Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Tren S Line di Medsos, Apa Jadinya jika Kita Umbar Jejak Hubungan Seksual?

Baca di App
Lihat Foto
YouTube Wavve
Salah satu adegan S Line
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Belakangan ini, TikTok diramaikan oleh tren S Line yang terinspirasi dari drama Korea berjudul S Line.

Dalam film tersebut, tokoh utama bisa melihat benang merah di atas kepala orang lain yang menunjukkan jejak hubungan seksual mereka.

Jumlah benang merah menandakan jumlah orang yang pernah berhubungan seks dengan mereka.

Baca juga: Apa Arti S Line, Garis Merah di Atas Kepala yang Banyak Diperbincangkan di Media Sosial?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa tokoh dalam film juga bisa melihat hal serupa namun harus menggunakan kacamata khusus. 

Warganet kemudian ramai-ramai membuat konten serupa dengan menambahkan garis merah di atas kepalanya. Hal yang terjadi, netizen justru seperti sengaja pamer tentang pengalaman seksual mereka. 

Lantas, apa kata psikolog soal tren umbar jejak hubungan seksual yang tengah terjadi belakangan ini?

Ada risiko di baliknya

Psikolog dari Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal, mengingatkan agar masyarakat khususnya generasi muda untuk tidak gegabah meniru apa yang sedang ramai di layar kaca atau media sosial.

Terlepas sekedar mengikuti tren atau memang mengungkapkan fakta yang sebenarnya, ia mernilai tidak perlu bagi seseorang untuk mengumbar jejak hubungan seksual mereka ke publik. 

“Ketika seseorang mulai menunjukkan bahwa ia sering berganti-ganti pasangan, itu seharusnya jadi alarm, bukan sekadar gaya hidup yang dibanggakan,” tegas Danti saat diwawancarai Kompas.com pada Minggu (20/7/2025). 

Ia menekankan, perilaku tersebut bukan tanpa risiko dan perlu dipahami secara serius.

Menurut Danti, mengikuti tren tanpa pemahaman bisa berujung pada konsekuensi psikologis dan kesehatan yang berbahaya. 

“Enggak bisa asal ikut-ikutan hanya karena itu lagi hits. Bangga atas pencapaian hubungan seksual bukan sesuatu yang penting, apalagi kalau cuma demi validasi sosial,” ujarnya.

Lebih lanjut, Danti menyebutkan, publik perlu diberi pemahaman lebih dalam soal makna relasi sehat dan bertanggung jawab, bukan sekadar mengikuti arus budaya populer.

Menurut dia, tren itu lain cerita dengan pentingnya seseorang mengetahui riwayat seksual pasangan.

Ia bilang, hal itu bukan semata-mata ingin mencampuri urusan pribadi, tapi langkah penting untuk memahami risiko kesehatan yang mungkin dihadapi bersama. 

Baca juga: Drama Pendek, Kehidupan yang Padat

“Kalau pasangan kita ternyata sering bergonta-ganti pasangan, atau punya riwayat menggunakan narkoba, tentu risiko tertular penyakit menular seksual jauh lebih tinggi,” jelasnya.

Menurut Danti, pemahaman akan jumlah dan kualitas hubungan seksual sebelumnya membantu seseorang menilai seberapa sadar pasangannya terhadap kesehatan seksual dan tanggung jawab personal. 

“Ini bukan urusan aib atau membuka-buka masa lalu, tapi soal keselamatan. Seks yang aman dan sehat dimulai dari keterbukaan soal riwayat,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya literasi seksual yang sehat, bukan sekadar mengikuti arus budaya tanpa pemahaman.

“Menunjukkan bahwa sering berganti pasangan seksual seolah-olah sebuah prestasi, padahal itu harus menjadi perhatian serius. Ada risiko besar di baliknya,” ujar Danti.

Danti menjelaskan, gonta-ganti pasangan sangat rentan terhadap paparan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS dan infeksi human papilloma virus (HPV). 

“Risikonya tidak main-main. Bahaya ini nyata dan bisa menyerang siapa pun yang abai terhadap perlindungan,” pungkas Danti.

"Hubungan seksual bukan konsumsi publik"

Tren S Line juga menjadi perhatian Dosen Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), Christine Wibowo. Menurut dia, di luar kepentingan mencari pasangan, informasi tentang seks bukanlah sesuatu yang perlu diumbar ke publik, apalagi kepada orang asing.

“Status hubungan seksual seseorang itu tidak penting untuk diketahui. Terutama oleh orang lain yang tidak punya relasi langsung, itu sama sekali tidak ada gunanya dan tidak ada manfaatnya,” ujar Christine saat diwawancarai terpisah.

Christine juga menyoroti bahwa praktik hubungan seksual di luar pernikahan bukanlah hal yang bisa dibenarkan dalam norma dan nilai yang sehat di Tanah Air. 

“Melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, ya jelas salah. No debat,” ujarnya lugas.

Menurutnya, membagikan informasi semacam itu secara terbuka justru berisiko memicu stigma, mereduksi nilai-nilai privasi, dan menormalisasi sesuatu yang semestinya menjadi urusan sangat pribadi dan sakral.

Di era digital dan viral seperti saat ini, Christine mengingatkan publik untuk tidak ikut-ikutan tren yang menjebak, terutama yang menyentuh ranah moral dan pribadi secara sensitif.

Baca juga: Kok Bisa Tokoh Agama Jadi Pelaku Pelecehan Seksual?

 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi