ADA yang pelan-pelan mulai hilang dari ruang interaksi manusia hari ini: daya tahan. Daya tahan ini bukan sekadar kemampuan untuk terus berjalan, melainkan keberanian untuk mengarah dalam satu arah, meski dunia terus menawarkan banyak jalan pintas.
Daya tahan ini yang menjadi substansi dari apa yang saya sebut sebagai “komitmen”.
Komitmen adalah agregat penanda kedewasaan—sebuah sumpah yang tidak selalu bersuara, tapi terasa mengikat. Namun hari ini, ia seperti benda warisan yang disimpan di gudang loteng, dikenang tapi tak lagi dianggap perlu.
Sebagai peneliti hubungan sosial dan fondasi-fondasi yang menopang masyarakat, saya menyaksikan gejala ini tak lagi menjadi pengecualian. Ia seperti telah mengkristal menjadi suatu pola.
Komitmen, yang dulu lahir dari kedalaman spiritual dan rasionalitas tanggung jawab, kini diperlakukan semacam beban. Yang kalau bisa dihindari, akan segera dilepas agar tidak menjadi beban.
Baca juga: Brain Rot dan Krisis Senyap di Balik Gawai
Maka tak lagi ada kesungguhan untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai. Yang tertinggal hanyalah jejak digital dari niat yang menggantung, serta sejumlah pertanyaan yang tidak terucapkan.
Kita bisa melihatnya di banyak kasus. Di tempat saya kerja, ada cerita mahasiswa yang pindah jurusan berkali-kali bukan karena salah minat, tapi karena tak tahan belajar panjang.
Ada juga pasangan yang memutuskan hubungan karena “sudah tak sepaham”, padahal belum benar-benar mencoba memahami.
Pegawai yang keluar setelah dua minggu karena merasa “tidak cocok secara vibes”.
Semua tampak wajar, bahkan didukung oleh narasi kebebasan yang dikemas rapi: “ikuti kata hati”, “kalau tak bahagia, untuk apa”, “untuk yang malah menjadi beban, tinggalkan saja”.
Mungkin tak ada yang salah dengan kebebasan memilih. Namun, yang jadi soal adalah ketika pilihan menjadi pelarian.
Ketika komitmen dianggap jebakan, bukan laku hidup. Ketika segala sesuatu berubah jadi konsumsi sesaat: relasi, pekerjaan, bahkan keimanan.
Tidak ada proses internalisasi. Tidak ada proses pembentukan. Hanya ganti-ganti sampul tanpa pernah membaca isinya sampai habis. Miris.
Masalahnya bukan hanya soal individu yang menyerah terlalu cepat. Ada arus budaya yang mendorong kita untuk terus bergeser, mencicipi, mencoba, tapi tidak pernah benar-benar mendalami.
Baca juga: PSI: Jokowi dari Masa Lalu
Dalam dunia yang serba cepat ini, bertahan bisa terlihat lamban. Konsistensi bisa dicap membosankan. Maka mereka yang setia dianggap kurang kreatif. Mereka yang menyelesaikan dianggap ketinggalan zaman.
Padahal sejarah tak dibentuk oleh mereka yang pandai memulai, melainkan oleh mereka yang tabah menyelesaikan.
Komitmen Galileo tak tumbuh dari kegemaran menengok ke langit, tapi dari keberaniannya menolak tunduk pada dogma.
Kartini tak diingat karena satu suratnya, tapi karena ketekunannya dalam menulis ketika yang lain memilih diam.
Semua tokoh besar, dengan cara masing-masing, telah mengajarkan bahwa yang membuat manusia dikenang bukan aksinya yang paling keras, tapi pendiriannya yang paling tahan lama.
Sayangnya, kita sedang berhadapan dengan generasi yang diajari bahwa semua hal bisa diulang, dibatalkan, atau diganti. Tidak ada yang benar-benar final, tidak ada yang sungguh-sungguh sakral.
Pernikahan bisa dianggap kontrak emosional yang sewaktu-waktu dievaluasi. Janji kerja bisa diabaikan karena ada peluang yang lebih viral. Bahkan ikrar terhadap bangsa dan nilai-nilai luhur bisa surut ketika algoritma berkata sebaliknya.
Dampaknya tidak remeh. Ketika komitmen lenyap dari kamus kolektif generasi, maka yang rapuh bukan hanya hubungan antarindividu, tapi juga fondasi sosial.
Kita sedang menuju pada masyarakat yang kehilangan jangkar, yang mudah terombang-ambing oleh hasrat jangka pendek, dan tak mampu membangun apa pun yang bersifat lintas waktu. Sebab apa yang besar dan bermakna, selalu lahir dari komitmen jangka panjang.
Bayangkan jika bangsa kehilangan generasi yang mampu berkomitmen. Maka ia tak hanya kehilangan para pekerja dan pemikir, tapi juga para penjaga nilai.
Tak akan ada pemimpin yang tahan godaan, tak akan ada guru yang tabah membimbing, tak akan ada relawan yang bertahan di medan bencana. Yang ada hanya orang-orang yang datang ketika suasana nyaman, lalu pergi saat terasa sulit.
Baca juga: Rojali dan Krisis Dompet Rakyat
Bagi saya, ini bukan sekadar isu psikologis atau gaya hidup. Ini persoalan peradaban. Komitmen adalah tali tak terlihat yang mengikat manusia pada janji, pada tanggung jawab, pada sesamanya, dan bahkan pada sejarah.
Jika tali itu putus, maka yang lepas bukan hanya satu individu, tapi seluruh jaring sosial.
Komitmen adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan sosial. Dan sekali kepercayaan itu runtuh, yang tersisa hanyalah masyarakat yang retak-retak di dalam, meski tampak sibuk dan riuh di luar.
Mungkin kita perlu kembali bertanya: untuk apa kita memulai jika tidak berniat menyelesaikan? Untuk apa berkata “ya” jika tak sanggup bertahan saat badai datang?
Dan untuk apa hidup, jika tak ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri?
Zaman boleh berganti. Teknologi boleh berkembang. Tapi komitmen—sekali hilang—akan sulit ditumbuhkan kembali. Dan saat itu terjadi, sejarah tidak akan mencatat keberhasilan kita membangun dunia, tapi kegagalan kita merawatnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.