KOMPAS.com - Publik marah setelah mendengar pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengatakan bahwa kasus pemerkosaan massal 1998 tidak ada buktinya.
Mantan aktivis 1998 itu mengatakan bahwa pemerkosaan massal pada 1988 hanya berdasar pada rumor yang beredar. Pernyataan itu disampaikannya dalam sesi wawancara Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
"Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ucap Fadli Zon, dikutip dari Kompas.com, Senin (16/6/2025).
Dilansir dari Kompas.com, Senin (16/6/2025), dalam pernyataan selanjutnya, Fadli membantah telah menegasikan peristiwa tersebut. Ia hanya mempermasalahkan tentang penggunaan kata "massal" untuk menggambarkan tragedi tersebut.
Di tengah kecaman publik atas pernyataan Fadli Zon, sosok Ita Martadinata kembali ramai diperbincangkan warganet di media sosial X.
Ita Martadinata disebut sebagai salah satu bukti dan saksi dari tragedi pemerkosaan massal di Indonesia pada tahun 1998.
"Ada buktinya bang. Ita Martadinata ketika mau bersaksi di PBB mengapa dibunuh tiba2?" tulis @peser**********, Senin.
"Cek kasus Ita Martadinata, korban 98 yg jd saksi tp dibunuh sblm sempat bersaksi," tulis @Wiwi**********, Selasa (1//6/2025).
Lantas, siapakah Ita Martadinata?
Baca juga: Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB
Sosok Ita Martadinata
Dilansir dari laman Komnas Perempuan, Ita Martadinata adalah perempuan keturunan Tionghoa yang berusia 18 tahun. Dia memiliki nama lengkap Ita Martadinata Haryono.
Di masa belianya, Ita telah menjadi relawan kemanusiaan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU).
Catatan Harian Kompas berjudul "Menggugat dengan Kuburan Massal" mengungkap, Ita Martadinata lahir pada 1980. Dia merupakan salah satu korban pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta terjadi.
Traumanya selepas mengalami kekerasan seksual tidak menyurutkan keberaniannya.
Di usia yang baru 18 tahun, Ita Martadinata menjadi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengajukan diri untuk memberikan kesaksian di hadapan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat.
Nahas, sebelum kesaksian itu disampaikan, Ita Martadinata dibunuh pada 9 Oktober 1998.
Dia ditemukan meninggal dunia di kamar pribadinya.
Baca juga: Pembunuhan Ita Martadinata, Pukulan Telak yang Bungkam Korban Pemerkosaan Mei 1998
Kasus pembunuhan Ita Martadinata
Kasus pembunuhan Ita diceritakan kembali oleh Ita Fatia Nadia, yang kala itu merupakan anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) pada 19 Mei 2021.
TRK dibentuk sebagai respons atas tingginya kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Kala itu, Ita Fatia yang menjabat direktur dari organisasi perempuan bernama Kalyanamitra, turut menjadi koordinator Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), subdivisi khusus dari TRK.
"Saya baru bisa cerita sekarang. Sebelumnya saya enggak (sanggup). Jadi saya melihat begitu langsung terkesiap," kata Ita Fatia, dikutip dari Kompas.com (2023).
Perempuan itu kemudian menceritakan kengerian pembunuhan yang dilakukan kepada Ita Martadinata.
Kejadian itu bermula ketika Ita Martadinata bersama ibunya, Wiwin Haryono, yang merupakan aktivis Buddhis, memutuskan untuk memberikan kesaksian di hadapan Sidang PBB di New York.
Kala itu, komunitas Buddhis di Indonesia mendapat undangan untuk bersaksi di forum internasional itu.
Ita Martadinata dan ibunya lalu datang ke kantor Kalyanamitra di Jalan Kaca Jendela, Pasar Minggu, Jakarta Selatan setelah diminta oleh Tim Relawan Kemanusiaan Kerusuhan Mei 1998, Ignatius Sandyawan Sumardi.
Di sana, tim membuat pernyataan yang akan dibacakan Ita Martadinata di Sidang PBB nantinya.
Tim juga mempersiapkan segala kebutuhan Ita Martadinata dan ibunya jelang keberangkatan ke Amerika Serikat, seperti menyiapkan paspor, tiket pesawat, dan kondisi psikologis perempuan belia itu.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Tak Ada Kasus Pemerkosaan Massal Mei 1998, Data Publik Membantah
Nahas, beberapa hari sebelum keberangkatan, kabar duka itu muncul.
Ita Martadinata dikabarkan meninggal dunia. Informasi itu disampaikan oleh seorang aktivis hak perempuan dan anggota Nahdlatul Ulama (NU), Lily Zakiyah Munir.
"Sore hari jam 16.00 WIB saya mendapat telepon. 'Mbak, Ita Martadinata meninggal, dibunuh'," kata Ita Fatia.
Mendengar kabar tersebut, Ita Fatia bergegas menyambangi kediaman Ita Martadinata di daerah Sumur Batu, Jakarta Timur.
Rumah duka itu sudah ramai didatangi polisi. Sementara orangtua Ita Martadinata duduk di ruang tamu.
Ibunda Ita, Wiwin Haryono kemudian meminta Ita Fatia untuk ke kamar anaknya yang berada di lantai atas.
Di kamar itu, Ita Fatia terkesiap saat melihat mayat Ita Martadinata masih bersimbah darah. Saat itu, pembunuhan baru saja terjadi dan belum lewat sehari.
Ita Fatia mengaku lemas dan kembali turun setelah tidak sampai lima menit melihat mayat Ita Martadinata.
"Karena saya sudah enggak bisa, ini dari ujung (leher) sini, dari ujung kiri ke ujung kanan digorok, dan tengahnya terbuka. Darah itu masih mengucur. Tiga hari yang lalu itu masih duduk, kami berhadapan dia masih makan," kata Ita Fatia.
Insiden pembunuhan ini membuat seluruh korban pemerkosaan tahun 1998 pun diam membisu. Tidak ada lagi yang berani bersuara untuk bersaksi atas insiden pelanggaran HAM berat tersebut.
"Para korban tidak mau lagi bicara, tidak mau lagi bicara. Bahkan korban yang saya dampingi, itu korban yang diperkosa di dalam lemari di Surabaya, itu sampai sekarang tidak mau bicara. Diam semua," ucap Ita Fatia.
Menurutnya, korban pemerkosaan 1998 tidak mau bersaksi karena takut dibunuh. Setiap kali diminta bersaksi, mereka mempertanyakan jaminan keamanan yang diberikan kepada mereka.
Sampai sekarang, kasus pembunuhan Ita Martadinata masih menjadi misteri yang tidak pernah terpecahkan.
Baca juga: Fadli Zon Bantah Ada Pemerkosaan Massal Mei 1998, Bagaimana Data yang Diketahui Sejauh Ini?
Ita Martadinata dikenang di Galeri Nasional Indonesia
Kisah Ita Martadinata dikenang di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta melalui karya seni berjudul "I, The Witness” yang dibuat oleh Dolorosa Sinaga (72).
"I, The Witness” merupakan sebuah patung perempuan dengan tubuh yang meninggi dan kurus serta memakai kebaya encim keemasan.
Dolorosa mengisahkan sosok Ita Martadinata yang menjadi salah satu korban pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Selain diabadikan dalam patung, Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (BHT) atau dikenal dengan Perkumpulan Rasa Dharma, Semarang juga pernah meletakkan sinci Ita Martadinata di altar yang dikhususkan bagi para leluhur yang dihormati.
Peletakan sinci ini dilakukan sebagai bentuk memorialisasi dan momentum menolak lupa atas terjadinya pelanggaran HAM pada perempuan korban pemerkosaan massal 1998.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.