DI JAWA Timur, muncul fenomena sosial yang tampak sederhana, tapi menyimpan dinamika kultural yang jauh lebih kompleks: sound horeg.
Mula-mula, ini hanyalah kreativitas warga yang merakit perangkat audio dengan kekuatan suara luar biasa, disusun dalam truk atau panggung portabel, digelar di tengah kampung, pasar malam, atau hajatan desa.
Belakangan, sound horeg menjelma jadi industri hiburan rakyat. Biayanya tidak main-main. Sekali sewa antara Rp 10 juta sampai Rp 70 juta per malam. Tergantung jenis spek sound system dan durasi acara.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Secara dangkal, orang mungkin bertanya: “Apa nikmatnya mendengar musik jedag-jedug dengan volume memekakkan telinga?” atau “Mengapa warga menikmati kebisingan yang bahkan merusak genting tetangga?”
Namun pertanyaan yang lebih mendalam justru bukan soal suara itu sendiri, melainkan: apa makna sosial dan kultural di balik gegap gempita sound horeg?
Untuk menjawab itu, kita perlu memakai lensa budaya populer.
Baca juga: Sound Horeg, Nalar Agama, dan Kebisingan di Ruang Publik
Stuart Hall, seorang pemikir terkemuka dalam kajian budaya, menyatakan bahwa budaya populer bukan hanya hiburan. Ia adalah medan pertempuran antara kekuasaan dan resistensi.
Budaya populer adalah tempat di mana ideologi dominan—kapitalisme, kelas atas, budaya elite—bertemu dengan perlawanan sehari-hari dari rakyat biasa.
Dalam konteks ini, sound horeg adalah bentuk budaya rakyat yang sedang menantang dominasi narasi besar: kapitalisme hiburan dan estetika budaya tinggi.
Bayangkan, selama bertahun-tahun hiburan audio-visual berkualitas tinggi hanya bisa diakses lewat tiket konser mahal, klub malam eksklusif, atau acara-acara mewah yang mengharuskan penampilan tertentu, sopan santun tertentu, bahkan selera musik tertentu.
Di sana, bass menggetarkan lantai dansa, lampu sorot menari, dan penonton bersorak. Siapa yang bisa masuk ke ruang-ruang itu? Tidak semua.
Maka sound horeg adalah subversi dari semua itu. Ia membalikkan logika industri hiburan: yang eksklusif jadi inklusif, yang mahal jadi gotong royong, yang individualistik jadi kolektif.
Masyarakat desa yang mungkin tak pernah masuk konser EDM, kini bisa berjoget bersama di tengah sawah atau jalan kampung. Tidak ada dress code. Tidak ada tiket. Tidak ada batas sosial. Semua boleh bergembira.
Dan kegembiraan itu bukan sekadar euforia. Ia adalah bentuk pelarian sekaligus pelepasan. Dalam tekanan hidup ekonomi yang makin sempit, dalam tatanan sosial yang makin kompetitif dan penuh batas, sound horeg menawarkan ruang relaksasi kolektif.
Di situ, warga bisa menjadi subjek yang aktif dalam menentukan bentuk hiburan mereka sendiri—bukan sekadar konsumen dari produk budaya pabrikan.
Kita bisa menyebut ini sebagai tindakan kultural dari bawah (bottom-up cultural practice). Dalam tradisi teori budaya, ini adalah bentuk bricolage—memanfaatkan sumber daya seadanya untuk menciptakan makna baru.
Warga merakit sendiri speaker-nya, membentuk komunitasnya, menyusun acaranya.
Bahkan ketika volume terlalu keras dan membuat genting beterbangan, itu bukan sekadar gangguan; itu adalah pernyataan keras dari rakyat kecil bahwa mereka juga berhak atas panggung, atas suara, atas ruang ekspresi.
Baca juga: Sound Horeg dan Eargasm Rakyat: Ekspresi atau Eksploitasi?
Sound horeg semacam pelepasan dari abainya negara pada hiburan rakyat, selain momen 17 Agustusan.
Mereka meracik sendiri nada dan dentumannya. Bahkan peracik suaranya bukan seorang sound engineer keluaran sekolah luar negeri, tetapi orang biasa yang memiliki kepekaan pada hak rakyat atas hiburan.
Jadi sound horeg adalah penawar dahaga pada mereka yang dompetnya selalu tipis; kantong cekak, minin harapan, tetapi tidak pernah cemas akan masa depan.
Bagi mereka, gembira ria adalah hak dasar yang jika negara tidak bisa memenuhinya, maka mereka mencarinya sendiri.
Memang, kapitalisme sering mereduksi hiburan menjadi transaksi. Ada harga, ada produk, ada konsumen. Namun, dalam sound horeg, logika itu diganggu.
Tentu ada unsur komersial, tapi bentuk relasi sosial yang terbangun jauh lebih luas. Ada solidaritas, kebersamaan, ekspresi bebas.
Ini bukan sekadar menyewa speaker; ini tentang membangun suasana, memanggil tawa, menyalakan semangat, memecah hening yang terlalu lama menindas.
Tentu, sound horeg bukan tanpa masalah. Suara bisingnya bisa jadi mengganggu. Kadang ada kekacauan, konflik, bahkan tindak kriminal yang membayangi.
Baca juga: Generasi Tanpa Tabungan
Namun, itu tidak menghapus nilai budayanya. Sebab, seperti halnya semua bentuk budaya populer, ia selalu ambivalen: antara hiburan dan pelarian, antara resistensi dan komodifikasi, antara kebebasan dan keteraturan.
Namun itu dan di situlah kekuatannya.
Sound horeg bukan soal “menikmati” musik keras, tapi soal mengambil kembali ruang, membuat gaduh demi didengar, dan berpesta di tengah ketidakpastian.
Ia adalah gema dari suara rakyat yang sering dibungkam oleh tata nilai dominan. Ia adalah bentuk budaya yang—meski dipandang rendah oleh budaya tinggi—justru menunjukkan vitalitas sosial yang otentik dan hidup.
Dalam dunia yang semakin diseragamkan oleh algoritma, sponsor, dan narasi besar kapital, barangkali suara yang terlalu keras itu adalah satu-satunya cara rakyat bisa bilang: “Kami juga ada.”
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.