KOMPAS.com - Angka kemiskinan di Indonesia turun 8,47 persen menjadi 23,85 juta per Maret 2025 menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Hal itu menjadi capaian angka kemiskinan paling rendah selama 20 tahun terakhir.
Meski demikian, data tersebut diragukan oleh banyak kalangan. Mereka mempertanyakan bagaimana angka kemiskinan bisa turun di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sejak awal tahun.
Di Jakarta, misalnya, angka kemiskinan turun 60 orang dibanding periode yang sama tahun lalu, tetapi bertambah 15.800 dari September 2024.
BPS menetapkan, penduduk di Jakarta tergolong miskin jika pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan Rp 852.768 per bulan per kapita pada Maret 2025.
Angka garis kemiskinan ini naik 0,79 persen dibandingkan September 2024. Akan tetapi, kondisi penduduk miskin di Jakarta disebut kian memburuk.
"Setelah cek lagi laporan BPS nya, keknya ini BPS ngeset "angka kemiskinan" ekstrim banget sih. Jakarta perkapita 852.768 perbulan, meaning kalo berempat serumah baru dikatakan miskin kalo household expdt 3.3 jutaan/BLN. Padahal 20% terbawah 4.3 juta itu hidup dah susah bgt," tulis @Bud***********, Sabtu (26/7/2025).
Lantas, apakah data angka kemiskinan BPS telah merepresentasikan kondisi di realita?
Baca juga: Kisah Pria Jepang Tertukar Saat Lahir, Hidup Miskin Selama 60 Tahun padahal Anak Orang Kaya
Metodologi BPS disebut tidak valid
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, angka kemiskinan yang dirilis BPS tidak valid, sehingga kurang merepresentasikan kondisi realita saat ini.
Menurutnya, BPS selama ini menghitung tingkat kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran.
Sementara, penentuan garis kemiskinan masih menggunakan purchasing power parities (PPP) 2017.
"Masalah utamanya metodologi garis kemiskinan BPS tidak valid sehingga tidak bisa mencerminkan kondisi pelemahan daya beli masyarakat khususnya penurunan tajam kelompok menengah menjadi orang miskin baru," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (27/7/2025).
Dia juga mengungkapkan, BPS perlu merevisi standar garis kemiskinan penduduk di Indonesia.
Baca juga: Warren Buffett Ungkap 5 Kebiasaan yang Buat Orang Tetap Miskin
Menurut PPP 2017, garis kemiskinan penduduk adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah 2,15 dollar Amerika Serikat (AS) per hari atau Rp 20.305 per hari atau sekitar Rp 629.000 per bulan.
Bhima menyampaikan, standar tersebut perlu diperbarui. Dia pun menyarankan agar BPS menggunakan garis kemiskinan teranyar yang sudah diadopsi oleh Bank Dunia atau World Bank, yakni PPP 2021.
"(Data Bank Dunia) lebih mewakili karena (menggunakan) standar PPP tahun 2021," jelas dia.
Bhima menyampaikan, selama BPS tidak melakukan pembaharuan standar angka kemiskinan, pemerintah Indonesia akan kesulitan untuk melakukan evaluasi program yang dilakukan.
Tak hanya pemerintah, penduduk di Indonesia, terutama di kalangan miskin juga akan terdampak.
"(Dampaknya) sangat banyak orang yang harusnya masuk kategori miskin tidak mendapat bantuan pemerintah," ujarnya.
Baca juga: Angka Kemiskinan Indonesia Naik, Ini Data Per Provinsi
Garis kemiskinan PPP 2017 terlalu rendah
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan, acuan garis kemiskinan di Indonesia terlalu rendah.
"Angka kemiskinan menurun menurut saya karena ukuran garis kemiskinan terlalu rendah. Hanya sekitar Rp 629.000. Seharusnya bisa di-update," ucapnya saat dihubungi secara terpisah, Minggu.
"Garis kemiskinan disesuaikan dengan upah minimum regional, biasanya sedikit di bawah UMR, atau sesuai dengan standar internasional (Bank Dunia)," imbuhnya.
Menurutnya, Bank Dunia menggunakan standar acuan terbaru untuk menentukan garis kemiskinan, yakni menggunakan PPP 2021 per Juni 2025.
Berdasarkan PPP 2021, garis kemiskinan ekstrem berada di level 3 dollar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 49.079 per hari atau Rp 1.472.370 per bulan.
Jika mengacu pedoman tersebut, angka kemiskinan di Indonesia justru meningkat, sebagaimana tercantum dalam laporan Bank Dunia berjudul "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)".
Dalam laporan tersebut, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak dari 171,74 juta jiwa menjadi 194,6 juta jiwa per Juni 2025.
Baca juga: Angka Kemiskinan di Amerika Serikat Naik 8 Juta Setelah Pandemi Corona
Alasan BPS masih gunakan PPP 2017
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono mengatakan, BPS masih menggunakan PPP 2017 untuk menghitung penduduk miskin karena mengikuti acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Kendati demikian, Ateng mengungkapkan bahwa BPS telah mengadopsi metode pengukuran penyesuaian nilai ekonomi (deflator spasial) yang baru dan telah disempurnakan Bank Dunia untuk penghitungan PPP 2017.
"Kami menyesuaikan metodenya, PPP-nya kami masih tetap, karena ini terkait dengan RPJMN 2025-2029, agar berkesinambungan kita untuk mengevaluasinya," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Jumat.
Terkait perbedaan angka kemiskinan BPS dan Bank Dunia yang berbeda, Ateng menyebutkan, keduanya sebenarnya sama-sama menggunakan data jumlah penduduk Indonesia dari Susenas.
Bedanya, acuan garis kemiskinan yang digunakan BPS dan Bank Dunia tidak sama. BPS menggunakan PPP 2017, sedangkan Bank Dunia menggunakan PPP 2021.
Inilah yang menyebabkan penghitungan angka kemiskinan BPS dengan Bank Dunia berbeda.
Ateng menyampaikan, BPS ke depan akan berupaya untuk mengikuti metode penghitungan internasional, termasuk menghitung tingkat kemiskinan penduduk.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.