ini dirancang tidak hanya untuk memperingatkan potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, tetapi juga untuk mendeteksi dini lonjakan penyakit yang sensitif terhadap iklim.

“Dengan teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen," kata Dwikorita.

"Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa,” tambahnya.

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa Indonesia sedang bersiap memasuki musim kemarau, yang biasanya diiringi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara.

Risiko kekeringan dan polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5, semakin tinggi karena minimnya curah hujan dan pergerakan angin yang stagnan.

Dwikorita menegaskan, tantangan ini tidak bisa dihadapi oleh satu lembaga atau sektor saja.

Dibutuhkan kolaborasi lintas kementerian, lembaga, akademisi, komunitas, dan dunia usaha untuk memperkuat sistem peringatan dini dan ketahanan kesehatan nasional. 

“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” tutupnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi