Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konklaf Digelar, Mengapa Tak Pernah Ada Paus Perempuan?

Baca di App
Lihat Foto
AFP/GABRIEL BOUYS
Para kardinal saat menghadiri misa di Basilika Santo Petrus sebelum melakukan konklaf pada 12 Maret 2013. Setelah Paus Fransiskus meninggal dunia pada Senin (21/4/2025), akan diadakan konklaf lagi untuk memilih paus baru.
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Setelah Paus Fransiskus meninggal dunia, Vatikan mengadakan Konklaf untuk memilih Paus baru mulai Rabu (7/5/2025).

Pada pemungutan suara pertama, sebanyak 133 Kardinal belum mencapai kesepakatan. Sebagai bukti, asap hitam yang keluar dari cerobong Kapel Sistina.

Pemungutan suara pun dilanjutkan kembali oleh para Kardinal pada Kamis (8/5/2025) ini.

Meskipun proses pemilihan pemimpin Gereja Katolik dunia tampak seperti mekanisme yang demokratis, jabatan tersebut tetap tunduk pada aturan ketat terkait gender atau jenis kelamin.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepanjang sejarah, Paus diisi oleh seorang laki-laki atau tidak pernah ada perempuan yang menjabatnya.

Lantas, bisakah seorang perempuan menjadi Paus? 

Baca juga: Muncul Asap Merah Muda di Roma Saat Konklaf Berlangsung, Apa Itu?

Aturan gender melarang perempuan menjadi Paus

Sebagaimana diberitakan Times of India, Kamis (8/5/2025), menurut doktrin Gereja Katolik, seorang perempuan tidak dapat menjadi Paus.

Jabatan Kepausan mensyaratkan seseorang adalah laki-laki, telah dibaptis, dan ditahbiskan sebagai imam (pastor).

Sementara, Gereja Katolik tidak memberikan pentahbisan imamat kepada perempuan. 

Pembatasan ini didasarkan pada penafsiran Gereja terhadap pilihan Yesus yang mengangkat rasul-rasul laki-laki, begitupun praktik imamat selanjutnya juga laki-laki.

Sepanjang sejarah, semua Paus yang pernah menjabat adalah laki-laki. 

Baca juga: Konklaf Hari Pertama Belum Capai Kesepakatan, Pemilihan Paus Baru Disebut Sulit Diprediksi

Mengapa perempuan tidak bisa menjadi Paus?

Dalam katekismus Gereja Katolik, disebutkan bahwa Yesus Kristus memilih 12 rasul laki-laki, yang kemudian melanjutkan pelayanan mereka dengan memilih laki-laki lainnya. 

Gereja Katolik berpendapat bahwa tradisi ini mengikat dan harus dilestarikan.

Syarat mengenai siapa yang dapat menjadi Paus lebih didasarkan pada sejarah daripada doktrin. 

Paus Callixtus III, yang terpilih pada 1455, merupakan Paus terakhir yang bukan imam, sedangkan Urbanus VI, yang terpilih pada 1378, adalah imam terakhir yang bukan Kardinal saat diangkat.

Selain itu, larangan terhadap perempuan untuk menjadi Paus berkaitan dengan praktik panjang Gereja Katolik yang membatasi imamat hanya untuk laki-laki.

Sebagaimana ditegaskan dalam Hukum Kanon (Kanon 1024), menyatakan bahwa hanya laki-laki yang telah dibaptis yang dapat ditahbiskan menjadi pelayan suci. 

Baca juga: Sejarah Penggunaan Asap Hitam-Putih Saat Konklaf, Sudah Dimulai sejak 1274

Peran perempuan di Gereja Katolik

Sebagimana diberitakan Al Jazeera, Selasa (6/5/2025), Paus Fransiskus mengangkat perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Vatikan.

Ketika Paus Fransiskus terpilih pada 2013, ia sempat menghadapi kritik saat memperluas peran perempuan dalam Gereja Katolik Roma.

Paus Fransiskus membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan penting.

Perempuan diberi kesempatan menduduki posisi-posisi senior dalam struktur birokrasi pusat Gereja, bahkan menunjuk perempuan pertama sebagai pemimpin dalam pemerintahan Vatikan. 

Bagi sebagian pihak, ini dianggap sebagai kemajuan besar bagi sebuah institusi yang sangat konservatif. 

Namun, bagi banyak orang lainnya, langkah-langkah tersebut masih dianggap belum cukup untuk mewujudkan Gereja yang benar-benar inklusif.

Baca juga: Saat Pemilihan Paus Baru dalam Konklaf Malah Dijadikan Taruhan Online...

Apakah inkusifitas warisan Paus Fransiskus berlanjut?

Saat ini, para Kardinal tengah mengadakan Konklaf untuk mencari pengganti Paus Fransiskus yang meninggal dunia pada 21 April.

Isu peran perempuan di Gereja saat ini tetap menjadi topik yang cukup sensitif.

Pertanyaan mengarah kepada para Kardinal setelah memilih seorang Paus, apakah akan melanjutkan warisan Paus Fransiskus atau tidak.

Bahkan muncul kekhawatiran Paus terpilih nantinya justru akan membatalkan upaya Gereja Katolik menjadi tempat inklusif bagi perempuan dalam mengambil perannya.

“Para perempuan tidak berharap terlalu banyak,” ujar Kate McElwee, direktur eksekutif Women's Ordination Conference, sebuah organisasi nirlaba yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Gereja. 

"Ada kekhawatiran bahwa pemilihan Paus berikutnya merupakan langkah mundur, padahal ada harapan kuat agar upaya menuju inklusi perempuan terus berlanjut," jelasnya dikutip dari Al Jazeera.

Baca juga: Pemilihan Paus Dimulai Hari Ini, Berikut Konklaf Tersingkat dan Terlama dalam Sejarah

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: the times of india, Al Jazeera
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi