KOMPAS.com - Ketika menemukan kerangka manusia yang diperkirakan dari masa lalu atau zaman dahulu, arkeolog perlu mencari jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan.
Sisa-sisa kerangka dapat memberikan banyak informasi mengenai bagaimana orang kuno hidup, terutama dalam konteks arkeologi yang lebih luas.
Penemuan-penemuan ini misalnya mengungkapkan kehidupan orang-orang Viking di kawasan Nordik, atau bagaimana orang-orang Pompeii di Italia terkubur akibat letusan Gunung Vesuvius.
Dikutip dari Science Friday, petunjuk jenis kelamin ini memberikan berbagai perspektif lain pada masa kerangka itu masih hidup.
Hal itu termasuk menggambarkan peran seseorang dalam berkontribusi pada masyarakat yang lebih besar sebagai seorang lak-laki atau perempuan.
Pengungkapan jenis kelamin ini juga untuk mengetahui hubungan secara intim atau ketertarikan seksual dengan orang lain pada saat itu.
Lantas, bagaimana cara arkeolog mengetahui jenis kelamin kerangka manusia?
Baca juga: Arkeolog Temukan Kuburan Masal Prajurit Romawi di Bawah Lapangan Sepak Bola
Berdasarkan bentuk dan ukuran kerangka
Antropolog biologi dari Boston University, Sean Tallman, menjelaskan para arkeolog mengetahui jenis kelamin kerangka dari bentuk dan ukurannya.
“Secara keseluruhan, kami melihat perbedaan bentuk dan ukuran antara kedua jenis kelamin. (Tetapi) tidak ada satu metode pun yang 100 persen akurat,” ungkap Tallman dikutip dari Live Science.
Para arkeolog sering melakukan pengukuran terhadap tulang yang panjang serta ramping, seperti tulang paha dan tibia (yang membentuk kaki).
Hasil pengukuran tersebut menggunakan metode statistik untuk memprediksi jenis kelamin seseorang.
“Rata-rata, laki-laki sekitar 15 persen lebih besar daripada perempuan,” ucap antropolog biologi di Western Carolina University, Kaleigh Best.
Dia menilai, banyak variabel seperti diet, genetika, penyakit, dan lingkungan yang memengaruhi ukuran tubuh.
Sehingga menurutnya, ada variasi yang luas bahkan di antara orang-orang dengan jenis kelamin yang sama.
Baca juga: Arkeolog Temukan Kota Peradaban Suku Maya yang Hilang di Meksiko
Namun, jika panggul kerangka terawat dengan baik, tingkat keakuratannya menjadi lebih tepat dan baik.
Metode utama untuk memperkirakan jenis kelamin seseorang dari panggul disebut metode Phenice. Dinamai seperti sesuai dengan antropolog yang mengusulkannya pada 1960-an.
Perbedaan bentuk tulang kemaluan di bagian depan panggul berkorelasi dengan jenis kelamin seseorang.
Misalnya, tulang kemaluan yang lebih tinggi, lebih mungkin berasal dari individu laki-laki. Sedangkan tulang kemaluannya lebih besar, lebih mungkin berasal dari perempuan.
Seorang arkeolog yang terlatih dapat memprediksi jenis kelamin kerangka dengan akurasi sekitar 95 persen dengan metode ini.
Baca juga: Arkeolog Temukan Makam Firaun yang Memerintah Mesir 3.500 Tahun Lalu
Menggunakan analisis DNA
Analisis DNA purba juga merupakan metode estimasi jenis kelamin kromosom yang akurat.
Hal tersebut di mana para ilmuwan mengidentifikasi varian gen yang berhubungan dengan jenis kelamin yang terkait dengan produksi enamel gigi.
Teknik tersebut saat itu mencapai akurasi sekitar 99 persen, bahkan pada kerangka arkeologi.
Namun, karena DNA terdegradasi dari waktu ke waktu, tidak semua kerangka arkeologi dapat dianalisis dengan cara ini.
Banyak arkeolog mengatakan penentuan jenis kelamin perlu dilihat dari aspek biologis. Hal itu merupakan hasil dari interaksi antara kromosom, hormon, gonad, dan gamet.
“Jenis kelamin tidak bersifat biner, tapi bisa jadi bimodal,” kata antropolog biologi di University of Central Florida, Donovan Adams.
Adapun bimodal dalam konteks ini berarti jika arkeolog memplot jenis kelamin pada grafik, akan ada dua “punuk” untuk laki-laki dan perempuan.
Namun, ketika ada kasus tumpang tindih antara kedua jenis kelamin ini, mewakili orang-orang yang digambarkan sebagai interseks.
“Sekitar 1,7 persen dari populasi adalah interseks,” ujar antropolog biologi di University of Maryland, Virginia Estabrook.
Baca juga: Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris
Kemudian ada sindrom Klinefelter atau kromosom seks XXY yang menyebabkan testis kecil dan payudara membesar pada orang yang terlahir sebagai pria.
Lalu sindrom ketidakpekaan androgen, di mana seseorang mungkin terlahir dengan alat kelamin eksternal seperti perempuan tetapi tidak memiliki organ reproduksi internal.
Berikutnya, defisiensi 5alfa-Reduktase 2, di mana bayi yang tampak seperti perempuan pada saat lahir kemudian mengembangkan penis dan testis.
Selain itu, ada orang-orang yang mungkin memiliki bentuk mosaik kromosom seks lainnya, dengan kromosom XX di beberapa sel dan XY di sel lainnya.
Baca juga: Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.