DELAPAN dasawarsa sudah negara-bangsa ini merdeka, namun jejak kolonialisme masih kentara dalam denyut kehidupan kita.
Tidak hanya berbentuk bangunan tua atau jalan-jalan besar yang ditinggalkan, melainkan telah tertanam jadi sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Sembari kita merayakan aura kemerdekaan, penting kiranya untuk menguji ulang narasi-narasi besar yang selama ini kita warisi, dan menelisik ulang warisan kolonial yang masih membentuk struktur kehidupan masyarakat kita sekarang.
Mari kita mulai dari Bangsa Arab, yang sejak abad ke-10, telah membawa pengaruh budaya mereka melalui penyebaran Islam.
Kesultanan seperti Demak, Cirebon, Banten, dan banyak lagi di wilayah lain, menjadi bukti transformasi ini—dengan masjid kuno dan hukum Islam membentuk identitas masyarakat.
Bahasa Arab pun turut meninggalkan kata-kata yang diserap bahasa Indonesia. Di antaranya adalah; kafilah, kursi, plaza, musik, dan kimia.
Sementara itu, jaringan perdagangan maritim telah menghubungkan Nusantara dengan Timur Tengah dan India.
Baca juga: Bendera One Piece, Perjumpaan Rebel dan Nasionalisme dalam Perayaan Kemerdekaan
Pengaruh ini, meskipun tidak bersifat kolonial secara politik, membentuk pula identitas budaya dan agama mayoritas orang Indonesia yang masih kuat hingga kini.
Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1513) memberi penilaian negatif pada mereka, karena kelihaiannya kawin-mawin dengan keluarga penguasa di Jawa, dan kemudian menjungkalkan induk semangnya, lantas mendapuk klannya sendiri sebagai penguasa baru.
Islam yang sudah tumbuh subur sejak era Wali Songo, kemudian dijadikan batu lompatan oleh penjajah berikutnya, Yahudi golongan Askenazi dari Yaman—yang berperawakan seperti orang Arab.
Pada abad ke-19 M, setelah Perang Diponegoro (1825-1830), Belanda mendatangkan imigran Yaman ke Indonesia.
Di antara mereka, beberapa diangkat menjadi kapiten Arab, sementara yang lainnya, dari marga Baalawi, dipekerjakan sebagai mufti, seperti Usman bin Yahya, yang diberi label “cucu Nabi.”
Namun, hal yang menarik adalah bahwa marga Baalawi ini sebenarnya telah dilarang oleh mufti Makkah untuk memakai gelar sayid atau syarif.
Namun, di Indonesia, gelar ulama mereka kemudian dikenal sebagai habib, sebuah istilah yang semakin melekat hingga seluruh keturunan Baalawi dikenal sebagai Habib—hingga kini.
Transformasi dari gelar ulama menjadi habib ini menunjukkan bagaimana identitas dan gelar keagamaan bisa berubah makna dan peran dalam konteks sosial berbeda.
Penggunaan gelar Habib tidak hanya memperkuat legitimasi mereka sebagai pemimpin agama, tetapi juga mengukuhkan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat Muslim di Indonesia.
Di sisi lain, penolakan dari Mufti Makkah terhadap penggunaan gelar sayid atau syarif mencerminkan adanya ketegangan internal dalam komunitas Muslim internasional tentang bagaimana gelar-gelar ini harus digunakan.
Namun, di Indonesia, gelar ini menjadi simbol kekuasaan dan otoritas yang diterima luas, mengaburkan asal-usul larangannya dan membangun fondasi pengaruh yang kuat bagi marga Baalawi di Nusantara.
Kedatangan para “ulama” Baalawi ke Nusantara memiliki tujuan lebih besar dari sekadar dakwah. Mereka didatangkan pasca-penangkapan Diponegoro untuk memecah belah perlawanan pribumi yang banyak diinisiasi oleh para ulama, terutama ahli Tarekat dan pemimpin pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Perlawanan dari tokoh-tokoh seperti Syekh Abdulkarim di Banten, serta berbagai tarekat seperti Samaniyah di Sumatera, Qodiriyah Naqsabandiyah di Kalimantan dan Jawa Timur, hingga Lombok, menjadi ancaman serius bagi kolonial Belanda.
Fatwa Mufti Batavia, Usman bin Yahya, yang menyatakan perlawanan pribumi sebagai pemberontakan dan onar, memperlihatkan bagaimana agama digunakan sebagai alat politik untuk menundukkan rakyat.
Sebagai imbalan atas jasanya, Usman bin Yahya dianugerahi Bintang Salib Singa oleh Ratu Wilhelmina, yang kemudian ia balas dengan pujian dan doa untuk sang Ratu.
Namun, strategi pecah belah ini tidak hanya berhasil melalui manipulasi agama, tetapi juga dengan memanfaatkan struktur sosial yang sudah ada.
Baca juga: Memahami dan Merangkul “Perlawanan” di Papua
Para ulama Baalawi, yang datang dengan status sosial tinggi karena dianggap sebagai keturunan Nabi, dengan mudah memeroleh pengaruh di kalangan masyarakat Muslim Nusantara.
Status ini memberikan mereka otoritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ulama-ulama pribumi, yang pada akhirnya menggeser posisi kepemimpinan spiritual dan politik di banyak wilayah.
Dalam situasi seperti ini, Belanda secara cerdik memanfaatkan ketidaksetaraan sosial ini untuk mengurangi ancaman dari gerakan perlawanan yang berbasis agama, sementara secara simultan memperkuat dominasi kolonial mereka di Nusantara.
Lebih dari itu, kehadiran Baalawi juga secara tidak langsung memunculkan konflik di antara komunitas Muslim lokal.
Masyarakat pribumi yang telah lama mengikuti ajaran dan tradisi lokal mulai terpecah, ada yang beralih mengikuti ajaran ulama Baalawi, sementara yang lain tetap bertahan dengan tradisi dan ajaran ulama lokal.
Kondisi ini memperlemah solidaritas internal komunitas Muslim di Nusantara, yang sebelumnya solid dalam perlawanan terhadap penjajah.
Dengan demikian, pecah belah ini bukan hanya melemahkan kekuatan perlawanan fisik, tetapi juga merusak struktur sosial dan kohesi komunitas Muslim, menjadikan upaya perlawanan terhadap Belanda semakin sulit dan terfragmentasi.
Kita beralih ke Portugis dan Spanyol; perintis perdagangan dan Kristenisasi dengan glod, glory, gospelnya.
Portugis tiba pada awal abad ke-16, menguasai Malaka pada 1511 dan mendirikan pos perdagangan di Ternate dan Ambon untuk mengendalikan rempah-rempah dari Pulau Banda dan Pulau Run.
Mereka memperkenalkan Kristen di wilayah timur, meninggalkan komunitas Kristen yang bertahan hingga saat ini, serta banyak kata serapan seperti garpu, gereja, jendela, kapten, kemeja, meja, Minggu, pesta, Sabtu, sekolah, selada, dan sepatu.
Spanyol, bersaing di Maluku, menguasai Tidore dan Sulawesi Utara untuk waktu singkat, sebelum dikalahkan oleh VOC pada 1663.
Pengaruh mereka lebih terbatas, tetapi kristenisasi di wilayah timur tetap menjadi warisan penting yang tak bisa dinafikan.
Berikutnya ada Inggris dan Perancis, dengan reformasi singkatnya. Inggris menguasai Jawa selama Perang Napoleonik (1811–1816) di bawah kendali Sir Stamford Raffles, yang memperkenalkan reformasi pajak tanah dan menulis The History of Java, dan menunjukkan minat pada budaya lokal yang begitu besar.
Perancis, melalui Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, membawa reformasi administratif gaya Perancis, termasuk pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan, meskipun menyebabkan ribuan kematian pekerja paksa—akibat praktik korupsi para bupati yang terlibat dalam mega proyek tersebut.
Baca juga: Sukarno-Hatta Mengkritik Garis Kemiskinan
Lalu Jepang sebagai katalis kemerdekaan, yang menduduki Indonesia selama rentang 1942–1945. Singkat namun krusial. Jepang memang berhasil menghancurkan mitos keunggulan kolonial Barat dan memobilisasi rakyat melalui milisi seperti PETA, mempercepat nasionalisme yang mengantarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun, eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja paksa (romusha) dan jugun ianfu (wanita budak seksual), jelas menyebabkan penderitaan besar bagi para korban, penyintas dan anak turunan mereka.
Peninggalan yang Musykil ditampik
Mereka datang bukan sekadar membawa rempah pulang, tapi memindahkan pusat dunia ke atas pundak orang-orang yang tak pernah minta dijadikan koloni.
VOC—yang lahir dari kongsi dagang dan ambisi rakus Eropa—mendarat di Nusantara pada 1602, dan sejak itu, darah dan air mata tak lagi bisa dipisahkan.
Tanam Paksa bukan sekadar kebijakan, tapi cara menulis sejarah dengan cengkeh dan peluh. Di ladang-ladang Jawa, tubuh-tubuh ringkih dipaksa menanam tebu dan kopi bukan untuk diminum, tapi untuk dikirim ke Rotterdam, Amsterdam, menuju jantung kapitalisme yang berdenyut dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa.
Apa yang disebut pembangunan hanyalah nama lain dari pengisapan. Statistik memang mencatat produksi melonjak—gula dari 6.700 ton jadi 100.000 ton, kopi dari 20.000 ke 55.000—tapi siapa yang menikmati lonjakan itu?
Bukan petani di kaki Merapi. Bukan ibu-ibu di Wonosobo. Mereka justru mencatat peningkatan kematian, 30 korban jiwa tiap 1.000 pekerja. Sebuah angka yang tak tercetak di peta sejarah Belanda.
Kolonialisme tak hanya mengatur tanah, tapi juga mengatur jiwa. Bupati diikat kontrak. Adat ditertibkan oleh hukum yang tak ditulis dalam bahasa lokal.
Bangsa ini dijadikan eksperimen; antara cukai dan misi zending, antara pos jaga dan gereja, antara buku catatan dan bajak.
Warisan kelam itu masih bersama kita. Tak hanya bersemayam dalam bangunan kolonial yang berdiri angkuh di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan banyak kota-kota lain—tapi juga dalam sistem hukum yang tak sepenuhnya memihak rakyat, dalam kurikulum pendidikan ekslusif yang menyisihkan sejarah tandingan, dan dalam ketimpangan ekonomi yang diwariskan hingga hari ini.
Pendidikan nasional kita jelas mewarisi struktur kolonial yang elitis dan sentralistik. Kurikulum melulu menekankan narasi kemerdekaan versi negara dan pemerintah yang berkuasa.
Sekolah elite masa kolonial, kini bertransformasi menjadi sekolah mahal cap internasional, yang turut memperkuat kesenjangan sosial.
Ketimpangan yang terabaikan
Di negeri yang katanya dipersatukan semangat kebhinnekaan ini, kita masih menyaksikan ironi yang membatu: pembangunan terkonsentrasi di barat, sementara timur terus menarik napas dalam debu dan janji.
Di Jawa, jalan raya membelah bumi laksana urat emas. Bandara dibuka seperti toko swalayan. Sedangkan di Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan, hujan masih jadi kendala utama bagi anak sekolah.
“Pembangunan merata,” kata para pejabat di layar kaca. Tapi kenyataannya membentur peta—pusat dan pinggiran tak pernah benar-benar akur.
Dari laporan CEPR dan data Bank Dunia, kita tahu bahwa Jawa menyerap sekitar 58 persen belanja infrastruktur nasional, sedangkan Papua dan Maluku hanya kebagian remahnya saja—kurang dari 10 persen.
Baca juga: Ilusi Kelas Menengah: Hidup Nyaman, tapi Tak Pernah Cukup
Maka tak heran jika di tempat-tempat yang dijuluki “daerah 3T”, rumah sakit, listrik, bahkan air bersih masih jadi kemewahan. Indonesia tumbuh, tapi tak semua anaknya ikut tinggi.
Papua, tanah yang kaya dalam arti paling harfiah, justru jadi korban paling awal dari kolonialisme gaya baru. Tak dijajah Belanda terlalu dalam, tapi dijarah lebih telanjang oleh anak-anak Republik sendiri.
Persis seperti dinubuatkan Bung Karno. Dari emas yang tak pernah selesai ditambang Freeport, hingga hutan yang ditebang atas nama "pembangunan", Papua selalu dijanjikan kemajuan—tapi justru sering dikurung dalam stigma negatif berkepanjangan.
Laporan Amnesty International (2019) mencatat bahwa pelanggaran HAM di Papua terjadi sistemik, terutama kepada masyarakat sipil. Anak-anak di sana tumbuh dalam bayang trauma dan kekerasan yang direproduksi negara.
Dalam pelajaran sejarah nasional, Papua seperti anak tiri yang dimasukkan belakangan, dan selalu harus membuktikan bahwa dia “Indonesia”. Tapi bagaimana mungkin mereka merasa milik sebuah bangsa yang lebih sering menyuruh mereka diam?
Warisan sistemik bernama keterjajahan pikiran!
Diskriminasi bukan hanya sekadar kebencian, tapi sistem. Dilembagakan dalam birokrasi, direproduksi dalam bahasa media, bahkan diajarkan secara tak sadar di ruang-ruang kelas.
Ketika suku tertentu dianggap lebih “beradab”, lebih “pantas memimpin”, dan yang lain disempitkan dalam peran-peran marjinal, maka kita tahu bahwa bangsa ini belum sepenuhnya merdeka.
Coba tengok komposisi pejabat di kementerian, pemimpin militer, CEO BUMN: sangat jarang kita temui nama-nama dari timur atau dari luar etnis dominan. Bahkan, UU Otonomi Khusus pun lebih sering jadi alat kendali tinimbang instrumen keadilan.
Laporan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat, secara konsisten berada di posisi terendah nasional—lebih dari 20 poin di bawah rata-rata nasional.
Ini bukan soal budaya atau adat yang “tertinggal”, tapi soal kebijakan dan mental kolonial yang belum juga runtuh.
Pada usia 80 tahun kemerdekaan ini, Indonesia Raya harus becermin lebih jujur. Bukan hanya merayakan bendera dan parade, tapi juga berani menatap luka yang diwariskan kolonialisme—lalu diteruskan oleh ketimpangan struktural, diskriminasi sistemik, dan diam yang disengaja.
Selama kita masih membedakan “pusat” dan “pinggiran” dengan standar ganda, selama anak-anak Papua masih dipanggil “non-pribumi” di kota besar, selama akses pendidikan dan kesehatan ditentukan oleh di mana kamu lahir—maka Indonesia belum utuh.
Kemerdekaan sejati bukan sekadar lepas dari penjajah, tapi membebaskan diri dari cara pikir sang penjajah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.