INDUSTRI musik Indonesia tengah disibukkan polemik royalti antara pencipta lagu dan penyanyi, sementara perkembangan teknologi justru membawa ancaman baru yang belum sepenuhnya disadari.
Persoalan royalti di Indonesia berpusat pada penafsiran pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta, khususnya terkait kewajiban izin dan pembayaran melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Banyak yang beranggapan bahwa pertunjukan musik tidak memerlukan izin langsung dari pencipta selama royalti dibayarkan melalui LMK, sesuai Pasal 23 Ayat (5).
Namun, pencipta lagu kerap merasa dirugikan karena penerimaan royalti tidak sebanding dengan popularitas lagu mereka. Ketidakpuasan ini sebagai akar konflik yang memecah ekosistem musik.
Mencuri
Sementara Indonesia masih berkutat pada persoalan distribusi royalti konvensional, dunia internasional telah menghadapi fenomena baru berupa pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam menciptakan musik palsu.
Kasus Michael Smith (sebagaimana diberitakan BBC.com, 6 September 2024), seorang musisi asal North Carolina, AS, didakwa melakukan penipuan dengan menggunakan AI dan ribuan bot untuk memutar lagu buatan AI secara masif di platform streaming.
Baca juga: Perang Royalti di Era Musik Generatif AI
Ia menciptakan ratusan ribu lagu AI dan memanipulasi algoritma dengan 4 miliar stream palsu untuk mengklaim royalti senilai 12 juta dollar AS (Rp196 miliar) sejak 2019.
Industri musik global mulai waspada terhadap ancaman manipulasi AI, sementara Indonesia masih terfokus pada sengketa royalti konvensional.
Ketidaksiapan menghadapi disruptor teknologi dapat berpotensi merugikan pemain industri musik lokal.
Jika mekanisme distribusi royalti tradisional saja belum tertata, bagaimana Indonesia akan mengawasi penggunaan AI yang semakin canggih dalam menciptakan konten musik?
Pemerintah dan lembaga pengelola royalti perlu memperluas cakupan pengawasan tidak hanya pada konflik antara pencipta dan penyanyi, tetapi juga pada potensi penyalahgunaan teknologi.
Sistem pelacakan royalti berbasis teknologi (seperti yang diterapkan di Korea Selatan), dapat menjadi acuan untuk mencegah praktik manipulasi.
Kasus band palsu buatan AI memperlihatkan celah dalam sistem distribusi royalti digital yang rentan dieksploitasi.
Platform streaming musik, yang seharusnya menjadi saluran penghasilan bagi musisi dan pencipta lagu, justru dapat dijadikan alat penipuan jika tidak diawasi dengan ketat.
Indonesia, dengan ekosistem digital yang berkembang pesat, harus waspada terhadap skema serupa yang dapat menggerus pendapatan musisi lokal.
Pencipta lagu dan penyanyi di Indonesia masih berjuang untuk mendapatkan hak ekonomi yang adil, sementara di belahan dunia lain, AI sudah mulai "mencuri" porsi royalti dari karya-karya yang bahkan tidak melibatkan manusia.
Ketimpangan ini menunjukkan industri musik Indonesia tidak hanya perlu menyelesaikan konflik internal, tetapi juga bersiap menghadapi perubahan lanskap digital.
Transparansi dalam pengelolaan royalti menjadi kunci untuk mencegah ketidakadilan, baik dalam sistem konvensional maupun digital.
Baca juga: Putusan Pengadilan AS: Penggunaan Data Pelatihan AI Tak Langgar Hak Cipta
Audit terbuka dan pemanfaatan teknologi harus dilakukan untuk memastikan distribusi yang akurat. Namun, upaya ini harus dibarengi dengan regulasi yang mampu mengantisipasi praktik-praktik baru seperti penggunaan AI untuk manipulasi streaming.
Jika Indonesia tidak segera beradaptasi, bukan tidak mungkin royalti yang seharusnya menjadi hak pencipta dan musisi justru berpindah ke tangan pihak yang memanipulasi sistem.
Kasus Michael Smith membuktikan bahwa teknologi dapat menjadi alat untuk menipu dengan skala besar, menggeser pendapatan yang sah dari pemilik karya asli.
Polemik royalti antara pencipta lagu dan penyanyi di Indonesia, meskipun penting, tidak boleh mengaburkan ancaman lebih besar dari perkembangan teknologi.
Sementara kedua pihak sibuk berseteru, AI dan manipulator digital dapat mengambil keuntungan tanpa hambatan.
Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pengelola royalti, dan platform digital diperlukan untuk menutup celah ini.
Industri musik Indonesia berada pada persimpangan: tetap terbelenggu dalam konflik lama atau bergerak menuju sistem yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Pembenahan tata kelola royalti harus mencakup perlindungan terhadap karya asli sekaligus pencegahan eksploitasi oleh pihak yang memanfaatkan kelemahan sistem.
Ekosistem
Idealnya, perdebatan mengenai hak cipta dan royalti harus diperluas tidak hanya pada relasi pencipta-penyanyi, tetapi juga pada dampak teknologi terhadap ekosistem musik.
Tanpa kewaspadaan, Indonesia berisiko kehilangan pendapatan royalti yang seharusnya menjadi hak musisi dan pencipta lagu asli.
Kasus band virtual buatan AI menjadi pengingat bahwa industri musik tidak lagi hanya tentang manusia versus manusia, tetapi juga manusia versus mesin.
Baca juga: Jepang Sahkan UU AI: Regulasi Minimal untuk Inovasi Teknologi Maksimal
Jika tidak diantisipasi, royalti yang seharusnya mengalir ke pemilik karya justru dapat diklaim oleh entitas digital yang tidak memiliki hak moral maupun ekonomi.
Indonesia perlu belajar dari kasus-kasus internasional untuk membangun sistem yang lebih tangguh dalam menghadapi disruptor teknologi.
Pembaruan regulasi dan peningkatan kapasitas pengawasan menjadi langkah mendesak agar royalti musik tidak bocor ke pihak yang tidak berhak.
Sekali lagi, persaingan di industri musik kini tidak hanya terjadi antar-manusia, tetapi juga melibatkan kecerdasan buatan.
Jika Indonesia tidak segera berbenah, polemik royalti antara pencipta dan penyanyi akan menjadi masalah kecil dibandingkan dengan hilangnya pendapatan akibat manipulasi digital.
Industri musik Indonesia sedang berdiri di tepi jurang transformasi. Di satu sisi, konflik royalti konvensional belum terselesaikan, di sisi lain, gelombang disruptif teknologi siap mengubah lanskap kreativitas dan ekonomi musik secara global.
Polemik antara pencipta lagu dan penyanyi, meski krusial, hanyalah bagian kecil dari tantangan lebih besar.
Jika Indonesia terus terfokus pada pertikaian internal tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapi revolusi digital, bukan hanya keadilan ekonomi yang terancam, tetapi juga keberlangsungan ekosistem musik itu sendiri.
Masa depan industri musik bukan lagi sekadar tentang siapa berhak mendapatkan apa, tetapi juga tentang bagaimana melindungi hak-hak itu dari ancaman yang bahkan belum sepenuhnya terlihat.
Indonesia memiliki pilihan, tetap terbelenggu dalam sengketa lama yang menguras energi atau melompat ke depan dengan membangun infrastruktur hukum dan teknologi yang mampu menjawab tantangan zaman.
Seperti nada dalam sebuah lagu, harmoni hanya bisa tercipta ketika setiap elemen (manusia maupun mesin) berada di tempat yang tepat.
Jika langkah-langkah strategis diambil sekarang, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana negara berkembang mampu menyelaraskan persoalan royalti era digital. Namun, waktu terus berdetak, dan kesempatan ini tidak akan menunggu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.