KISAH film "Merah Putih: One For All" sedang jadi buah bibir di jagat maya, bukan karena antusiasme akan penayangannya, melainkan badai kritik terhadap kualitas trailer-nya.
Kualitas visual yang dinilai kaku dan alur cerita yang terkesan kurang matang menjadi sorotan utama warganet, seolah menodai ambisi mulia mengangkat tema kebangsaan.
Dengan modal fantastis, yang awalnya disebut Rp 6,7 miliar oleh sang produser, film "Merah Putih: One For All" jelas bukan proyek main-main. Angka ini tergolong besar untuk standar animasi lokal.
Namun, waktu produksi yang dikabarkan hanya sekitar dua bulan memunculkan tanda tanya besar: mungkinkah menghasilkan karya animasi berkualitas tinggi yang sepadan dengan investasi dan ekspektasi publik dalam tempo sesingkat itu?
Ambisi dan realita
Industri animasi menuntut ketelitian, waktu, dan keahlian di setiap detail. Dari storytelling yang kuat, pengembangan karakter yang berjiwa, desain visual memukau, hingga proses rendering yang mulus—semuanya membutuhkan kesabaran dan sumber daya.
Ketika hasil akhir dirasa tak sejalan dengan biaya dan waktu yang dialokasikan, pertanyaan tentang efisiensi dan prioritas dalam proses produksi menjadi tak terhindarkan.
Kritik yang membanjiri media sosial adalah cerminan langsung dari suara konsumen di era digital.
Baca juga: Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
Mereka kini tak lagi pasif, melainkan aktif menyuarakan tuntutan akan kualitas. Ini adalah sinyal kuat bahwa ekspektasi publik terhadap konten lokal telah meningkat tajam.
Mereka tak hanya membandingkan dengan karya domestik lainnya, tapi juga dengan standar global yang kini mudah diakses di ujung jari.
Peran Pemerintah
Di tengah riuhnya kritik, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif RI, Irene Umar, turun tangan. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan bantuan finansial maupun fasilitas promosi untuk film ini.
Sebuah klarifikasi krusial untuk menepis spekulasi dan menjaga transparansi.
Pernyataan Irene ini menegaskan posisi pemerintah sebagai fasilitator dan pemberi masukan, bukan penyokong dana utama.
Ini adalah model yang sehat: pemerintah mendorong ekosistem kreatif melalui kebijakan, pelatihan, dan pendampingan, sementara risiko produksi dan kualitas sepenuhnya berada di pundak produser.
Namun, insiden ini juga jadi cermin bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Bagaimana agar semangat kebangsaan yang diusung dalam karya seni dapat diimbangi dengan kualitas teknis yang mumpuni?
Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pemikiran Bung Karno tentang seni dan nasionalisme.
Beliau kerap menekankan bahwa seni, termasuk film, adalah alat perjuangan yang ampuh untuk membangkitkan dan memelihara semangat nasionalisme.
Namun, ia juga berpesan agar seni tersebut haruslah berkualitas dan relevan dengan zamannya.
Bagi Bung Karno, nasionalisme yang kuat harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan bangsa, termasuk dalam karya seni yang agung dan berkualitas tinggi, bukan sekadar tempelan tema tanpa eksekusi yang memadai.
Baca juga: Drama Politik Pati dan Runtuhnya Kepercayaan Publik
Seni yang buruk, bahkan dengan niat nasionalis, justru bisa mengurangi marwah bangsa.
Masa depan animasi
Pelajaran dari polemik "Merah Putih: One For All" bukan sekadar kritik tunggal, melainkan refleksi mendalam bagi seluruh industri animasi nasional.
Jika kita ingin melangkah maju, ada beberapa pilar utama yang perlu diperkuat demi memastikan karya-karya animasi Indonesia bisa bersaing dan membanggakan.
Pertama, investasi pada sumber daya manusia dan teknologi adalah kunci. Kualitas animator dan talenta kreatif kita harus terus ditingkatkan melalui program pelatihan intensif dan akses pada teknologi mutakhir.
Ini bukan hanya soal software, tapi juga pemahaman mendalam akan prinsip animasi dan narasi yang kuat.
Kedua, kita perlu membangun manajemen proyek yang lebih realistis. Setiap proyek harus didasarkan pada perencanaan matang, dengan alokasi waktu dan anggaran yang sesuai standar kualitas.
Terkadang, ambisi besar harus diimbangi kesadaran akan kapasitas. Kualitas tak bisa dikompromikan demi target rilis yang terburu-buru.
Terakhir, kolaborasi dan keterbukaan terhadap umpan balik menjadi sangat penting. Mendorong kerja sama antar-studio, bahkan dengan pakar internasional, dapat memperkaya perspektif dan standar.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5 Persen, tapi Gaji Naik Kurang dari 2 Persen
Kesediaan membuka diri terhadap kritik konstruktif dari ahli dan publik sejak dini dalam produksi akan membantu mengidentifikasi potensi masalah sebelum menjadi kontroversi publik.
Fenomena ini selaras dengan pandangan Richard Florida, ekonom kreatif terkemuka, yang menekankan bahwa kota dan negara yang sukses di era ekonomi kreatif adalah yang mampu menarik dan mempertahankan talenta kreatif serta menyediakan lingkungan yang kondusif untuk inovasi.
Kualitas produk animasi kita pada akhirnya bergantung pada kualitas dan kebebasan berekspresi para kreatornya.
Senada, profesor John Howkins, yang memperkenalkan konsep Creative Economy, selalu menyoroti pentingnya nilai intrinsik dan kekayaan intelektual sebagai inti dari produk kreatif.
Jika kualitas eksekusi kurang, nilai intrinsik sebuah karya, sekalipun berlandaskan tema mulia, akan sulit menarik perhatian dan investasi berkelanjutan.
Krisis kualitas bisa mengikis kepercayaan pasar, menghambat potensi pertumbuhan ekonomi sektor ini.
"Merah Putih: One For All" mungkin memulai perjalanannya dengan kontroversi. Namun, ini adalah momentum tepat untuk menjadikannya katalisator.
Mari kita bersama—para pelaku industri, pemerintah, dan penonton—berinvestasi lebih serius pada kualitas.
Sebab, kebanggaan nasional tak hanya datang dari tema yang diusung, tetapi juga dari karya yang benar-benar bisa dibanggakan di mata dunia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.