KOMPAS.com - 80 tahun yang lalu, warga di Jepang tidak mengira bahwa negaranya bakal menjadi target bom atom milik Proyek Manhattan, AS yang sangat mematikan.
Tepat pada 6 Agustus 1945, teknologi penghancur dengan julukan "Little Boy" itu dijatuhkan di Hiroshima.
Lebih dari 200.000 orang tewas akibat ledakan tersebut. Sebagian besar korban mengalami penyakit radiasi dan luka bakar.
Warisan tragedi itu terus menghantui para penyintas hingga memasuki dekade kedelapan ini.
Salah satu penyintas bom Hiroshima, Shingo Naito merasakan luka dan trauma sejak masih berusia 6 tahun.
Saat itu, bom menghantam kotanya dan menewaskan ayah hingga kedua adiknya.
"Ayah saya terbakar parah dan buta akibat ledakan itu. Kulitnya menggantung di tubuhnya, ia bahkan tidak bisa memegang tangan saya," ucapnya, dikutip dari BBC, Selasa (5/8/2025).
Baca juga: Kisah Hidup Tsutomu Yamaguchi, Satu-satunya Korban Selamat Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki
Alami kanker akibat paparan radiasi
Naito hanya satu dari jutaan penyintas yang masih menyimpan luka dan duka.
Penyintas bom atom lainnya, Satoshi Tanaka harus menanggung derita meski selamat dari petaka mematikan itu.
Dia melanjutkan hidup dengan mengalami berbagai penyakit kanker akibat paparan radiasi.
Satoshi menggambarkan kemelut tragedi bom Hiroshima serupa dengan pertumpahan darah di Gaza saat ini.
"Melihat tumpukan puing, kota-kota yang hancur, anak-anak dan perempuan yang melarikan diri dengan panik, semuanya mengingatkan saya pada apa yang saya alami," ujarnya.
"Kita hidup berdampingan dengan senjata nuklir yang dapat memusnahkan umat manusia berkali-kali lipat," imbuh Tanaka lagi.
Baca juga: 5 Kisah Ikonik di Balik Tragedi Bom Hiroshima 6 Agustus
Bergulat dengan rasa sakit
Tak banyak yang tahu tentang fakta bahwa sekitar 20 persen korban bom Hiroshima adalah warga Korea.
Korea telah menjadi koloni Jepang selama 35 tahun ketika bom dijatuhkan. Setidaknya, 140.000 warga Korea tinggal di Hiroshima pada saat itu.
Lee Jung-soon salah satunya. Perempuan berusia 88 tahun itu masih duduk di bangku sekolah dasar ketika bom dijatuhkan di kotanya.
"Ayah saya hendak berangkat kerja, tetapi tiba-tiba ia berlari kembali dan menyuruh kami segera mengungsi," ucapnya.
"Katanya jalanan penuh dengan mayat, tetapi saya sangat terkejut hingga yang saya ingat hanyalah tangisan. Saya hanya menangis dan menangis," tambah Jung-soon.
Ia melambaikan tangan saat bercerita, seolah mencoba mengusir kenangan pahit tersebut. Dalam kenangannya, ledakan bom atom menyebabkan ribuan korban meleleh dan hancur.
"Bom atom itu adalah senjata yang sangat mengerikan," ucapnya.
Meski selamat dari peristiwa mengerikan itu, Jung-soon bersama dengan keturunannya terus hidup dalam bayang-bayang hari itu.
Dia bersama dengan penyintas lainnya bergulat dengan cacat, rasa sakit, dan perjuangan selama puluhan tahun untuk menuntut keadilan.
Baca juga: Sejarah Bom Atom Hiroshima-Nagasaki Jepang yang Akhiri Perang Dunia II
Tak ada yang mau bertanggung jawab
Penyintas berusia 83 tahun, Shim Jin-tae masih menanti keadilan atas tragedi bom Hiroshima 80 tahun lalu.
"Tak ada yang mau bertanggung jawab," kata dia.
"Bukan negara yang menjatuhkan bom. Bukan negara yang gagal melindungi kita. Amerika tidak pernah meminta maaf. Jepang pura-pura tidak tahu. Korea juga tidak lebih baik. Mereka hanya melempar kesalahan dan membiarkan kita begitu saja," imbuh Jin-tae.
Jin-tae sekarang menetap di Hapcheon, Korea Selatan, sebuah daerah kecil yang menjadi rumah bagi puluhan penyintas Hiroshima. Wilayah itu bahkan diberi julukan "Hiroshima-nya Korea".
Perempuan itu memang selamat dari bom atom, tetapi luka mendalam masih terukir di tubuhnya.
Jin-tae kini mengalami kanker kulit, penyakit Parkinson, dan angina, suatu kondisi yang disebabkan karena buruknya aliran darah ke jantung yang menimbulkan gejala nyeri di dada.
Namun, yang paling berat untuk Jin-tae adalah rasa sakit yang tiada henti.
Putranya, Ho-chang didiagnosis mengalami gagal ginjal dan sedang menjalani dialisis sambil menanti transplantasi.
"Saya yakin itu karena paparan radiasi, tapi siapa yang bisa membuktikannya?" kata Ho-chang Lee.
"Sulit untuk diverifikasi secara ilmiah, Anda membutuhkan tes genetik yang melelahkan dan mahal," imbuh dia.
Baca juga: Kisah Tsutomu Yamaguchi, Diklaim Pria Paling Beruntung Usai Selamat dari Bom Hiroshima-Nagasaki
Peringatan 80 tahun bom Hiroshima
Pemerintah Jepang menggelar doa hening untuk mengenang 80 tahun bom Hiroshima pada Rabu (6/8/2025).
Acara itu dihadiri oleh Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba bersama dengan pejabat dari seluruh dunia dan Wali Kota Hiroshima, Kazumi Matsui.
Mereka kompak mengenakan setelan jas hitam dan dasi hitam lalu berdiri mengheningkan cipta di depan tugu peringatan bom Hiroshima.
Matsui kemudian menyinggung soal tren global yang semakin cepat dengan gagasan bahwa senjata nuklir penting bagi pertahanan nasional.
Faktanya, sebagai pejabat di negeri yang hancur karena nuklir, dia menentang gagasan tersebut.
"Pengabaian yang mencolok terhadap pelajaran yang seharusnya dipelajari komunitas internasional dari tragedi sejarah," ucapnya.
Pengeboman Hiroshima menandai berakhirnya Perang Dunia II yang terjadi sejak 1936.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.