Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Bupati Pati, Pakar Ungkap Gaya Komunikasi yang Baik Dimiliki Kepala Daerah

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO
Aksi unjuk rasa yang menuntut Bupati Pati Sudewo lengser dari jabatannya di Alun-alun Pati, Rabu (13/8/2025), berubah menjadi lautan amarah yang mencekam.
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Kantor Bupati Pati, Jawa Tengah, digeruduk massa setelah Bupati Sudewo menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.

Ia menyebut kenaikan PBB ini dilakukan lantaran tarif tersebut tidak mengalami perubahan selama 14 tahun.

Ketika ada penolakan warga di awal, Sudewo justru mengeluarkan pernyataan menantang warga untuk melakukan demo dalam jumlah lebih besar.

Ia kala itu menekankan aksi unjuk rasa warga tidak akan mengubah kebijakannya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Siapa yang akan melakukan penolakan, saya tunggu. Silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang saja suruh dikerahkan, saya tidak akan gentar," ujar Sudewo dalam video yang beredar di media sosial.

Ucapannya itu kemudian membuat warga kian marah dan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Alun-alun Pati pada Rabu (13/8/2025). Mereka menuntut pengunduran diri Sadewo.

Baca juga: Apa Kasus Korupsi yang Aliran Dananya Diduga Mengalir ke Bupati Pati Sudewo?

Lalu, bagaimana tanggapan pengamat komunikasi polisi soal tantangan yang dilontarkan Sudewo?

Tanggapan pengamat soal tantangan yang diucapkan Sudewo

Sosiolog Politik dan Komunikasi Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, menilai ucapan Sudewo mencerminkan masalah serius dalam kapasitas komunikasi politik seorang kepala daerah, apalagi di tengah situasi ekonomi rakyat yang sedang sulit.

"Saya cermati ada problem serius soal kapasitas komunikasi politik kepala daerah di tengah situasi ekonomi yang memburuk," kata Ubedillah kepada Kompas.com, Kamis (14/8/2025).

Ia menjelaskan, gaya komunikasi Sudewo yang terkesan keras, menantang, mendominasi, dan merendahkan pihak lain adalah contoh dari komunikasi agresif.

Menurutnya, gaya seperti ini tak hanya berpotensi menimbulkan resistensi publik, tapi juga menunjukkan arogansi kekuasaan.

"Kapasitas komunikasi politik yang rendah seperti ini tentu berdampak negatif terhadap citra kepemimpinan daerah," tambahnya.

Baca juga: Jika PBB-P2 di Pati Naik 250 Persen, Ini Perhitungan Pajak yang Mesti Dibayar Warga

Pelajaran komunikasi politik

Ubedillah mengingatkan, kepala daerah lain seharusnya bisa mengambil pelajaran dari kasus Bupati Pati ini.

Saat kondisi ekonomi sedang tertekan, kebijakan yang dibuat harus rasional dan tidak hanya menguntungkan pihak berkuasa.

"Jangan buat kebijakan atau aturan yang tidak rasional apalagi berbasis kepentingan kekuasaan semata," ujarnya.

Menurutnya, kebijakan yang baik pun bisa ditolak jika cara menyampaikannya buruk.

Sebaliknya, kebijakan yang sulit diterima bisa mendapat dukungan jika dikomunikasikan dengan jelas, jujur, dan menghargai masyarakat.

Ia menyarankan kepala daerah untuk mengadopsi gaya komunikasi asertif, yakni menyampaikan pesan dengan tegas namun tetap menghargai hak dan pendapat orang lain.

"Gaya ini cenderung efektif dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas," imbuhnya.

Pentingnya komunikasi publik yang sehat

Ubedillah menegaskan, keterampilan komunikasi publik adalah kunci menjaga hubungan harmonis antara pemerintah daerah dan warganya, terutama saat mengambil kebijakan yang sensitif.

"Kebijakan krusial dan sensitif jika komunikasinya baik, penerimaan publik akan cenderung positif, minim resistensi," jelasnya.

Namun, jika komunikasi publik buruk, resistensi bisa meluas, bahkan terhadap kebijakan yang sebenarnya bermanfaat.

"Jangankan kebijakan krusial dan sensitif, kebijakan yang baik pun bisa memicu penolakan jika komunikasinya buruk," pungkasnya.

Baca juga: Pelajaran untuk Kepala Daerah dari Kasus Bupati Pati...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi