Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Efektifkah Pemblokiran Roblox Melindungi Anak dari Konten Negatif? Ini Kata Pakar

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/BILL CLINTEN
Salah satu puncak gunung virtual Gunung Merapi di Roblox.
|
Editor: Intan Maharani

KOMPAS.com - Belakangan ini, pembicaraan tentang pemblokiran gim Roblox tengah mencuat. 

Mengenai hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) menjelaskan bahwa pengelola gim Roblox juga harus mengikuti "aturan main" Indonesia jika tidak ingin diblokir. 

Salah satu peraturan yang ada adalah agar perushaan gim tersebut memiliki kantor perwakilan di Indonesia. 

Selain itu, Komdigi juga menekankan agar Roblox mengikuti regulasi terkait perlindungan anak di ruang digital. Peraturan ini juga mencakup ketentuan PP Perlindungan Data Pribadi serta kebijakan untuk menjamin keamanan anak dari konten berbahaya. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekhawatiran ini disampaikan karena Komdigi mendapatkan laporan yang masuk terkait gim tersebut. 

"Mereka mengatakan akan memberikan laporan-laporan dan kita terus pantau," terang Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafidz, dikutip dari Kompas.com, Jumat (15/8/2025).

Baca juga: Apakah Gim Online Roblox Berbahaya bagi Anak?

Sebelumnya, desakan pemblokuran gim ini muncul usai sejumlah pejabat dan lembaga pemerintah menyoroti dugaan dampak negatif gim tersebut terhadap anak-anak. 

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan, pemerintah tidak segan mengambil langkah tegas jika ada konten Roblox yang melewati batas. 

"Kalau memang kita merasa sudah melewati batas, apa yang ditampilkan memengaruhi perilaku adik-adik kita, ya tidak menutup kemungkinan (diblokir)," ungkap Prasetyo.

Lantas, benarkah pemblokiran ini dapat mengurangi paparan konten negatif untuk anak-anak?

Alasan anak-anak tertarik pada Roblox

Peneliti Pusat Riset Penggerak Indonesia Cerdas (PRPIC) dan Dosen Universitas Sampoerna Arkhadi Pustaka menjelaskan, anak-anak tertarik pada Roblox setelah melihat konten tentang gim ini. 

"Sebenarnya yang menjadi salah satu daya tarik Roblox itu karena banyak YouTuber luar negeri yang membuat konten dengan bermain Roblox," ujar Arkhadi Pustaka ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (15/8/2025). 

Dengan tingginya minat anak-anak pada Roblox karena informasi di sekitar mereka, ia mempertanyakan apakah paparan tersebut juga akan diblokir oleh pemerintah.

Sehingga ia menyisir ke akar masalah sebenarnya anak-anak bisa merasakan dampak negatif dari suatu permainan daring. 

Agar penggunaan internet pada anak-anak tetap pada jalur semestinya dan mendorong perilaku positif, maka dibutuhkan pendidikan dari lingkup keluarga. 

Adanya literasi digital dapat membuat anak terhindar dari dampak negatif mengonsumsi suatu produk teknologi. 

"Akar masalahnya sebenarnya bukan di ketersediaan akses ke layanan tertentu, tetapi terkait dengan pendidikan di lingkup keluarga, literasi digital, dan lebih jauh lagi mungkin kecenderungan masyarakat yang semakin kapitalistik," terangnya. 

Baca juga: 5 Fakta Bocah Dibunuh karena Gim Mobile Legends, Jasad Ditemukan di Kebun Jeruk

Apakah pemblokiran efektif mengatasi masalah ini?

Arkhadi menjelaskan, pemblokirkan tidak bisa menangani masalah yang ditimbulkan akibat permainan daring sampai ke akarnya. 

"Pemblokiran itu pendekatan yang otoritatif, yang memang paling mudah dilakukan secara teknis, namun tidak mengenai esensi permasalahannya," 

Ia berpendapat bahwa anak-anak akan tetap terpapar dampak negatif gim serupa jika orangtua tidak memberikan arahan yang diperlukan. 

"Anak-anak masih akan terpapar pengaruh buruk Internet kalau literasi digital-nya rendah," ujarnya. 

Hubungan pemblokiran Roblox dengan minat belajar

Dengan memblokir Roblox atau permainan daring lainnya, pemerintah berharap agar anak-anak dapat terlindungi.

Namun, apakah pemblokiran gim dapat membantu meningkatkan minat belajar anak-anak?

Dalam hal ini, Arkhadi pembelajaran yang diterima anak-anak bukan hanya dari buku atau di dalam kelas melainkan juga melalui permainan. 

Ia pun mencontohkan situasi serupa pernah terjadi di masa lalu ketika orangtua melarang anak-anak membaca komik. 

"Ada kaitannya dengan game based learning atau juga game informed learning. Melarang anak bermain digital game itu sama halnya dengan melarang anak jaman dulu untuk membaca komik," papar dosen Universitas Sampoerna tersebut. 

"Menurut James Gee, seorang ahli linguistik, ketidakpahaman generasi yang lebih tua terhadap bentuk literasi baru itu hanya masalah perbedaan domain," sambungnya. 

Lebih lanjut, Arkhadi kemudian memberikan contoh bahwa orangtua berharap anak-anak dapat menghabiskan waktu untuk hal akademis, menambah prestasi, atau melakukan hal sejenisnya. 

Kemudian, ia mempertanyakan apakah keinginan orangtua selaras dengan kecenderungan alami anak-anak di usia sekolah. 

Baca juga: Dedi Mulyadi Hapus PR Siswa di Jawa Barat, Pengamat Pendidikan Suarakan Ini

Menurutnya, orangtua dapat menumbuhkan minat belajar anak jika memelihara rasa ingin tahu mereka. 

"Minat belajar itu tumbuh ketika rasa keingintahuan anak dipelihara. Sebagai orangtua, mungkin Kita ingin 'mengendalikan', 'mengarahkan', atau kalau pakai Bahasa yang less intrisuve ya 'memfasilitasi' anak supaya mereka menjadi seseorang yang kita harapkan," jelasnya. 

Kemudian, ia menyoroti masalah sebenarnya yakni generasi terdahulu berusaha memasukkan idealismenya kepada  anak. 

"Nah problemnya di sini sebenernya, kita imposing idealisme kita kepada anak. Dan tentu saja sebagai orangtua atau pemerintah, kita merasa lebih tahu tentang apa yang terbaik untuk 'generasi yang akan datang'. Tapi benarkah demikian?" ujarnya. 

"Pernahkah kita mencoba untuk duduk bersama, mendengarkan apa yang anak-anak kita sebenarnya perlukan?" sambung dia. 

Dalam hal ini, Arkhadi memaparkan bahwa orangtua dapat memfasilitasi anak-anak dengan memberikan perhatian, melatih keterampilan menavigasi perasaan, hingga jawaban atas keingintahuan mereka dan lain sebagainya.

Adanya keterbatasan orangtua atau pemerintah memahami kebutuhan anak-anak menurutnya bermuara pada sedikitnya waktu untuk duduk bersama dan mendengarkan mereka. 

"In this economy, mungkin kita yang tidak punya waktu untuk itu," pungkasnya. 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi