KOMPAS.com - Isu tentang pasangan yang menikah pada usia 28 hingga 32 tahun memiliki risiko perceraian lebih rendah tengah ramai diperbincangkan warganet di Instagram.
Salah satu unggahan akun @ahqu*** mengutip penelitian sosiolog Nicholas H. Wolfinger dari University of Utah pada 2015.
Studi tersebut menyebut usia 28–32 tahun sebagai Goldilocks Zone untuk menikah, yakni tidak terlalu dini, tidak pula terlalu terlambat. Temuan ini didasarkan pada analisis U.S. National Survey of Family Growth periode 2006–2010 dan 2011–2013.
Baca juga: Dialami Pratama Arhan dan Azizah Salsha, Apa Itu Cerai secara Verstek?
Hasilnya, pasangan yang menikah di akhir 20-an hingga awal 30-an cenderung memiliki pernikahan lebih stabil dibanding mereka yang menikah terlalu muda atau di usia akhir 30-an ke atas.
Faktor yang memengaruhi di antaranya kedewasaan emosional, kejelasan tujuan hidup, hingga pengalaman mengelola tanggung jawab.
Namun, para ahli menekankan keberhasilan rumah tangga tak semata ditentukan angka usia, melainkan kesiapan psikologis dan komitmen pasangan.
Unggahan tersebut memicu beragam reaksi warganet. Akun @itscinday*** menulis, “Santai dulu enggak sih? Tapi santainya sambil mempersiapkan diri jadi ibu yang lembut, istri yang hangat, dan jantung keluarga yang bernilai".
Komentar lain datang @mitaah***, “Gapapa telat asal tepat dan enggak salah pasangan”.
Ada pula yang mengaku nikah di usia lebih muda, tapi memiliki pernikahan tetap awet.
“Nikah umur 22 tahun, kini menuju 15 tahun pernikahan," tulis pengguna akun @nurin***,
Lantas, benarkah menikah di usia 28–32 tahun betul-betul menurunkan risiko perceraian?
Risiko perceraian tidak bergantung pada umur
Psikolog Danti Wulan Manunggal dari Ibunda.id menegaskan, bahwa kunci utama pernikahan langgeng bukan usia, melainkan kedewasaan emosional dan kejelasan tujuan hidup.
“Tanpa keduanya, pasangan akan kesulitan menghadapi konflik dan tantangan yang pasti ada dalam pernikahan,” ujarnya saat dimintai pandangan Kompas.com, Senin (22/9/2025).
Baca juga: Pratama Arhan Gugat Cerai Azizah Salsha, Ini 7 Fakta Sidang Perdananya
Kedua aspek ini, kata dia, berfungsi sebagai fondasi hubungan yang sehat dan stabil. Dengan kata lain, tanpa keduanya, pasangan bisa jadi akan kesulitan menghadapi konflik dan tantangan dalam pernikahan.
Menurut Danti, tidak ada usia universal yang ideal untuk menikah. Yang lebih penting adalah kesiapan psikologis, yang meliputi:
- Kedewasaan emosional: mampu mengelola emosi, menghadapi konflik secara sehat, dan tidak menggantungkan kebahagiaan sepenuhnya pada pasangan.
- Stabilitas keuangan: sanggup mengatur finansial bersama tanpa tekanan berlebihan.
- Kejelasan tujuan hidup: memiliki visi pribadi dan visi bersama yang selaras.
“Bisa saja seseorang di usia 30-an belum siap, sementara yang menikah di akhir 20-an sudah punya fondasi matang,” jelasnya.
Perbedaan pengalaman hidup: akhir 20-an vs awal 30-an
Menurut Danti, menikah di akhir usia 20-an biasanya masih sarat eksplorasi diri dan karier. Pernikahan pada fase ini kerap dilandasi romantisme, tetapi rawan ketidakstabilan finansial dan kurangnya pengalaman.
Sementara itu, mereka yang menikah di awal 30-an umumnya lebih stabil dalam karier maupun finansial.
Mereka juga lebih realistis menghadapi tantangan rumah tangga dan memiliki tujuan hidup yang lebih jelas sehingga mudah menyelaraskan visi dengan pasangan.
Selain faktor usia, Danti menekankan ada aspek psikologis lain yang sangat berpengaruh pada keberhasilan rumah tangga, antara lain:
- Kecerdasan emosional: memahami dan mengelola emosi diri sekaligus berempati pada pasangan.
- Komunikasi efektif: terbuka, mau mendengar, dan menyelesaikan konflik tanpa saling menyalahkan.
- Kemampuan adaptasi: siap menyesuaikan diri dengan perubahan hidup maupun pasangan.
- Komitmen dan tanggung jawab: konsisten menjaga hubungan dan bertanggung jawab atas keputusan bersama.
Risiko menikah terlalu muda atau terlalu tua
Danti mengingatkan, menikah terlalu muda berisiko pada kurangnya kedewasaan emosional dan ketidakstabilan finansial.
Identitas diri yang belum matang juga bisa menimbulkan ketidaksesuaian saat pasangan berkembang.
Sementara menikah di usia terlalu tua memang lebih matang dan stabil secara finansial, tetapi bisa menimbulkan kesulitan lain.
“Individu yang terbiasa mandiri lama mungkin kesulitan beradaptasi dengan rutinitas, nilai, dan kebiasaan pasangan. Hal ini bisa memicu friksi dan sulit kompromi,” jelasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang