TOKYO, KOMPAS.com – Mitsuaki Yoshino (87) hanya menyimpan sedikit ingatan tentang ayahnya, Kumazo, seorang tentara Jepang yang gugur di Indonesia pada masa Perang Dunia II.
Bagi Yoshino, tiga batu kerikil yang ia temukan di pesisir Papua menjadi simbol jiwa sang ayah yang jasadnya tak pernah ditemukan.
Batu-batu itu ia bawa pulang ke Jepang dan diletakkan di makam keluarga sebagai pengganti tulang belulang yang tak pernah kembali.
Baca juga: Cerita Ibu dan Anak di Jepang, Tempati Rumah Kumuh meski Berpenghasilan Rp 43 Juta
“Saya tidak akan pernah melupakan ayah, dan saya juga tidak akan membiarkan perang semacam itu terjadi lagi,” ujar Yoshino, warga Machida, Tokyo, saat menghadiri upacara peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II, Jumat (15/8/2025), sebagaimana dilansir The Japan Times.
Kumazo berangkat menjadi tentara tepat di hari ulang tahun Yoshino yang ke-4 pada 1941.
Ia ditugaskan di Sarmi, Papua—kini bagian dari Indonesia—sebagai pengangkut logistik dan personel.
Namun, jalur suplai pasukan Jepang di Papua Barat kala itu terputus, membuat sekitar 53.000 tentara meninggal akibat penyakit menular dan kekurangan gizi. Kumazo diyakini turut menjadi korban pada 1944.
20 tahun mengunjungi Papua
Setelah kematian Kumazo, sang ibu memilih bungkam. Ia membakar hampir semua surat dan dokumen terkait suaminya, seolah ingin menyingkirkan kenangan yang menyakitkan.
“Ibu tidak mau mengingat kembali hal-hal yang menyedihkan,” kata Yoshino.
Meski demikian, Yoshino kemudian menemukan rekaman video ayahnya dalam balutan seragam militer.
Baca juga: Krisis Demografi di Jepang, Angka Kematian 1 Juta Lebih Tinggi dari Kelahiran
Dari rekaman itu ia mendapatkan sebuah foto, yang hingga kini disimpannya sebagai pengingat bahwa sang ayah pernah ada.
Sekitar 20 tahun lalu, Yoshino berkesempatan mengunjungi Sarmi. Di tengah hutan lebat yang bermuara ke laut hijau zamrud, ia termenung.
“Mengapa mereka harus berperang di tempat seindah ini?” ungkapnya.
Di tepi pantai, ia melihat tiga batu kerikil bulat di bawah pohon kelapa. Entah mengapa, hatinya langsung berbisik, “Inilah jiwa ayahku.”
Sejak saat itu, tiga batu kecil itu ia rawat sebagai simbol kehadiran sang ayah.
“Ia pasti sangat rindu untuk pulang ke Jepang,” ucapnya.
Janji terus berjuang demi perdamaian
Selama lebih dari empat dekade, Yoshino rutin menghadiri upacara peringatan perang untuk mendoakan arwah ayahnya.
Ia juga aktif dalam perkumpulan keluarga korban perang, menggelar kegiatan ziarah ke bekas medan pertempuran, hingga menaruh bunga krisan yang ia tanam sendiri di Kuil Yasukuni.
Namun, usia yang semakin lanjut membuat banyak keluarga korban tak lagi mampu datang ke upacara peringatan.
Baca juga: 2 Petinju Jepang Tewas akibat Cedera Otak di Ajang yang Sama di Tokyo
“Saya bersyukur masih diberi kesempatan hadir setiap tahun. Saya tidak akan pernah melupakan ayah dan akan terus berjuang demi perdamaian,” kata Yoshino.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.