HANYA ada dua dampak dari suara keras yang keluar dari sound horeg, hiburan dan kebisingan.
Hiburan bagi yang merasa terhibur dan kebisingan bagi yang merasa terganggu dengan suara keras melampaui batas.
Sound horeg bukan dilema yang seharusnya menimbulkan pro-kontra, apalagi melibatkan agama.
Kendati agama dapat ditarik terlibat mengatur semua urusan di dunia, tapi Indonesia bukanlah negara agama, tetapi negara hukum. Selain itu, fatwa ulama tentang hukum haram bagi sound horeg, juga tidak bersifat mengingat untuk dipatuhi.
Lantas mengapa ulama ikut terlibat dalam mengeluarkan fatwa haram sound horeg?
Dapat diyakini, fatwa tersebut dilakukan dengan berbagai nalar agama melalui kajian fiqh yang mendalam. Sebagai sebuah perspektif, fatwa tersebut merupakan tindakan preventif. Guna mencegah dan menghindari kerusakan yang jauh lebih besar.
Baca juga: Indonesia, Berhentilah Naif soal Kedaulatan Data
Dari perspektif ini, ulama dapat ditempatkan sebagai refleksi dari berbagai pihak yang terganggu dan dirugikan oleh sound horeg. Ini semacam inisiatif dari otoritas agamawan untuk berkontribusi bagi kemaslahatan umat Muslim yang paling dirugikan.
Interelasi Otoritas
Sebenarnya, tidak perlu fatwa haram atau hukum formal untuk mengatur sound horeg jika kita kembali pada sistem republik. Kembalikan saja pada prinsip kebaikan bagi publik.
Ruang dengar adalah ruang publik yang seharusnya diatur oleh prinsip public good (kebaikan publik). Dari pemahaman ini, semua diatur dan tunduk pada public interest (kepentingan publik).
Karena itu pula, publik punya kepentingan untuk melindungi ruang dengar mereka dari berbagai bentuk kebisingan. Di sini, memang terbuka negosiasi antara publik/warga, market/industri dan negara/pemerintah.
Fatwa ulama, karena selalu berdasar pada tujuan maqasid syari’ah (menjaga kemaslahatan manusia), dapat diletakkan sebagai representasi kehendak publik itu sendiri.
Sementara pengusaha sound horeg dapat merepresentasikan dunia industri musik. Sedangkan pemerintah setempat merepresentasikan negara yang punya otoritas mengatur ruang publik.
Mungkin saja karena sifatnya yang interelasi, interaksi ketiganya memang sering kali tarik-menarik, atau tolak-menolak. Pola interelasi ini biasanya berakhir pada pihak yang pasif, mereka akan tereliminasi. Sementara pihak yang aktif, mereka akan mendominasi.
Sehingga, penerimaan suatu hal baru tidak disandarkan pada prinsip public good, tetapi pada siapa yang paling dominan menguasai relasi untuk menduduki ruang publik.
Sehingga hal paling buruk sekalipun, datang dari mana saja, pada akhirnya akan dapat diterima sebagai bentuk kewajaran baru.
Baca juga: Safari Kantong Empat Prabowo
Padahal, ada perspektif lain yang dapat digunakan sebagai resolusi. Yaitu prinsip kebaikan publik yang sudah berlaku universal sejak lama, terutama bagi negara yang memiliki kesadaran hak publik yang baik.
Sound horeg antara soundscape dan soundmark
Sound horeg mengacu pada penggunaan sistem audio bervolume sangat tinggi, dipasang pada truk terbuka yang bergerak di jalan umum. Sedangkan sound scape mengacu pada relasi manusia dengan lingkungan sonik budaya yang mengitarinya.
Murray Schaffer (1977) dalam buku Our Sonic, Enviroment and Sound Space the Tuning of the World menjelaskan, soundscape sebagai suara khas dari suatu daerah, sama halnya seperti arsitektur dan adat istiadat atau pakaian, merupakan ekspresi identitas yang menjadi budaya daerah tertentu.
Sementara mengacu pada Sun (2024) dalam artikel berjudul Factors, Processes, and Models of Soundmark Identification in Urban Parks menjelaskan, soundmark merupakan sumber suara khas yang mengidentifikasi area tertentu berdasarkan karakteristik akustik lingkungannya.
Sederhananya begini. Kalau kita berada di Bali, terdengar suara gamelan yang khas, itu artinya kita sedang masuk dalam aura soundmark.
Namun, kalau kita di Jakarta, terdengar suara gamelan Bali yang khas, kemudian terasa seperti berada di Bali dengan segenap suasana kebatinannya, kita masuk pada aura soundscape. Keduanya diikat oleh imajinasi perasaan hadirnya budaya yang spesifik.
Demikian pula saat kita mendengar sayup-sayup suara azan, suasana kebatinan kita dihantar pada suatu yang religius dari budaya Muslim setempat.
Apa yang kita rasakan ketika mendengar sound horeg?
Sering kali penolakan terhadap sound horeg dikaitkan dengan suara azan dari loudspeaker masjid. Jika sound horeg haram, mengapa suara TOA dari loudspeaker masjid tidak dilarang?
Masjid adalah landmark ritual ibadah keagamaan, maka suara azan yang keras terbatas di dalam masjid dapat disebut sebagai soundmark.
Baca juga: Joker dan Partai Politik
Sedangkan suara azan yang keluar dari TOA masjid kemudian masuk ke ruang dengar publik, dapat disebut sebagai soundspace.
Soundspace ini merupakan hasil dari proses budaya yang panjang lewat berbagai perubahan, penerimaan, dan pengaturan.
Awalnya sebagai penanda ibadah, masjid menggunakan bedug. Kemudian beralih menggunakan pengeras suara.
Pada titik ini, suara azan menggunakan loudspeaker sebenarnya sudah masuk mengintervensi ruang dengar publik. Namun diterima sebagai proses budaya bagi masyarakat Muslim yang religius. Negara kemudian hadir mengatur ketertiban suara loudspeaker.
Muncullah Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Surat Edaran ini menjelaskan bahwa volume loudspeaker diatur sesuai dengan titik moderat, yaitu sesuai dengan kebutuhan. Sebab, titik ekstremnya adalah di atas 100 dB (Desibel) dan di bawah 55 dB (Desibel). Jika di atas 100 dB dikategorikan suara yang sangat keras dan bising.
Negara dalam hal ini Kementerian Agama sudah menjalankan tugas otoritatifnya, terutama terbatas khusus dalam hal pengaturan suara yang keluar dari loudspeaker masjid. Peraturan Kementerian agama ini mempertemukan suara sebagai soundspace dan soundmark.
Agar lebih mudah dipahami, pemahaman bebasnya dapat dicerna begini: Apakah boleh bersuara keras? Boleh, tapi ada batasan ketinggian suara, pada tempat khusus dan waktu tertentu.
Dengan demikian, azan menggunakan loudspeaker dibolehkan dengan batas ketinggian suara, dilakukan di masjid pada saat masuk waktu sholat.
Sebebas-bebas berbagai ekspresi, ketika sudah masuk ke ruang publik tetap harus dibatasi oleh kebaikan publik (public good) sebagai nilai universal.
Atas nama kebebasan ekspresi, apakah boleh orang bertelanjang? Boleh, pada tempatnya seperti kamar mandi. Sebab kamar mandi adalah ruang privat bukan ruang publik.
Jika ada orang telanjang di jalanan, kemudian publik membiarkan ketelanjangan tersebut, maka ini merupakan proses menuju budaya baru, budaya telanjang di depan publik.
Namun, setelanjang-telanjangnya orang di depan publik, selalu ada batas waktu dan tempatnya. Ini terjadi di Barat, misalnya di pantai atau di taman terbuka pada saat warga berjemur belanja cahaya matahari yang langka.
Dan itu sudah menjadi budaya Barat karena tekanan alam bagi mereka yang susah mendapatkan cahaya matahari.
Apakah sound horeg dengan suara keras melampaui ambang batas, disajikan di jalanan terbuka, terkadang dengan memamerkan dancer seksi sedikit erotis, merupakan budaya Indonesia?
Tarik-menarik atau tolak-menolak antara relasi publik-market-negara dalam proses budaya yang panjang, yang nanti kelak akan menjawabnya.
Pihak yang pasif dalam berebut narasi, mereka akan tereliminasi, pihak yang aktif mereka yang akan mendominasi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.