KOMPAS.com - Sebanyak 72 murid SMA Negeri 5 Bengkulu diberhentikan secara mendadak setelah belajar sebulan karena tidak memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Karena itu, 42 wali murid dari siswa yang diberhentikan mendatangi kantor DPRD Provinsi Bengkulu, pada Rabu (21/8/2025).
Wali murid mengadukan kekecewaan mereka lantaran anak-anak sudah mengikuti jalur pendaftaran resmi, termasuk tahapan daftar ulang dan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), dikutip dari Kompas.com, Kamis (21/8/2025).
"Anak saya down, dia nangis sepanjang hari, malu bercampur sedih," ungkap salah seorang ibu di hadapan anggota DPRD.
Beberapa ibu lain ikut berbagi, mereka mengaku bahwa anaknya menderita sakit fisik maupun psikis karena tidak jadi bersekolah.
Baca juga: Prabowo Janjikan 288..000 Smart TV ke Sekolah-sekolah, Pengamat Berikan Catatan
Pihak sekolah dan pengelola PPDB harus tanggung jawab
Pengamat pendidikan Ina Liem menilai, pemberhentian sebanyak 72 siswa SMA tersebut memprihatinkan.
Dia menyoroti pengakuan Kepala SMAN 5, Bihan yang mengatakan bahwa terjadi kesalahan teknis PPDB ketika ia sakit.
Bihan menjelaskan, ia baru mengecek bahwa setiap kelas memiliki siswa lebih dari kapasitas, yaitu sebanyak 43 dari yang seharusnya 36 murid, pada 21 Juli.
Menurut dia, hal ini disebabkan oleh banyaknya wali murid yang menemui operator penerimaan siswa baru untuk menambahkan jumlah siswa.
Mengenai penyataan Bihan, Ina berpendapat bahwa pihak sekolah dan pengelola PPDB harus bertanggung jawab mengatasi kekeliruan itu, bukan dengan memberhentikan siswa.
"Sangat disayangkan. Jika pihak sekolah menyebut kasus ini hanya kesalahan teknis, maka yang bertanggung jawab adalah pihak sekolah dan pengelola PPDB, bukan siswa," terang Ina saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/8/2025).
Ia melanjutkan, tindakan yang diambil pihak sekolah justru seolah menimpakan tanggung jawab kepada siswa yang tidak bersalah.
Baca juga: Perlukah Siswa Sekolah dengan Durasi Belajar yang Panjang?
Menurut Ina, hal itu bisa berdampak negatif pada pembentukan karakter anak-anak nantinya.
"Menimpakan kesalahan kepada siswa justru merusak pendidikan karakter, karena sekolah sendiri gagal menunjukkan teladan tanggung jawab dan integritas," ujar dia.
Dia lalu mengimbau pihak DPRD untuk menyelesaikan masalah ini dengan turun ke lapangan.
"DPRD adalah wakil rakyat, bukan wakil sekolah atau dinas. Dalam kasus seperti ini, mereka tidak boleh diam," kata Ina.
"Harusnya turun ke lapangan dan usut tuntas," tegas dia.
Bagi Ina, dugaan permainan uang dalam proses penerimaan siswa baru sebenarnya bukan sekadar isu teknis, melainkan juga menyangkut masa depan generasi bangsa.
Karena itu, ia menuturkan, bahwa anak-anak yang tidak tercatat Dapodik seharusnya tetap belajar dan kasus jual-beli kursi PPDB segera diusut.
"Harusnya siswa tetap ditampung. Kalau benar terbukti ada jual beli, itu yang tidak seharusnya diterima," pungkas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.